Pembangunan Sektor Perikanan dan Kesejahteraan Nelayan
"KISAH
SI PENJALA IKAN"
Kesejahteraan Nelayan dan Pembangunan Sektor Perikanan
Pendahuluan
Nelayan menjadi simbol negara kepulauan. Artinya, nelayan
memiliki kesejahteraan dalam semua aspek. Indonesia yang merupakan negara
kepulauan mestinya menunjukkan keadaan nelayan yang demikian. Namun sejak masa
Hindia Belanda, nelayan belum mencipipi kata “kesejahteraan”. Selain karena
sistem ekonomi yang mengalami perubahan, apalagi yang dapat membuat
kesejahteraan nelayan tidak terwujud?
Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan
saat ini, melakukan banyak gebrakan yang membuat Presiden Jokowi bangga dan
meminta para menteri yang lain mengikuti jejaknya. Dia melakukan pembakaran
kapal-kapal asing, menyuarakan perlunya perlindungan hak asasi manusia (HAM)
bagi anak buah kapal (ABK) dan nelayan serta menjalin hubungan kerjasama dengan
Rusia dan Amerika Serikat. Semuanya dilakukan untuk menyejahterakan nelayan dan
menambah kas negara melalui sektor perikanan dan kelautan.
Ada beberapa hal yang perlu dipahami untuk
menyejahterakan nelayan selain daripada kegiatan pembakaran kapal. Pertama,
kita perlu melihat kehidupan nelayan beberapa tahun belakangan ini. Persoalannya
masih sama, mereka sulit mendapatkan pinjaman dari bank untuk pembuatan perahu.
Kedua, kita perlu melihat nelayan pada masa sistem sewa yang diberlakukan oleh
VOC. Alasan nelayan belum mencapai kesejahteraan dijelaskan pada bagian ini. Harapannya,
tulisan ini dapat menyajikan benang merah kehidupan si penjala ikan. Bukan
tidak mungkin menyejahterahkan nelayan. Hanya butuh usaha keras, pembelajaran
dan pengertian.
Baca Mini paper lainnya >>> DISINI
Nelayan, Riwayatmu Kini
Jika dilihat dari data Badan Pusat Statistik, sektor
perikanan dan kelautan mengalami kenaikan 8,73 persen pada kuartal III.[1] Susi
menargetkan pertumbuhan sektor perikanan dan kelautan minimal sebesar 12
persen. Menurutnya, pertumbuhan
di sektor perikanan tersebut menunjukkan adanya peningkatan daya beli pelaku
subsektor kelautan dan perikanan dibandingkan subsektor lain. Hingga kuartal
III 2015, produksi perikanan tangkap mencapai 4,72 juta ton, meningkat 5.03
persen dibangdingkan periode yang sama tahun lalu. Secara keseluruhan,
Susi berhasil untuk membangkitkan sektor perikanan dan kelautan.
Tugas lainnya adalah memahami siapa nelayan
Indonesia. Mereka bukan nelayan dengan pendidikan menengah ke atas dan tidak diperlengkapi
dengan alat tangkap yang canggih. Mereka adalah nelayan tradisional dengan
budaya bahari dan hukum alam yang harus dipatuhi.[2] Sekretaris
Jenderal KIARA, Riza Damanik menyatakan, ada 116 nelayan tiap harinya yang
berpindah ke jenis pekerjaan yang lain. Sampai tahun 2012, tersisa 2,2 juta
orang saja. Mereka sebagian besar tinggal di pesisir utara dan selatan Jawa dan
Bali. Nelayan masih menjadi mata pencaharian sebagain besar penduduk Indonesia
di bagian timur, meliputi Sulawesi, Maluku Utara, penduduk pesisir Papua dan
Kepulauan Nusa Tenggara. Mereka semua adalah nelayan tradisional.[3]
Data BPS mencatat jumlah nelayan miskin di Indonesia
pada tahun 2011 mencapai 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari seluruh jumlah
penduduk miskin nasional yang mencapain 31,02 juta orang. Bahkan pendapatan
nelayan Indonesia berada di bawah standar garis kemiskinan yang ditetapkan Bank
Dunia yakni sebesar Rp 520ribu per bulan. Pemerintah melalui Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KPP) sudah menyiapkan program peningkatan kehidupan
nelayan untuk menanggulangi kemiskinan masyarakat pesisir yang tersebar 10.640
desa di Indonesia, dengan alokasi anggaran sebesar Rp 127.83 miliar pada tahun
2011 dan tahun 2012 meningkat menjadi Rp 1,17 triliun. Namun ternyata, tidak
semua nelayan mendapatkan bantuan dana tersebut yang dialokasikan untuk
meningkatkan taraf hidup nelayan.[4]
Susi berharap apa yang diberikan pemerintah melalui
susbsidi dikembalikan nelayan dengan hasil yang setimpal. Baginya, eksploitasi
dan pembudidayaan yang ramah lingkungan serta memperoleh keuntungan yang besar
adalah tujuan utama.[5] Untuk
sampai ke tujuan tersebut, ada banyak tantangan yang harus diselesaikan.
Tantangan pertama adalah illegal fishing. Untuk mengatasi masalah ini, sehari setelah
kemerdekaan RI yang ke-70, Susi menenggelamkan 37 kapal asing yang ada di
perairan Indonesia. Dia mengakui masih sulit untuk mencari pelaku utama dalam
jaringan pencurian ikan. Bukan tanpa alasan dia menyatakan demikian, karena illegal fishing tidak lepas dari oknum aparat
dan penguasaha Indonesia. Dia dan negara-negara di Lautan Pasifik, Fiji dan
Papua Nugini telah membuat suatu kesepakatan pemberantasan pencurian ikan. [6]
Dampak penenggelaman kapal asing pencuri ikan atau illegal fishing adalah meningkatnya
persedian ikan di pasar lokal. “Pendapatan nelayan naik, ikan di pasar lokal
banyak, harga juga tidak terlalu mahal. Ekspor tuna juga meningkat 80% di
Bali,” demikian disampaikan Susi. Atas hasil kerja Susi dan KKP, Indonesia
mendapatkan keringanan dari Amerika yang membebaskan bea ekspor produk
perikanan.[7]
Tidak hanya illegal
fishing, Susi kemudian mengeluarkan peraturan baru terkait API (alat
penangkapan ikan). Peraturan yang dikeluarkannya memberi pro dan kontra bagi
para nelayan. Januari 2015, Susi menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan
Pukat Hela dan Pukat Tarik. Susi menyatakan penggunaan trawl oleh kapal-kapal besar selama ini memiliki efek yang dahsyat
terhadap ekosistem bawah laut. Kerusakan parah akan jelas terlihat setelah alat
tangkap itu digunakan. Makin efektif alat tangkap itu, makin kejam juga
terhadap ekosistem laut. Dia juga menambahkan, dengan menggunakan kapal 800 GT
dengan luas 100 kilometer, dipastiakn kerusakan ekosistem bawah laut akan
bertampah parah.[8]
Nelayan mengakui saat ini mereka perlu melaut lebih
jauh dan butuh waku berhari-hari, jelas butuh modal yang lebih besar. Padahal
harga ikan jhanya berkisar Rp 7000-Rp 15000 per kilogram. Jika dihitung,
penghasilan dengan kapal 20-27 GT, pendapatan sekali melaut bisa Rp 50 juta.
Jika dipotong modal hingga Rp 25juta, tersisa Rp 25juta yang harus dibagikan
kepada nelayan dan pemilik kapal (satu kapal berisi 6-10 orang).
Memang betul, itu semua karena nelayan telah
menggunakan pukat sebagai API sehingga anak ikan pun ikut tertangkap. Tepat
jika dikeluarkan larangan untuk menggunakan pukat tarik dan hela. Namun menurut
Ketua Forum Kelautan dan Perikanan Jawa Timur Oki Lukito, kebijakan itu kurang
tepat jika diberlakukan untuk semua wialyah penangkapan ikan. Larangan tersebut
diberlakukan tanpa sosialisasi dan solusi. Larangan tersebut perlu dibatalkan
karena merugikan nelayan dan pengolah ikan tradisional.[9]
Nelayan Masa Sistem Sewa
Makin besar modal usaha yang kita tanam berarti
semakin besar pula kemungkinan usaha kita akan berkembang. Demikian juga
menjadi seorang nelayan. Menjadi seorang nelayan membutuhkan modal yang besar,
seperti pengadaan perahu, jaring, layar dan biaya operasional (BBM). Namun
nelayan tidak punya modal sebesar itu untuk memiliki perahu, jaring bahkan
untuk biaya operasional.
Hingga sekitaran tahun 1850, terdapat setidaknya dua
jenis modal usaha yakni modal patungan dan modal pinjaman.[10]
Modal patungan adalah modal usaha yang diperoleh dengan cara kerja sama di
antara para nelayan dan menjadi pilihan pertama untuk mengatasi kekurangan
modal. Modal pinjaman adalah modal usaha yang berasal dari orang-orang kaya
setempat atau dari para patcher. Dalam sistem tersebut, para nelayan biasanya
membentuk kelompok kerja yang saling melengkapi. Hasil tangkapan kemudian
dibagi untuk pemilik jaring, pemilik perahu, juragan, pandega (anak buah kapal)
dan juga orang-orang yang terlibat tapi berada di darat. Kegiatan ini tidak hanya
di Jawa dan Madura, tapi juga berlangsung di Sulawesi, Menado, Saparua dan
Ambon. Hingga saat ini, sistem patungan masih berlaku, bahkan tetap bertahan
karena sulitnya mendapatkan pinjaman modal.
Sistem sewa mulai diterapkan di pantai utara Jawa
dan Madura sejak awal abad 19. Kebijakan ini diambil Pemerintah Hindia Belanda
karena kesulitan mengumpulkan pajak. Pemerintah menjalin kerjasama dengan pihak
kedua yang memiliki pengaruh dalam masyarakat sejak lama, golongan Tionghoa. Pemerintah
memperoleh uang sewa dalam jumlah tertentu dari para patcher (Orang Tionghoa),
sebaliknya pemerintah melimpahkan tidak hanya hak kewenangan melakukan
penarikan pajak atas daerah tertentu, tetapi juga kewenangan membentuk
agen-agen pengawasan dan pasukan-pasukan bayaran. Strukturalisasi sistem sewa pada
usaha penangkapan ikan terjadi makin mapan setelah sektor ini ditetapkan
sebagai salah satu sumber pemasukan kas negara tahun 1849.[11]
Walaupun demikian, sistem sewa tidak berlangsung di
seluruh Hindia Belanda. Sistem sewa untuk sektor penangkapan ikan diterapkan di
residensi banten, Jakarta, Pekalongan, Semarang, Gresik, Surabaya, Pasuruan,
Bangkalan (Madura), Sumenep, Besuki dan Banyuwangi. Wilayah di luar Jawa yang
menerapkan sistem ini hanya di Kalimantan Barat. Kalimantan Tenggara dan
Makasar. Sistem sewa ini hanya diterapkan di wilayah yang penduduk pantainya sudah
sejak lama melakukan usaha penangkapan ikan atau menjadi nelayan. Bahkan di
Sumatera, tidak ada satu pun wilayah penangkapan ikan yang disewakan kepada
patcher.
Begitu seriusnya pemerintah dengan sistem tanam
paksa, sehingga sektor penangkapan ikan kurang mendapat perhatian. Celah ini
yang digunakan para swasta masa itu untuk menanamkan modalnya. Para patcher
tidak mendapaan pengawasan sama sekali dari pemerintah. Keuntungan yang mereka
dapat diputar lagi dengan memberikan pinjaman kepada nelayan. Bagi nelayan
sendiri, peran patcher merupakan kesempatan untuk mendapatkan modal usaha yang
lebih besar jumlahnya. Para patcher menyalurkan alat-alat produksi, seperti
perahu, jaring dan sebagainya. Sebaliknya, para patcher menjualnya kepada para
nelayan dengan harga yang biasanya lebih mahal dari harga pasar. Kegiatan jual
beli terjadi atas patcher dengan kelompok nelayan, yang terikat karena satu
juragan nelayan atau padega perahu. Jaminan para nelayan tadi adalah
menyerahkan sebagai ikan hasil tangkapan, dan harus pula menjual ikan hasil
tangkapan yang berlebih kepada patcher.[12] Kehadiran
patcher dirasa pemerintah sebagai sistem pemerasan keringat para nelayan. Jika
pun ada nelayan yang tidak terikat dengan patcher, mereka tetap harus
memberikan setoran pajak seperti yang ditetapkan pemerintah.
Titik utama dari sistem sewa adalah cara para
nelayan mendapatkan modal usaha dan tetap bertahan walaupun hasil tangkapan
menurun. Tidak bisa dipungkuri, para patcher akhirnya memainkan sistem monopoli
di sini. Patcher berperan sebagai pemberi modal, pembeli dan penjual tunggal di
pasaran. Maka dari itu, dalam bukunya, Menyusuri
Pantai Utara, Masyhuri menyatakan patcher boleh jadi memborong semua hasil
tangkapan pada saat pelelangan ikan. Dia memberikan contoh di Banten, pemegang
hak sewa sektor penangkapan ikan sekaligus pemegang hak sewa atas eksploitasi
hasil hutan di daerah pantai. Patcher menjadi pusat dari jaringan perdagangan
ikan yang terjadi, sekaligus berperan sebagai penampung hasil tangkapan ikan
dari para nelayan.
Dampak positif yang dirasakan adalah meningkatnya
jumlah kapal milik nelayan akibat investasi modal oleh patcher di Jawa dan
Madura. Investasi dari modal patungan di antara nelayan atau modal yang
dipinjam dari keluarga ataupun dari pinjaman lainnya tidak sebesar modal yang
tertanamkan yang berasal dari patcher. Perlu ditekankan, modal dari pemerintah
belum banyak berperan. Intinya, perkembangan usaha penangkapan ikan setelah
tahun 1859 sulit dilepaskan dari sistem sewa dan keberadaan patcher.
Nelayan sebenarnya cukup diuntungkan dengan sistem
ini. Selain dapat melakukan pekerjaannya dengan pendapatan yang memadai, juga
terbuka kemungkina yang luas untuk memiliki sarana penangkapan ikan sendiri,
seperti perahu, jaring dan sebagiannya. Dalam uraian Masyhuri, kehidupan sosial
ekonomi nelayan cukup satbil. Pendapatan rata-rata mereka lebih tinggi dari
pendapatan petani ataupun pekerja harian di perkebunan.
Menjadi catatan bersama, pada masa itu para nelayan
menangkap ikan dengan keterampilan yang mereka miliki dan API seadanya.
Masyhuri menguraikan jenis jaring, atau API lainnya yang digunakan nelayan pada
masa itu berikut dengan jenis perahu nelayan. Tak ketinggalan jenis jaring yang
digunakan nelayan disesuaikan dengan jenis ikan. Tiap wilayah perairan di
Indonesia, mempunyai teknik dan API sendiri sesuai dengan jenis ikan yang ada
di perairan tempat nelayan melaut.[13]
Bagan I
Investasi dan
Pemasaran Produksi Ikan pada Masa Sistem Sewa
Bagan tersebut menejlaskan
alur invertasi dengan garis panah penuh dan alur produksi ikan dengan garis
panah putus-putus.[14]
Nelayan,
Riwayatmu Nanti
Ada
dua pokok yang dijabarkan pada bagian ini setelah pemaparan keadaan nelayan
dalam kurun waktu yang berbeda. Pokok pertama adalah investasi dan investor. Pemerintah
Belanda mengakui belum mampu untuk berinvestasi besar dalam sektor perikanan.
Belanda memang berjiwa dagang pada dasarnya, apa yang ada diperjualbelikan.
Pada saat itu, mereka belum melihat sektor perikanan dan kelautan mampu
memberikan keuntungan dalam jumlah yang besar atau setidaknya sebanding dengan
sektor pertanian dan perkebunan. Orang Tionghoa mengambil kesempatan ini dan
mencoba peruntungannya.
Patcher
mendapat kepercayaan dengan memiliki hak sewa dan hak lelang, demikian yang
dijelaskan Masyhuri. Patcher memainkan monopoli dan monogopsoni atas sektor
perikanan. Mereka adalah investor sekaligus pembeli dan pedangang. Pada masa
itu, hanya Orang Tionghoa yang menjadi investor dan dirasa cukup oleh
pemerintah. Terbukti, patcher berhasil memainkan peranannya. Nelayan pun
merasakan manfaat kehadiran patcher.
Jika
mellihat dari kebijakan yang diambil Susi-mendatangkan banyak investor-maka
akan terjadi monopoli dan monogopsoni dalam sektor perikanan tanpa kita sadari.
Peranan tersebut juga tidak sepenuhnya terlaksana. Investor, jika mereka adalah
orang Indonesia-pengusaha Indonesia-bisa jadi memahami betul kondisi keadaan
nelayan mereka. Mereka sudah mengetahui karakteristik warga dan tahu betul
eksploitasi seperti apa yang harusnya dilakukan. Belajar dari yang sudah lewat,
investor asing hanya melakukan eskploitasi besar-besaran, meraih keuntungan dan
sangat jarang memperhatikan pekerja-dalam hal ini nelayan. Kalaupun Susi
menyatakan, adanya investor asing akan membantu perekonomian dan meningkatkan
kesejahteraan nelayan, sepertinya perlu dipikirkan bentuk kerjasamanya.
Pokok
kedua adalah pinjaman perbankan. Nelayan sangat sulit mengajukan pinjaman ke
bank. Padahal seorang nelayan membutuhkan modal yang besar mulai dari pengadaan
perahu, jaring, bahan bakar dan biaya operasional lainnya. Nelayan saat ini
menghadapi masa sulit, selain pinjaman yang susah, mereka juga harus berlaut
makin jauh akibat ikan yang makin sepi di perairan laut dangkal. Artinya,
nelayan makin membutuhkan modal besar, untuk persiapan bahan makanan selama
berlayar. Selain itu, tidak memungkinkan menggunakan kapal ukuran 5 GT jika
jarak melaut sudah lebih dari 4 mil dari lepas pantai. Bantuan perbankan sangat
membuka kesempatan untuk peningkatan mutu para nelayan.
Nelayan
bisa mendapatkan semuanya dengan kehadiran patcher. Patcher menyewakan kapal,
menyewakan API dan juga kebutuhan lain selama melaut. Memang kemudian, nelayan
diperas melalui pembayaran sewa. Namun titik pentingnya adalah nelayan
terselamatkan dan tetap bertahan bahkan merasakan keuntungan dengan profesinya
tersebut. Ketika sistem sewa dihapuskan, setelah tahun 1880an, nelayan
mengalami kemuduran pemasukan dan penurunan produktivitas.[15]
Program
pembiayaan sektor perikanan dan kelautan akhirnya mengalami perluasan sebagai
bagian dari program pemerintah untuk memperkat sektor kemaritiman. Melalui
program Jaring (Jangkau, Sinergi dan Guideline) Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan pinjaman kepada
para nelayan. Target utama program ini adalah meningkatkan kredit dan
pembiayaan di sektor kelautan dan perikanan serta mendorong perluasan akses
masyarakat di sektor kelautan dan perikanan ke layanan jasa keuangan. [16]
Pengalihan
alat tangkap cantrang ke alat tangkap yang lebih ramah lingkungan menjadi
pembahasan kerjasama OJK dengan KKP. Dana yang digulirkan lewat skim pembiayaan
perbankan sebesar Rp 17,95 trilliun. Dana kredit sektor kelautan dan perikanan
itu naik 66,21 persen dibandingkan tahun 2014, yakni Rp 10,8 triliun. Kemudian,
dana dialokasikan ke tujuh bank yang sudah terdaftar sebagai bank partner. Pihak
OJK juga berjanji untuk memfasitalisasi keringanan atau peninjauan utang
nelayan cantrang ke perbankan agar mampu memberli alat tangkap yang baru. Pemerintah
juga akan memfasilitasi mekanisme penjaminan berupa asuransi dari perusahaan
pembiyaan non-bank, seperti Jamkrindo.[17]
Baca Mini paper lainnya >>> DISINI
Harapan
baru bagi nelayan kecil. Dengan memperoleh pinjaman dari perbankan, mereka bisa
membayar utang sebelumnya, bisa memiliki lebih dari satu API-yang tentunya
sesuai dengan ketentuan KKP-dan bisa memilliki modal jika ingin memiliki usaha
akuakultur. Susi menambahkan, nelayan akan mendapat fasilitas utilisasi yang
lebih modern, seperti mesin es, pasar ikan (lebih dari sekedar tempat
pelelangan ikan), lalu kapal besar dengan cold
storage.[18]
Bagan 2
Investasi dan Pemasaran Produksi
Ikan Saat Ini
Bagan
tersebut menjelaskan alur investasi dengan tanda panah utuh dan alur pemasaran
dengan tanda panah putus putus. Patcher digantikan dengan pasar ikan sebagai
sentra penjualan, dimana nelayan dapat memperoleh keuntungan dari hasil
penjualan dan juga memperoleh modal untuk penangkapan selajutnya. Investor dan
lembaga perbankan menggantikan peran patcher sebagai investor. Kelebihannya
adalah pajak dengan bunga yang rendah.
Ini menjadi perhatian kita bersama untuk menekan
jumlah investor asing dalam sektor perikanan dan kelautan. Tidak ada bedanya
nelayan kita menjadi ABK di kapal ikan asing dengan investor asing yang
mengeksploitasi sektor perikanan dan kelautan Indonesia. Selain itu, Susi juga
harus mempertimbangkan berbagai aspek sosiologi dan antropologi nelayan
Indonesia. Dengan demikian, kebijakan yang dikeluarkan tidak akan merugikan
nelayan di satu pihak atau mengguntungkan nelayan di satu pihak saja.
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Call For Paper dengan tema:
“Seeking the Peace and Prosperity of Our Nation” Yang dilakukan oleh
Keluarga Mahasiswa Kristiani Pascasarjana (KMK PS) UGM
DAFTAR PUSTAKA
Website
- http://nasional.kompas.com/read/2015/09/18/17342511/.Ibu.Susi.Salah.Kami.Apa.
- http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/12/07/142400726/Susi. Daya.Beli.Pelaku.Sektor.Perikanan.Meningkat
- http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/13/m2e5go-jumlah-nelayan-indonesia-tinggal-dua-juta
- http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/10/31/154220426/Susi.5. Tahun.Lagi.Nelayan.Tak.Bergantung.pada.Subsidi?utm_source=RD&utm_medium=inart&utm_campaign=khiprd
- http://www.antarajatim.com/lihat/berita/107767/terpuruknya-nelayan- di-negeri-maritim. 7 April 2013
- http://tekno.tempo.co/read/news/2015/02/02/061639394/pukat-harimau-kian-gerus-satwa-laut
- http://aceh.tribunnews.com/2015/02/06/tersangka-kasus-trawl-bertambah
- http://print.kompas.com/baca/2015/04/06/Populasi-Ikan-Berkurang%2c-Nelayan-Harus-Melaut-Lebi
- http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/12/04/111100826/Susi. Ingin.Investor.Rusia.Makin.Banyak.di.Indonesia
- http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/11/04/143742326/Ini. Perbedaan.Kultur.Nelayan.Pesisir.Selatan.dan.Utara.Jawa.versi.Menteri.Susi?utm_source=RD&utm_medium=inart&utm_campaign=khiprd
- http://www2.jawapos.com/baca/opinidetail/6075/Merdeka-sebagai-Bangsa-Maritim
- http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/11/13/124500726/ Genjot.Pembiayaan.ke.Sektor.Perikanan.dan.Kelautan. Program.Jaring.OJK.Digelar.di.Malang
- http://print.kompas.com/baca/2015/06/19/Pengalihan-Alat-Cantrang-Dimulai?utm_source=bacajuga
Majalah
- Tempo Edisi Khusus 16-22 November 2015.
Buku
- Dick, Howard, Vincent J.H. Houben, J. Thomas Lindblad & Thee Kian Wie. 2002. The Emergence Of A National Economy. Australia : Allen & Unwin.
- Masyhuri. 1996. Menyusuri Pantai Utara. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.
- [1]http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/12/07/142400726/Susi. Daya.Beli.Pelaku.Sektor.Perikanan.Meningkat.
- [2]Baca Tempo Edisi Khusus “Hikayat Dari Tepi
Laut”, 16-22 November 2015, hlm. 32-151.
- [3]http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/13/m2e5go-jumlah-nelayan-indonesia-tinggal-dua-juta.
- [4]http://www.antarajatim.com/lihat/berita/107767/terpuruknya-nelayan-di-negeri-maritim.
7 April 2013.
Kontribusi kelautan Indonesia dari sektor perikanan hanya 3,5 persen dari
Produk Domestik Bruto, sedangkan Cina, Korea dan Jepang memberikan kontribusi
sebesar 35 persen dengan luas lautan setengah laut Indonesia.
- [5]http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/10/31/154220426/ Susi.5.Tahun.Lagi.Nelayan.Tak.Bergantung.pada.Subsidi?utm_source=RD&utm_medium=inart&utm_campaign=khiprd.
- [6]Ibid,.
- [7]https://beritagar.id/artikel/berita/masih-ada-70-kapal-nelayan-gelap-menunggu ditenggelamkan, 30 Desember 2015 dan juga
- http://www.antaranews.com/berita/537389/ kkp-70-kapal-menunggu ditenggelamkan,29 Desember
2015.
- [8]http://regional.kompas.com/read/2014/11/01/12275541/ Jaga.Kelestarian.Ikan.Susi.Ajak.Nelayan.Tak.Pakai.Jaring.Kecil?utm_source=news&utm_medium=bp-kompas&utm_campaign=related&. Susi juga melarang nelayan menggunakan jaring kecil dengan alasan anak ikan pun akan ikut tertangkap. Padahal anak ikan itu harusnya berkembang biak dan beberapa bulan yang akan datang dapat dipanen oleh nelayan.
- http://tekno.tempo.co/read/news/2015/02/02/061639394/pukat-harimau-kian-gerus-satwa-laut, melalui WWF
Indonesia, didapatkan data bahwa akibat penggunaan pukat harimau, rumah bagi
ekosistem bawah laut seperti penyu dan hiu. Habibi menyatakan, sebanyak 18-40
persen udang dan ikan dari total tengkapan nelayan merupakan hasil tangkapan
dari pukat harimau.
- [9]http://print.kompas.com/baca/2015/04/06/Populasi-Ikan-Berkurang%2c-Nelayan-Harus-Melaut-Lebi.
- [10]Masyhuri, 1996, Menyisir Pantai Utara, Yogyakarta:
Yayasan Pustaka Nusatama, hlm. 79.
- [11]Masyhuri, Op.cit,. hlm 83.
- [12] Op.cit,. hlm 91.
- [13]Terkait dengan
usaha perikanan dan organisasi penangkapan ikan, dapat dibaca pada Bab II, hlm
22- 74.
- [14]Masyhuri, Op.cit., hlm 94.
- [15]Setelah
mengalami restrukturisasi usaha, produktivitas nelayan mulai menurun. Masyuhri
menguraikan permasalahan tersebut pada BAB IV, hlm 121-178.
- [16]http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/11/13/124500726/Genjot. Pembiayaan.ke.Sektor.Perikanan.dan.Kelautan.Program.Jaring.OJK.Digelar.di.Malang. Pada tahap
awal terdapat delapan bak partner yang bergabung dalam program Jaring yaitu PT
BNI Tbk, PT BRI Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT BPTN Tbk, PT Danamon Indonesia
Tbk, Pt Band Permata Tbk, PT Bank Bukopin Tbk dan PT BPD Sulselbar. Kemudian
ada lima bank lagi yang menyusul menjadi bank partner Jaring yaitu PT BCA Tbk,
PT Bank Mayabank Indonesia Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank Sinarmas Tbk
dan PT BPD Jawa Timur Tbk.
- [17]http://print.kompas.com/baca/2015/06/19/Pengalihan-Alat-Cantrang-Dimulai?utm_source=bacajuga. Adapun harga
alat tangkap jaring insang yang merupakan alternatif pengganti gillnet mencapai
Rp 100 juta-Rp 300 juta. Mahalnya harga gillnet menjadi kekhwatiran nelayan
kecil, khawatir tidak dapat melakukan peminjaman ke perbankan. Pemerintah juga
perlu menanggapi ini, supaya tidak hanya nelayan besar (nelayan juragan) yang
menikmati kredit perikanan.
- [18]http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/11/21/123600526/ Ini.yang.Diperjuangkan.Susi.untuk.Nelayan.RI?utm_source=bisniskeuangan&utm_medium=bp-kompas&utm_campaign=related&.