Pembangunan Yang Humanis dan Ramah Lingkungan
BERPERIKEMANUSIAAN: UPAYA MENUNJUKKAN SISI HUMANIS PEMBANGUNAN
"Pembangunan yang Ramah Lingkungan dan Humanis "
Pokok Bahasan:
a) Pendahuluan
b) Pembangunan dan Pembangunan Ekonomi
c) Pentingnya Penghormatan dan Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia di Bidang Ekonomi
d) Pembangunan Berperikemanusiaan: Pembangunan yang Humanis
A.
Pendahuluan
Perjuangan
Indonesia untuk menjadi sebuah negara yang merdeka dilandasi oleh dorongan
semangat yang mulia, yakni mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, seperti
yang termaktub di dalam Pembukaan Konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebuah tujuan yang berakar dari sila
kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Konteks dari keadilan sosial tersebut
tentunya tidak dapat dilepaskan dari kewajiban untuk hormat terhadap
kemanusiaan setiap orang, baik kemanusiaan secara personal maupun secara
komunal.[1]
Maka, pembahasan mengenai keadilan sosial tidak dapat dibatasi hanya pada sila
kelima, melainkan harus dihubungkan pula dengan pemahaman akan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab.
Indonesia,
sebagai negara yang berorientasi pada kesejahteraan,[2]
dalam rangka menciptakan keadilan sosial tersebut, perlu melakukan berbagai
kegiatan, diantaranya dengan melakukan pembangunan. Akan tetapi, pada
prakteknya pembangunan yang digadang-gadang sebagai upaya pemerintah untuk
mensejahterakan rakyatnya seringkali muncul dan menampakkan diri kepada
masyarakat dengan wajah yang negatif. Tidak jarang masyarakat menganggap bahwa
pembangunan berarti penggusuran rumah dan tanah mereka, pembangunan adalah
kerja bakti, bahkan pembangunan ialah malapetaka.[3]
Menjadi
pertanyaan pada akhirnya adalah, pembangunan harus berpihak kepada siapa?
Pemerintah, pengusaha, rakyat, atau ketiganya? Jika kemudian dikaitkan dengan
konsep keadilan sosial dan kemanusiaan, maka seharusnya ketiganyalah yang
mendapatkan manfaat dari pembangunan. Pembangunan, dengan kata lain harus
berperikemanusiaan. Jangan sampai hanya segelintir kelompok masyarakat yang
mendapatkan manfaat, tetapi beban kerugian ditanggung oleh masyarakat secara
keseluruhan dan lebih parahnya bila beban terbesar diberikan kepada masyarakat
lemah. Dengan mengatakan bahwa semua masyarakat yang harus mendapatkan
kesejahteraan, dapat dipertanyakan pula, apakah yang perlu mendapatkan
keberpihakan hanya sebatas manusia? Jika ya, bisakah keberpihakan tersebut disebut bersifat
antroposentris, padahal kita semua tahu bahwa menjadikan manusia sebagai
sentral, telah menimbulkan berbagai dampak buruk bagi lingkungan, yang pada
akhirnya tentu berdampak lebih buruk kepada manusia. Lalu, apakah
berperikemanusiaan itu artinya adalah berpihak kepada lingkungan atau
ekosentris? Di mana semua kegiatan manusia harus memperhatikan perlindungan
terhadap ekosistem, karena pada akhirnya dampak positif darinya adalah demi
manusia pula. Atau mungkin bukan juga itu yang disasar, bahwa
berperikemanusiaan tidak melulu hanya tentang manusia itu sendiri seperti
antroposentris, karena sebenarnya perlu juga kita pertanyakan, manusia yang
mana saja yang mesti dipihaki? Serta juga tidak terbatas kepada lingkungan alam
saja demi memberikan kebaikan kembali pada manusia. Memang, di samping semua
itu, jika kita lihat masih ada lagi sebuah konsep yang terlupakan –jika tidak
ingin menyebut ditinggalkan- tentang hak asasi manusia. Maka, bukan hanya
kesejahteraan umum yang dilihat, tetapi juga harus adanya kesejahteraan
individual.
Dengan
demikian, tulisan ini pada bagian-bagian berikutnya akan menjelaskan tentang
konsep pembangunan yang secara spesifik dibatasi pada pembangunan dalam bidang
ekonomi. Akan pula dibahas kaitan antara
pembangunan dengan pentingnya penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia di bidang ekonomi, serta konsep pembangunan yang berperikemanusiaan
dengan mendasarkan diri pada Pancasila sebagai ideologi bangsa, terutama sila
kedua dan sila kelima, sebagai sebuah upaya untuk memperlihatkan bahwa
pembangunan mempunyai sisi yang humanis.
B. Pembangunan dan Pembangunan Ekonomi
Jika kita menelaah hakekat dari pembangunan, menurut Sunaryati Hartono, maka pembangunan merupakan upaya sadar manusia untuk mengubah nasibnya, dan di dalamnya terkandung makna perubahan.[4] Untuk mengukur keberhasilan pembangunan, diperlukan beberapa tolak ukur dan biasanya digunakan kriteria:[5]- Kekayaan rata-rata, dilihat dari PNB/PDB per kapita, dalam arti kekayaan rata-rata suatu negara.
- Pemerataan, untuk melihat apakah kekayaan yang dimiliki negara tersebut bisa memberikan kesejahteraan yang merata bagi rakyatnya.
- Kualitas kehidupan, diukur dengan ukuran PQLI (Physical Quality of Live Index), dengan indikator: a). rata-rata harapan hidup sesudah umur satu tahun; b). Rata-rata kematian bayi; c). Rata-rata prosentase buta dan melek huruf.
- Kerusakan lingkungan, mengingatkan kita semua bahwa produktivitas yang tinggi tidak boleh dibarengi dengan melakukan pengrusakan lingkungan juga.
- Keadilan sosial dan kesinambungan, menghendaki agar pembangunan tidak memunculkan the have and the have not, oleh karena dengan demikian akan memunculkan kerawanan dan kesenjangan sosial. Jika perpecahan terjadi, bisa jadi hasil pembangunan juga akan dihancurkan.
Dari beberapa tolak ukur di atas, dapat dilihat, bahwa tolak ukur pembangunan seiring dengan berjalannya waktu, semakin berkembang, mencari tolak ukur yang dapat memperlihatkan bahwa pembangunan memang terlaksana semakin adil bagi seluruh rakyat.
Kini, mari masuk pada kondisi pembangunan di Indonesia. Beberapa
pakar menganalisis dan memunculkan kesimpulan yang positif dan negatif.
Meskipun, kecenderungan masih berada dalam sisi yang negatif.[6]
Padahal, menurut Satjipto,
pembangunan adalah perubahan yang ‘berisi’, karena dikaitkan dengan adanya
pertumbuhan dan kemajuan.[7]
Dengan demikian, diharapkan bahwa perubahan selalu mengarah kepada hal yang
lebih baik.
Pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan
masyarakat dan warganya. Sering sekali, kemajuan yang dimaksud ialah kemajuan
dalam hal materil. Pada suatu sisi, pembangunan tersebut baik untuk dilakukan,
karena terdapat beberapa kebaikan pada kegiatan pembangunan yang dilakukan,
antara lain dapat dilakukan optimaliasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam
yang tersedia, terbukanya banyak lapangan pekerjaan, kemudahan mobilitas
dikarenakan terdapatnya pembangunan infrastruktur yang baik, serta dapat
memberi kontribusi bagi kemajuan perekonomian bangsa.
Pada
sisi lain, cerita pembangunan justru menghadirkan berbagai keadaan yang sangat bertolak
belakang dengan keuntungan ekonomi yang didapatkan. Didalam kegiatan
pembangunan yang dilakukan, banyak masyarakat yang harus mengorbankan hak milik
atas tanah mereka demi tujuan untuk kepentingan pembangunan. Dalam mencabut hak
milik atas tanah tersebut, pemerintah telah memberikan sejumlah ganti rugi
sebagai imbalan terhadap tanah yang diambil. Namun disadari atau tidak, dengan
pencabutan hak miliki atas tanah tersebut, justru mengganggu kesejahteraan
masyarakat, karena tanah yang mereka miliki telah diambil oleh pemerintah.
Gangguan kesejahteraan yang terjadi berupa hilangnya lahan pertanian yang selama
ini menjadi sumber utama penghidupan masyarakat. Sementara ganti rugi yang
diberi oleh pemerintah hanyalah bersifat materi, dimana sejumlah uang yang
diberi tersebut hanya bersifat temporer, artinya hanya bertahan dalam waktu
tertentu. Dalam artian bahwa uang yang telah diberi oleh pemerintah tersebut,
akan habis dengan sendirinya untuk membiayai kehidupan masyarakat tersebut.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara masyarakat tersebut menghidupi
dirinya dan keluarganya, sementara lahan pertanian yang selama ini menghidupi
mereka telah diambil oleh pemerintah? Berkaca terhadap realita tersebut, maka
hipotesa yang dapat disimpulkan bahwa di sisi yang lain, sering sekali
pembangunan tersebut harus mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan bahkan hak-hak
asasi manusia berupa jaminan dan kepastian untuk memperoleh kehidupan yang
layak[8].
Perlu
menjadi pertanyaan, mengapa pembangunan yang awalnya ditujukan untuk
kesejahteraan, dianggap demikian? Ternyata, salah satu ironi sosial yang
terjadi di dalam kehidupan masyarakat di tengah kondisi pembangunan dan
investasi yang sedang meningkat cukup tajam adalah negara tidak mampu membuat
masyarakat merasa sejahtera secara umum/menyeluruh. Bagaimana perasaan
masing-masing angggota masyarakat adalah kenyataan yang berada di luar
kemampuan negara untuk menentukannya. Negara hanya dapat menciptakan
prasyarat-prasyarat objektif yang perlu tersedia agar kesejahteraan
masing-masing anggota masyarakat dapat terwujud.[9]Dalam
artian yang praktis, bahwa negara dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakat
hanya mampu merumuskan kebijakan-kebijakan yang dianggap sebagai syarat, agar
kesejahteraan dapat tercipta. Sebagai contoh bahwa negara dalam mengusahakan
kesejahteraan sosial tersebut adalah dengan membuka diri untuk menarik investor
menanamkan modalnya di Indonesia, dan pada akhirnya dapat membuka banyak
lapangan pekerjaan. Namun kenyataanya, kebijakan tersebut tidak juga memberi
rasa keadilan, bila yang dipekerjakan hanyalah mereka yang mampu secara
intelektual. Sedangkan masyarakat sekitar lokasi investasi yang terkadang
menjadi penerima eksternalitas negatif kegiatan tersebut, tidak diserap secara
utuh untuk menjadi tenaga kerja.
C. Pentingnya Penghormatan dan Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia di Bidang Ekonomi
Untuk memahami sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab, maka kita tidak dapat lepas dari
gagasan esensialnya, yaitu kesetaraan dan kebebasan demi mewujudkan hak asasi
manusia. Gagasan esensial tersebut haruslah menggunakan logika totem pro parte atau keseluruhan untuk
bagian-bagian dan demikian memiliki konsekuensi bahwa kemerdekaan bangsa
Indonesia berlaku untuk setiap orang yang memiliki identitas sebagai ‘orang
Indonesia’.[10]
Tidak boleh dilupakan pula, jika hak asasi manusia yang dimaksud, termasuk untuk
bidang ekonomi pula.
Jaminan
terhadap hak asasi atas ekonomi tidak hanya terdapat/diatur didalam Konstitusi
UUD 1945.Hak dasar tersebut telah diatur dan dijamin pula oleh dunia Internasional di dalam Konvensi Hak-hak atas Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights, 1966) yang menekankan pada tiga kewajiban fundamental
setiap negara, yaitu;[11]
1.
kewajiban menghormati (hak atas
ekonomi) (to respect);
2.
kewajiban melindungi (hak atas
ekonomi) (to protect);
3.
kewajiban memenuhi (ha katas
ekonomi) (to fulfill).
Berikutnya, ketika mengatakan adil atau tidak adilnya
suatu tindakan haruslah dilihat apakah tindakan tersebut dimaksudkan untuk memenuhi
hak-hak seseorang dan juga menghormati hak-hak orang lain.[12]
Tidak diperbolehkan adanya diskriminasi dalam bentuk apapun.
D. Pembangunan Berperikemanusiaan: Pembangunan yang Humanis
Dalam melaksanakan pembangunan, seperti yang telah dibahas
sebelumnya, seringkaliterjadi pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang ada, dan dengan demikian jauh dari
terciptanya keadilan sosial.
Pembangunan yang dilakukan juga sering sekali harus mengorbankan hak milik
masyarakat yang harus dicabut oleh negara. Secara hukum memang dibenarkan
pencabutan hak milik tersebut apabila didasari oleh kepentingan umum, serta
harus disertai dengan pemberian ganti rugi. Namun pada sisi lain jutru
menimbulkan gejolak sosial, karena pencabutan hak milik tersebut sering
dilakukan dengan mengedepankan cara-cara pemaksaan tanpa diimbangi ganti rugi
yang layak dan memenuhi prosedur yang telah ditetapkan.[13]Kebijakan
pembangunan yang
demikian, belumlah menyentuh
aspek-aspek kemanusian. Akibatnya, atas nama pembangunan, sisi-sisi kemanusiaan
sering sekali dikesampingkan. Sehingga diskriminasi sosial atas nama “demi
pembangunan bangsa/negara” kerapkali memang dipakai sebagai justifikasi
diskriminasi.[14]
Bagi kalangan pengusaha bahkan pemerintah sendiri, menganggap
bahwa itu adalah akibat yang harus ditimbulkan dari kegiatan pembangunan. Namun
menjadi persoalan saat ini adalah apakah kegiatan perekonomian bangsa dengan
wujud investasi dan lain sebagainya, harus mengorbankan hak-hak masyarakat
bahkan hak asasi manusia? Atau dengan kata lain, apakah kegiatan pembangunan
tidak bisa dilakukan dengan lebih humanis
ketimbang hanya menjadi “binatang ekonomi” yang hanya mengedepankan kepentingan
dan nafsu ekonomi semata? Berdasarkan pemikiran tersebut, kami berkeyakinan
bahwa pembangunan bisa dilakukan dengan lebih manusiawi dengan konsep yang kami
sebut Pembangunan Berperikemanusiaan.
Konsep Pembangunan Berperikemanusiaan hadir sebagai suatu
gagasan yang akan menjadi jalan tengah terhadap keadaan pembangunan yang sedang
berlangsung saat ini. Pada dasarnya, konsep ini berpijak pada pemikiran tentang kemanusian, yang
berpandangan bahwa pembangunan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia,
bukan untuk menindas manusia. Dalam artian bahwa pembangunan semata-mata
dilakukan untuk memberikan suatu kemanfaatan/kebahagiaan untuk manusia, bukan sebaliknya, manusia yang menjadi korban pembangunan. Dengan pemikiran
dasar tersebut maka didalam konsep pembangunan berperikemanusiaan, pembangunan tidak boleh semata-mata didasari atas dasar
kebutuhan/desakan bahkan keuntungan ekonomi semata.
Sebelum membahas mengenai lebih rinci perihal konsep
Pembangunan Berperikemanusiaan ini, maka perlu ditegaskan bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus
menjadi salah satu dasar pertimbangan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah
dalam memberi izin atau melakukan pembangunan. Artinya, didalam konsep ini, pertimbangan kemanusian menjadi
satu kesatuan utuh yang perlu untuk diperhatikan dalam melakukan pembangunan,
bersama dengan pertimbangan ekonomi dan pertimbangan lainnya. Diharapkan, dengan memasukkan pertimbangan kemanusiaan, akan tercipta
sebuah keefektivan. Tidak hanya itu, diharapkan pertimbangan tersebut dapat memberikan suatu solusi yang lebih manusiawi, ketimbang
hanya berpatokan pada solusi yang bersifat money
oriented.
Nilai kemanusiaan yang menjadi karakter dari Pembangunan
Berperikemanusiaan memiliki penjabaran yang limitatif,dalam arti terdapat dua syarat mutlak yang harus diperhatikan dan dipenuhi dalam
kegiatan pembangunan. Kedua persyaratan tersebut terdiri dari, pertama bahwa pembangunan itu harus
memperhatikan aspek moral, dan kedua
pembangunan tersebut harus mencerminkan nilai keadilan. Khusus mengenai arti
dari nilai keadilan, memiliki artian bahwa pihak yang telah “dikorbankan” dari
kegiatan pembangunan harus memperoleh suatu ganti rugi yang adil. Ganti rugi
yang dimaksud bukan hanya sekedar materi, tetapi harus ganti rugi yang bersifat
sustainable dalam menjamin kehidupan
perekonomiannya kedepan.
Konsep Pembangunan Berperikemanusiaan dikembangkan dan
didukung dengan menggunakan dasar/fondasi dari pemikiran yang berasal dari
konsep/teori Ekonomi Pancasila[15].
Mubyarto, sebagai pencetus konsep Ekonomi Pancasila mengatakan bahwa Ekonomi Pancasila memiliki karakteristik yang kuat dengan
keadaan Indonesia, salah satunya dikarenakan Pancasila adalah moralitas umum
dari bangsa Indonesia,[16]
selain itu pandangan Ekonomi Pancasila memandang bahwa perekonomian tersebut
tidak semata-mata didasarkan pada rangsangan/faktor ekonomi semata, namun juga
dirangsang oleh pengaruh sosial dan moral.[17]
Berdasarkan hal tersebut, maka moralitas dan keadilan merupakan dua unsur yang
harus terdapat dalam Pembangunan Berperikemanusiaan.
Perekonomian perlu digerakan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan yang paling penting
adalah moral. Pengaruh moralitas
sangat besar dipengaruhi oleh peran agama, yang sejalan dengan
sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengaruh ajaran agama sangat besar perannya dalam
mempengaruhi moralitas. Pengaruh tersebut kemudian seharusnya dijadikan salah satu dasar dalam pelaksanaan perekonomian.
Salah satu contoh pengaruh ajaran agama yang kemudian dihubungkan dengan
kegiatan perokonomian yaitu adanya suatu sikap yang harus dimiliki oleh badan
usaha/perusahaan bahwa bagi perusahaan dalam menjalankan usahanya tidak hanya
berpegangan kepada kepentingan pribadi semata, namun juga harus peduli dengan
kepentingan orang lain, sehingga tidak hanya mengejar keuntungan pribadi, namun
juga perlu memperjuangkan kesejahteraan sosialnya. Hal ini secara lebih bijak
disampaikan oleh Spinoza yang mengatakan “the
good which everyone who follows after virtue seeks for himself the will desire
for other men…” (Kebaikan yang dikejar oleh orang bijak untuk dirinya
sendiri, akan ia harapkan juga untuk orang lain).[18]
Disisi lain bagi masyarakat konsumen, juga harus ditekankan
sikap yang berupa pengendalian diri, dalam artian mengendalikan kebutuhan
sampai batas-batas yang pantas dan wajar sesuai ukuran moral dan sosial.[19]
Berdasarkan contoh tersebut, maka pengaruh agama dalam menentukan kriteria
moralitas dalam pembangunan yaitu terdapatnya sikap yang lebih bijak atau yang
disebut dengan wisdom development. Wisdom Development adalah adanya suatu sikap
bijak dalam menyikapi rencana pembangunan yang akan dilaksanakan. Salah satu
contoh dari sikap bijak tersebut ialah dalam merencanakan suatu pembangunan,
harus dilihat dari seberapa pentingnya pembangunan tersebut untuk dilakukan.
Apabila hal yang ingin dibangun tersebut sudah mendesak,
atau sudah tidak terdapat alternatif lain yang lebih
efisien dan tidak merugikan masyarakat banyak, maka pembangunan
tersebut perlu untuk dilaksanakan.
Nilai keadilan didalam Pembangunan Berperikemanusiaan
didasarkan kepada semangat/jiwa solidaritas sosial. Solidaritas sosial tersebut menjadi dasar bagi sikap/pemikiran
yang bersifat egaliter.
Dengan sikap egaliter akan muncul
suatu sikap yang tidak hanya mencari keuntungan sendiri, tetapi juga
mengusahakan keuntungan pihak lain, sehingga keuntungan dari kegiatan
pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh pihak.[20] Dengan pemikiran yang seperti itu maka
terdapat suatu kewajiban moral bagi pemerintah maupun swasta yang melakukan
pembangunan, untuk mengusahakan/memberi suatu ganti rugi yang adil bagi masyarakat
yang terkena dampat negatif dari pembangunan tersebut. Bentuk
dari ganti rugi yang memiliki nilai keadilan, yang juga dihubungkan dengan
sikap egaliter ialah ganti rugi yang
diberikan kepada masyarakat yang hak milik atas tanahnya dicabut bukan
berorientasi pada pemberian sejumlah dana saja. Salah satu pemahaman yang dapat
mengartikan nilai keadilan didalam pemberian ganti rugi sebagai akibat
atau bahkan bagian, dari kegiatan pembangunan adalah apa yang disampaikan oleh
Konfusius bahwa adil itu adalah “apa yang orang inginkan bagi dirinya, itu juga yang dia harus
berikan kepada orang lain.”[21]Hal tersebut memberikan suatu pemikiran didalam pembangunan
bahwa pembangunan yang dilakukan tidak boleh hanya memikirkan keuntungan yang
ingin didapat oleh salah satu pihak saja, tetapi keuntungan yang sama juga
diharapakan untuk dirasakan/didapatkan oleh pihak lain. Sehingga pembangunan
dapat memberi keuntungan pada berbaai pihak, baik investor/developer, pemerintah, juga
masyarakat setempat.
Pemikiran
terhadap nilai keadilan yang terdapat didalam konsep Pembangunan
Berperikemanusiaan ini tidak akan berjalan efektif, jika peraturan
perundang-undangan tidak berani memasukannya sebagai salah satu persyaratan
dalam pelaksanaan pembangunan. Oleh sebab itu, pemikiran terhadap nilai
keadilan ini harus dicover secara lebih tegas dalam peraturan tertulis. Contohnya didalam aspek lingkungan, dimana sebelum suatu kegiatan akan
berdampak kepada alam, maka diperlukan persyaratan uji AMDAL sebagai ketentuan
yang memperbolehkan pembangunan tersebut dilakukan. Jika dari aspek lingkungan
saja pemerintah telah mengatur, maka diperlukan juga peraturan yang
memperhatikan aspek kemanusiaan. Sehingga pembangunan bisa kembali kepada
kodrat dasarnya, yaitu untuk memenuhi kebutuhan manusia dan memberi kemanfaatan bagi manusia,
bukan sebaliknya.
Baca Mini paper lainnya >>> DISINI
E. Kesimpulan
Untuk menunjukkan bahwa pembangunan tidak hanya memiliki sisi
negatif, dapat dilakukan dengan melaksanakan pembangunan yang
berperikemanusiaan, sehingga dapat dilihat bahwa sebenarnya pembangunan juga
memiliki sisi yang humanis. Dalam pelaksanaannya, memang tidak mudah, karena
pembangunan yang demikian mensyaratkan pertimbangan lain yang lebih banyak.
Tidak hanya sebatas pembangunan yang berpusat pada manusia atau antroposentris,
juga yang hanya berpusat pada alam atau ekosentris. Diperlukan pula keberpihakan
terhadap aspek kemanusiaan manusia dengan cara menjadikan menghormati dan
melindungi hak asasi manusia dalam bidang ekonomi. Dengan demikian, diharapkan
nilai-nilai kemanusiaan tidak diabaikan.
Sumber: Disesuaikan dari tulisan Rismawati dan Satria Saronikhamo Waruwu
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Call For Paper dengan tema:
“Seeking the Peace and Prosperity of Our Nation” Yang dilakukan oleh
Keluarga Mahasiswa Kristiani Pascasarjana (KMK PS) UGM
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Adolf, Huala,Hukum Ekonomi Internasional, Bandung: Keni Media,2005.
Bolo, Andreas Doweng, dkk, Pancasila
Kekuatan Pembebas, Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Budiman, Arief,Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Dua, Mikhael,Filsafat Ekonomi Upaya Mencari
Kesejahteraan Bersama, Yogyakarta:
Kanisius, 2008.
Hartono, C.F.G. Sunaryati,Membangun Budaya Hukum Pancasila Sebagai Bagian Dari Sistem
Hukum Nasional Indonesia Abad 21, 251-273,dalam Jurnal Ilmu Hukum
Veritas Et Justitia Volume 1 Nomor 2, Desember 2015.
HR, Ridwan,Hukum Administrasi Negara Edisi
Revisi, Jakarta: Rajawali Pers,
2011.
Imaniyati, Neni Sri,Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam
dalam Perkembangan, Bandung:
Mandar Maju, 2002.
Kusumohamidjojo,
Budiono,Ketertiban Yang Adil Versus
Ketidak-adilan: Beban Sosial-Ekonomi Yang Historis Dari Hukum disampaikan dalamOratio Dies Natalis Fakultas Hukum UNPAR
Ke-57di Bandung pada 19 September 2015.
Mubyarto, Ekonomi Pancasila Gagasan dan Kemungkinan,
Jakarta: LP3ES,1987.
Muhammad, Abdulkadir,Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.
Sidharta, “Konsep Diskriminasi dalam Perspektif
Filsafat Hukum” dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof.
Dr. B. Arief Sidharta, Bandung:
Refika Aditama, 2011.
Suseno, Frans Magnis,Etika Politik Prinsio-Prinsip Moral
Dasar Kenegaraan Modren, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
[1] Andreas
Doweng Bolo, dkk, Pancasila Kekuatan
Pembebas, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 250.
[2]Ridwan
HR, Hukum Administrasi Negara Edisi
Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 19.
[3]Arief
Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 1.
[4]Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan, (Bandung:
Mandar Maju, 2002), 3.
[5]Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, 2-8.
[6]Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan, 9-10.
[7]Ibid.,
10.
[8]Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 Pasal 28H ayat 3.
[9]Frans
Magnis Suseno, Etika Politik
Prinsio-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modren, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003), 305.
[10]Andreas
Doweng Bolo, dkk, Pancasila Kekuatan
Pembebas,133.
[11]Huala
Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, (Bandung:
Keni Media,2005), 218.
[12]Andreas
Doweng Bolo, dkk, Pancasila Kekuatan
Pembebas, 234.
[13]Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010),
152.
[14]Sidharta,
“Konsep Diskriminasi dalam Perspektif Filsafat Hukum”
dalam Butir-Butir
Pemikiran Dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, (Bandung:
Refika Aditama, 2011), 117.
[15]Selain Ekonomi Pancasila, terdapat pula gagasan yang memiliki tujuan hampir serupa,
yaituHumanisme Ekonomi dari
Sismondi yang kemudian dikembangkan
oleh John A.Hobsen secara lebih eksplisit. Dalam gagasan tersebut menurut
Hobsen, ekonomi harus berubah menjadi suatu ilmu yang benar-benar berbicara tent kesejahteraan manusia. Dua argumen yang dapat menjelaskan
hal tersebut adalah. Pertama kepuasan dan bisnis harus diukur dengan standar
yang lebih manusiawi, dan kedua bahwa jika standar kepuasan diukur dengan
starndar yang lebih manusiawi maka standar tersebut harus bisa menjelaskan
kebaikan real hidup manusia sebagai keseluruhan. Lihat Mikhael
Dua, Filsafat Ekonomi Upaya Mencari
Kesejahteraan Bersama, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 103-104.
[16]Mubyarto,
Ekonomi Pancasila Gagasan dan Kemungkinan,
(Jakarta: LP3ES,1987), 33.
[17]Ibid., 40.
[18]C.F.G.
Sunaryati Hartono, Membangun Budaya Hukum Pancasila Sebagai
Bagian Dari Sistem Hukum Nasional Indonesia Abad 21, 251-273,dalam Jurnal Ilmu Hukum Veritas Et
Justitia Volume 1 Nomor 2, Desember 2015,
260.
[19]Mubyarto, Ekonomi
Pancasila Gagasan dan Kemungkinan, 47.
[20]Mubyarto, Ekonomi Pancasila Gagasan dan Kemungkinan, 41.
[21]Budiono
Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil
Versus Ketidak-adilan: Beban Sosial-Ekonomi Yang Historis Dari Hukum disampaikan
dalamOratio Dies Natalis Fakultas Hukum UNPAR Ke-57di Bandung pada 19 September
2015, 11.