Prospek Aplikasi Sel Surya dan Turbin Angin sebagai Sumber Energi Terbarukan dalam Arsitektur
Prospek Aplikasi Sel Surya dan Turbin Anginsebagai Sumber Energi Terbarukan dalam Arsitektur
Pokok Bahasan:
1) Pendahuluan
2) Landasan Teori
3) Pembahasan
4) Aplikasi sel suryadalam arsitektur
5) Prinsip kerja sel surya
6) Potensi pemanfaatan energi matahari di Indonesia
7) Kendala pemanfaatan energi matahari di Indonesia
8) Aplikasi turbin angin dalam arsitektur
9) Prinsip kerja turbin angin
10) Potensi pemanfaatan energi angin di Indonesia
11) Kendala pemanfaatan energi angin di Indonesia
1.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi membawa perubahan signifikan dalam arsitektur. Arsitektur modern tidak
dapat dipisahkan dari energi.
Ketergantungan bangunan terhadap penggunaan energi nampak dari pengunaan
elevator, penggunaan energi listrik untuk pencahayaan, maupun kebutuhan
utilitas lain seperti mesin AC. Dengan masuknya energi, arsitektur tidak lagi hanya
sebuah produk dari karya seni, tetapi juga harus mampu menyediakan kenyamanan
fisik, melingkupi kenyamanan ruang, termal, suara dan pencahayaan, serta hemat
terhadap pemakaian energi (Karyono, 2010) . Konsumsi energi listrik dalam bangunan untuk pencahayaan buatan,
pendinginan dan pemanasan ruang menyerap 45% dari total kebutuhan energi dunia(Readitya, 2013) .
Kesadaran terhadap pemanfaatan
energi dalam arsitektur mendorong munculnya pembangunan berkelanjutan yang
diterapkan dalam konsep arsitektur hijau dengan salah satu prinsip desainnya adalah penghematan energi dengan
memanfaatkan energi terbarukan. Pemanfaatan energi terbarukan telah menjadi kebijakan
pemerintah Indonesia dengan target pada tahun 2025 konsumsi energi di Indonesia
sebesar 17%dipenuhi oleh energi terbarukan (Pillai, 2014) .
![]() |
Gambar 1. Skema kebijakan energi nasional
Sumbe: Directorate of Various New Energy and Renewable Energy-MENR, 2014 dalam Pillai, 2014
|
Energi
terbarukan yang dapat dimanfaatkan dalam arsitektur antara lain energi matahari
dan angin, dengan mengaplikasikan teknologi sel surya dan kincir angin dalam
desain arsitektur. Dengan menggunakan metode kajian pustaka, penelitianinimembahas
mengenai potensi pemanfaatan energi terbarukan khususnyadalam arsitektur
beserta potensi dan kendala yang saat ini dihadapidi Indonesia.
2.
Landasan
Teori
Arsitektur hijau dipahami sebagai karya
arsitektur yang meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, dengan
mengefisiensikan sumber daya yang ada dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan
masyarakat dan pengguna (Kusumawanto & Astuti,
2014) .
Dalam rangka mencapai tujuan
tersebut, IDHEA (Instituto para o
Desenvolvimento da Habitacao Ecologica) menekankanarsitektur hijau harus berlandaskan prinsip desain yang memperhatikan lingkungan, menerapkan efisiensi penggunaan
sumber daya alam, pengelolaan dan penghematan air, pengolahan sampah dan
efisiensi energi, dengan tetap memiliki kualitas termal dan akustik yang baik,
serta bijaksana dalam penggunaan material (Kasai & Jabbour, 2014) .Sesuai dengan konsep
arsitektur hijau tersebut, penghematan energi dengan menerapkan rancangan pasif
dan penggunaan energi terbarukan menggunakan rancangan aktif menjadi strategi
yang wajib diterapkan dalam bangunan.
Energi
terbarukan adalah energi yang berasal dari proses alamiah dan tidak termasuk
konsumsi sumber daya alam tak terbarui seperti minyak bumi dan uranium. Selain
gas alam, minyak, batubara dan tenaga air, Indonesia memiliki potensi sumber
daya alam terbarukan seperti panas bumi, energi angin dan tanaman organik (Hasan, Mahlia, & Nur, 2012) . Dari berbagai macam sumber energi tersebut,
energi angin dan energi matahari menjadi sumber energi yang saat ini dapat
dimanfaatkan dalam arsitektur. Energi matahari dan energi angin merupakan sumber energi alternatif yang paling ideal, berkelanjutan,
tidak membahayakan manusia dan lingkungan, serta selalu tersedia. Karakter tersebut mendukung aplikasi sel surya dan
turbin angin dalam arsitektur (Lechner, 2007) .
3. Pembahasan
1. Aplikasi sel suryadalam arsitektur
Mintorogo (2000) menerangkan revolusi aplikasi
sel surya
dalam arsitektur telah mengalami perkembangan yang pesat, yaitu :
1.
Generasi pertama (tahun 1980
an)–Panel-panel/ deretan modul fotofoltaik dengan rangka besi hanya diletakkan (mounting) pada bidang atap datar bangunan dengan alat penyangga (tracking) (Gambar 2 kiri).
2.
Generasi kedua (tahun 1990 an)–Sel surya dikembangkan lebih
menyatu menjadi bagian material bangunan yaitu: bahan atap (genting, sirap)
(Gambar 2 kanan).
![]() |
Gambar 2. Aplikasi sel surya generasi pertama: panel mounted (kiri) dan generasi kedua: atap PV sirap
Sumber: Mintorogo, 2000
|
1.
Generasi ketiga (tahun 1997)–Chip/
modul fotovoltaik dikembangkan menjadi kesatuan integrasi bangunan arsitektur dalam
berbagai materi bangunan dan aplikasi canggih.
Saat
ini sel surya dapat diterapkan sebagai cladding vertikal, jendela untuk pencahayaan
alami dan alat peneduh untuk mengurangi radiasi matahari yang diterima bangunan (Gambar 3)(Basnet, 2012) .
![]() |
Gambar 3. Aplikasisel surya di atap (kiri) dan sebagai elemen penduh di fasad bangungan (kanan)
Sumber: Basnet, 2012
|
Di Indonesia,
aplikasi sel surya di daerah perkotaan sangat potensial diaplikasikan sebagai
atap (rooftop PV) baik di perumahan
maupun perkantoran dan banggunan komersial lainnya untuk memenuhi kebutuhan
listrik. Demikian juga dengan di daerah pedesaan atau daerah terpencil telah
dikembangkan solar home system (SHS)
untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga (Pillai, 2014) .
1. Prinsip
kerja sel surya
Dalam modul fotovoltaik terdapat sel
surya yang disusun dengan menggabungkan silikon (Si) jenis P (positif) dan
jenis N (negatif). Si jenis P bersifat P akibat kekurangan elektron, sedangkan
Si jenis N bersifat N akibat kelebihan elektron. Saat menerima radiasi matahari
terjadi proses yang mengakibatkan kedua Si tersebut mengalami ketidakstabilan,
di mana Si jenis N memiliki kelebihan elektron, sedangkan Si jenis P terdapat hole yang kekurangan elektron. Jika
dihubungkan dengan kabel maka akan timbul arus listrik yang mengalir melalui
kabel tersebut (Ghofur, 2015) .
Gambar 3.4. Arus yang terbentuk dari sel fotovoltaik sebagai hasil paparan sinar
matahari
(Sumber: Ghofur, 2015)
|
3. Potensi
pemanfaatan energi matahari di Indonesia
Di Indonesia
energi matahari sangatmelimpah,dengan besarenergitiap
satuan waktu harian rata-rata 4,8 kW/m2 dan selang waktu
siang tahunan relatif panjang dibanding negara-negara sub tropis (Ariswan, 2010) , sehingga pemanfaatan
energi mataharitelah
menjadi agenda nasional, di mana sampai akhir
tahun 2014 Indonesia merencanakan untuk memanfaatkan energi dari sel surya sebesar 74.5
MW (Ismail, et al., 2015) dan sampai akhir
tahun 2025 sebesar 800-1000 MW (ADB, 2015) .
Banyaknya daerah yang
terpencil yang belum sepenuhnya terjangkau oleh listrik dari PLN sehingga harga
listrik sangat tinggi membuka kesempatan untuk mengembangkan pemanfaatan sel
surya. Sedangkan di perkotaan, pemerintah telah menerapkan kebijakan Feed-in
tariff (FIT) untuk mendorong pemanfaatan sel surya(Pillai, 2014) . FIT adalah tarif
yang dibayar per unit yang terukur dari tenaga listrik yang dipasok ke dalam
jaringan dari sumber pembangkit yang ditunjuk(ADB, 2015) . Hal tersebut dapat
dilakukan dengan memanfaatkan sistem sel surya yang dihubungkan ke jaringan
listrik PLN (grid connected) sehinggakelebihan
energi listrik yang dihasilkan sel surya dapat dipasok ke jaringan listrik PLN.
4. Kendala
pemanfaatan energi matahari di Indonesia
Meskipun sangat
potensial dan telah diterapkan di Indonesia, pemanfaatan sel surya sebagai
sumber energi terbarukan masih menghadapi banyak kendala. Salah satu kendala
utama adalah keadaan cuaca, di mana sel surya sangat dipengaruhi oleh radiasi
matahari. Oleh karena itu aplikasi sel surya dalam bangunan harus didesain
dengan memperhatikan penerimaan radiasi matahari (Mintorogo, 2000) .
Selain itu,
kendala berikutnya adalah kecilnya energi listrik yang dihasilkan oleh sel
surya. Energi listrik yang dihasilkan area seluas 1 m2 kira-kira
sebesar 200 W, tergantung dari lokasi, efisiensi sel surya dan keadaan
lingkungan sekitar. Hal ini mengakibatkan area yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan energi listrik sangat luas (Aman, et al., 2015) dan jumlah sel surya yang dibutuhkan
sangat tinggi. Saat ini sel surya yang digunakan di Indonesia diimpor dari
negara lain dengan harga yang sangat mahal. Mahalnya harga sel surya serta
kecilnya energi yang dihasilkan per m2nya membawa dampak tidak
efektifnya pemanfaatan sel surya ditinjau dari kelayakan ekonomi. Penelitian
tentang aplikasi sel surya di atap bangunan asrama di Yogjakarta menunjukkan
bahwa harga listrik yang dihasilkan sel surya masih berada di atas harga
listrik PLN sehingga pemanfaatan sel surya tersebut mengalami kerugian secara
finansial (Ghofur, 2015) . Demikian juga dengan penelitian
aplikasi sel surya di perumahan di Surabaya di mana harga listrik yang
dihasilkan sel surya sebesar 0.34-0.61 USD/kWh, jauh di atas harga listrik PLN
saat itu, sebesar 0.08 USD/kWh.
Meskipun telah
didukung dengan berbagai kebijakan finansial, pemanfaatan sel surya di
perkotaan masih belum menguntungkan secara ekonomi. Namun di daerah terpencil
yang belum terjangkau jaringan listrik, sistem sel surya sangat mungkin
menguntungkan secara ekonomi dalam jangka waktu yang pendek (Tarigan, Djuwari, & Purba, 2014) . Sayangnya di daerah
terpencil kendala yang dialami adalah rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap
pemanfaatan dan sel surya. Tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya
pemahaman serta tidak adanya sosialisasi tentang pemeliharaan sel surya
mengakibatkan pemanfaatan sel surya tidak maksimal.
Di desa Deah Mamplam, Aceh Besar yang merupakan daerah terpencil, dalam jangka
waktu enam tahun 25% sel surya yang disediakan oleh pemerintah tidak berfungsi
dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap pemeliharaan sel surya (Mufiaty, 2014).
5. Aplikasi
turbin angin dalam arsitektur
Kincir angin
pertama kali ditemukan di Eropa pada abad ke-12 untuk mengolah gandum serta
memompa air di perkebunan dan peternakan, sedangkan turbin angin digunakan
untuk menghasilkan energi listrik di daerah pinggiran yang terpencil sebelum
adanya listrik pada tahun 1930-an. Saat ini turbin angin digunakan kembali
sebagai pembangkit tenaga listrik yang ramah lingkungan (Lechner, 2007) . Ditilik dari penggunaan katanya,
kincir angin berbeda dengan turbin angin, di mana kincir angin merupakan alat
yang mengubah energi angin menjadi energi rotasi untuk menumbuk gandum atau
memompa air, sedangkan turbin angin merupakan alat untuk mengkonversi energi
kinetik menjadi energi listrik (Lubis, 2012) .
![]() |
Gambar 5. Aplikasi turbin angin di atap
bangunan
Sumber: Sari & Kusumaningrum, 2014
|
Di Indonesia,
pemanfaatan turbin angin di bangunan sebagai pembangkit energi listrik masih
belum banyak dilakukan. Namun, di negara lain hal tersebut telah dikembangkan,
seperti di gedung Bahrain World Trade Center, Manama dan
Pearl River Tower, Guangzhou.
6. Prinsip
kerja turbin angin
Prinsip kerja
turbin angin adalah mengubah energi mekanis dari angin menjadi energi putar pada
kincir, kemudian putaran kincir digunakan untuk memutar generator yang akan
menghasilkan listrik. Bilah kipas atau baling-baling menerima tenaga angin
sehingga bilah kipas tersebut berputar pada porosnya. Putaran tersebut
diteruskan oleh poros laju rendah ke belakang melalui gearbox. Gearbox mengubah laju putar menjadi lebih cepat, dengan
momen daya yang lebih kecil sesuai dengan kebutuhan generator yang ada di
belakangnya. Generator tersebut kemudian mengubah nenergi kinetik putar menjadi
energi listrik (Lubis, 2012) .
Gambar 7. Prinsip kerja turbin angin
Sumber:
Pikatan, 1999 dalam Lubis, 2012
|
7. Potensi
pemanfaatan energi angin di Indonesia
Kementrian ESDM
memprediksi bahwa kapasitas total energi angin di Indonesia sebesar 9.29 GW.
Sayangnya pemanfaatan enegi angin untuk pembangkit listrik hanya sebesar 1.6MW,
dan sebagian besar hanya untuk kepentingan penelitian (Martosaputro & Murti, 2014) .
Kecepatan angin
di Indonesia, terutama di ketinggian lebih dari 50 m, berkisar antara 3-6 m/s
dan sangat potensial untuk pemanfaatan turbin angin. Di daerah perkotaan, seperti
Yogjakarta yang memiliki kecepatan angin dan intensitas energinya relatif
tinggi, aplikasi turbin angin di bangunan tinggi sangat potensial untuk
menghasilkan energi. Penelitian dengan software
CFD (Computational Fluid Dynamic) untuk menganalisa kecepatan angin menunjukkan
bahwa turbin angin yang dipasang di atap bangunan atau sisi fasad bangunan yang
berbentuk lengkung dapat meningkatkan kecepatan angin hingga 39.89% (Gambar 8).
Energi angin yang dihasilkan oleh turbin angin tersebut dapat memenuhi
kebutuhan energi listrik sebesar 6% dari konsumsi listrik bangunan perkantoran.
Kondisi tersebut sedikit berbeda dengan di daerah pesisir seperti Semarang yang
memiliki intensitas energi angin lebih rendah tetapi kecepatan angin cenderung
konstan daripada Yogyakarta. Di Semarang, bentuk atap berperan penting untuk
meningkatkan kecepatan angin, di mana bentuk atap pelana atau perisai lebih
baik daripada atap datar (Gambar 9) (Sari & Kusumaningrum, 2014) .
Gambar 8. Permodelan bangunan tinggi dengan turbin angin untuk mengukur
kecepatan angin
Sumber: Sari & Kusumaningrum, 2014
|
Gambar 9. Permodelan desain atap pelana dan perisai dengan turbin angin
Sumber: Sari & Kusumaningrum, 2014
|
Saat ini, aplikasi
turbin angin belum sepesat sel surya sehingga belum banyak penelitian tentang
kelayakan ekonomisnya. Namun, penelitian di daerah pesisir Purworejo selatan,
meskipun tidak diaplikasikan di bangunan, menunjukkan bahwa penggunaan turbin
angin masih layak secara ekonomi, meskipun tingginya biaya investasi dan
pemeliharaan harus dikajiulang(Ismail, Kamal, Purnomo, Sarjiya, & Hartono, 2015) . Demikian juga
penelitian aplikasi turbin angin di Nusa Penida, Bali menunjukkan dengan biaya
investasi yang cukup besar, sebesar 60 juta rupiah untuk satu unit kincir angin,
secara ekonomis masih cukup menguntungkan karena di daerah tersebut kebutuhan
energi listrik dipenuhi oleh mesin diesel, dengan biaya solar Rp.132.000 per
hari, yang artinya sebesar Rp. 48.180.000 per tahun, belum termasuk biaya
pemeliharaan mesin, sehingga dengan menggunakan turbin angin diperkirakan dalam
waktu dua tahun sudah terasa manfaatnya dan cukup menguntungkan (Budiastra, Giriantari, Artawijaya, & Partha,
2009) .
Nilai positif turbin
angin sebagai sumber energi terbarukan dibandingkan dengan sel surya adalah
turbin angin lebih ramah lingkungan. Turbin angin tidak menggunakan bahan-bahan
yang mengandung unsur kimia seperti halnya sel surya yang terbuat dari silicon
yang dapat menyebabkan masalah kesehatan (Aman, et al., 2015) .
8. Kendala
pemanfaatan energi angin di Indonesia
Sama halnya
dengan sel surya, permasalahan utama pemanfaatan energi angin adalah fluktuasi
energi angin. Di beberapa musin angin dapat bertiup sangat kencang sementara di
musim lain angin jarang berhembus. Untuk mengatasi masalah ini, dapat
diaplikasikan sistem hybrid di mana
turbin angin dapat dikombinasikan dengan sel surya untuk memenuhi kebutuhan
energi listrik saat angin berhembus dengan kecepatan rendah. Contoh aplikasi
sistem ini telah dilakukan di Pandan Simo, Yogyakarta, di mana 17.5kW sel surya
dikombinasikan dengan 60kW turbin angin untuk memenuhi kebutuhan listrik daerah
sekitarnya (Martosaputro & Murti, 2014) .
Kendala lain
berkaitan dengan kenyamanan pengguna, jika dibandingkan dengan sel surya,
turbin angin menimbulkan suara yang sangat bising sehingga dapat mengganggu
kenyamanan akustik jika diaplikasikan di bangunan (Kushartanto, 2015) . Selain itu belum adanya proyek yang
dapat dijadikan acuan disertai kurangnya kemampuan sumber daya manusia dalam
menangani turbin angin juga menghambat pengembangan turbin angin (Saputro, 2007) .
1.
Kesimpulan
Indonesia
sangat potensial dalam memanfaatkan sumber energi terbarukan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi energi. Sumber energi terbarukan yang dapat diaplikasikan di
bangunan antara lain adalah energi matahari, dengan menggunakan sel surya, dan
energi angin, dengan menggunakan turbin angin. Dengan potensi energi
matahari harian rata-rata 4,8 kW/m2dan kecepatan angin 3-6 m/s, pemanfatan sumber energi tersebut,
khususnya di bangunan sebagai pembangkit listrik sangat terbuka lebar meskipun belum
dilakukan secara maksimal. Di samping kendala alam, mahalnya biaya investasi menjadi
kendala dalam aplikasi sel surya dan turbin angin di perkotaan. Sedangkan di
daerah terpencil yang belum terjangkau listrik, sel surya dan turbin angin
dapat menjadi sumber energi pembangkit listrik yang sangat ekonomis. Namun, di
daerah tersebut potensi sumber daya manusia yang tersedia dalam mengaplikasikan
dan memelihata teknologi tersebut masih perlu ditingkatkan.
Dalam bidang
arsitektur sendiri masih diperlukan inovasi desain sel surya maupun turbin
angin agar tingkat kelayakan ekonomisnya terpenuhi. Inovasi desain yang berbeda
perlu dikembangkan agar sesuai untuk diterapkan baik di perkotaan ataupun di
pedesaan, tentunya dengan pendekatan yang berbeda. Di perkotaan aplikasi sel
surya dan turbin angin harus diupayakan seefisien mungkin agar dapat mengurangi
biaya investasi dan menghasilkan energi listrik yang lebih besar, sedangkan di
daerah pedesaan atau daerah terpencil desain sel surya dan turbin angin harus diupayakan
sesederhana mungkin dengan tidak mengurangi efisensi energi yang dihasilkan
agar masyarakat dapat memanfaatkan dengan lebih maksimal.
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Call For Paper dengan tema:
“Seeking the Peace and Prosperity of Our Nation” Yang dilakukan oleh
Keluarga Mahasiswa Kristiani Pascasarjana (KMK PS) UGM
Referensi
ADB. (2015). Tarif
untuk Pembangkit Tenaga Angin dan PV Surya Atap di Indonesia. Jakarta:
ADB.
Aman, M., Solangi, K., Hossain, M.,
Badarudin, A., Jasmon, G., Mokhlis, H., et al. (2015). A review of Safety,
Health and Environmental(SHE) issues of solar energy system. Renewable and
Sustainable Energy Reviews, 41, 1190-1204.
Ariswan. (2010). Prospek
Penelitian dan Aplikasi Fotovoltaik sebagai Sumber Energi Alternatif di
Indonesia. Yogyakarta: UNY.
Basnet, A. (2012). Architectural
Integration of Photovoltaic and Solar Thermal Collector Systems into
buildings. Trondheim: Norwegian University of Science and Technology.
Budiastra, I. N., Giriantari, I.
D., Artawijaya, W., & Partha, C. I. (2009). Pemanfaatan Energi Angin
sebagai Energi Alternatif Pembangkit Listrik di Nusa Penida dan Dampaknya
Terhadap Lingkungan. Jurnal Bumi Lestari, 9(2), 263 - 267.
Ghofur, A. (2015). Rancangan
Sistem Fotovoltaik Untuk Pemenuhan Sebagian Kebutuhan Listrik Gedung Asrama
Mahasiswa Kinanti 1. Yogyakarta: UGM.
Ismail, A. M., Ramirez-Iniguez, R.,
Asif, M., Munir, A. B., Muhammad-Sukki, F., t, et al. (2015). Progress of
Solar Photovoltaic in ASEAN Countries: A Review. Renewable and Sustainable
Energy Reviews, 48, 399–412.
Ismail, Kamal, S., Purnomo,
Sarjiya, & Hartono, B. (2015). Economic Feasibility of Wind Farm: A Case
Study for Coastal Area in South Purworejo, Indonesia. Energy Procedia, 65,
146 – 154.
Karyono, T. H. (2010). Green
Architecture: Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers.
Kasai, N., & Jabbour, C. J.
(2014). Barriers to green buildings at two Brazilian Engineering Schools. International
Journal of Sustainable Built Environment 3, 87-95.
Kushartanto, J. S. (2015). The
Influence of Indonesia National Renewable Energy Development for Analyzing
Entrepreneurship Process on Wind Energy Business. Aarhus University.
Kusumawanto, A., & Astuti, Z.
B. (2014). Arsitektur Hijau dalam Inovasi Kota. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Lechner, N. (2007). Heating,
Cooling, Lighting, Metode Desain untuk Arsitektur. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Li, Q., Shu, Z., & Chen, F.
(2016). Performance assessment of tall building-integrated wind turbines for
power generation. Applied Energy, 165, 777–788.
Lubis, B. A. (2012). Wind Power
Architecture (Paradigma Turbin Angin dalam Arsitektur). Depok: UI.
Martosaputro, S., & Murti, N.
(2014). Blowing the Wind Energy in Indonesia. Energy Procedia, 47, 273
– 282.
Mintorogo, D. S. (2000). Strategi
Aplikasi Sel Surya (Photovoltaic Cells) pada Perumahan dan Bangunan
Komersial. Dimensi Teknik Arsitektur, 28(2), 129-141.
Mufiaty, H. (2014). Solar Home
Systems Performance in Rural Area in Aceh Case Study: Deah Mamplam Village,
Aceh Besar. Energy Procedia, 47, 133 – 142.
Pillai, G. (2014). Indonesia
National Sustainable Energy Strategy Report on Enabling Environment and
Technology Innovation Ecosystem for Affordable Sustainable Energy Options .
prepared for Asian and Pacific Centre for Transfer of Technology (APCTT) of
the Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP).
Readitya, D. M. (2013). Pengaruh
Aplikasi Elemen Pembayang Terhadap Kinerja Termal Selubung Bangunan, Simulasi
Bangunan Hipotetik Perkantoran Berlantai Banyak Berdasarkan Data Iklim
Jakarta. Yogyakarta: UGM.
Saputro, S. M. (2007). Utilization
of Wind Energy Conversion System in Indonesia. Jurnal Ilmiah Teknologi
Energi, 1(5), 59-68.
Sari, D. P., & Kusumaningrum,
W. B. (2014). A Technical Review of Building Integrated Wind Turbine System
and a Sample Simulation Model in Central Java, Indonesia. Energy Procedia,
47, 29 – 36.
Sutjiadi,
H.Y. 2011. The Suitability of Double‐Layer Space Structures For Super‐Tall Buildings: A
study from Structural and Building Systems Integration Perspectives.
Disertasi. Wellington: Victoria University.
Tarigan, E., Djuwari, & Purba,
L. (2014). Assessment of PV Power Generation for Household in Surabaya Using
Solar GIS–pv Planner Simulation. Energy Procedia, 47, 85 – 93.