Hubungan negara dengan warga negara
Materi Kuliah Kewarganegaraan: Hubungan negara dengan warga negara
Thomas Hobbes, tokoh
yang mencetuskan istilah terkenal Homo homini lupus (manusia pemangsa sesamanya), mengatakan bahwa fungsi
negara adalah menertibkan kekacauan atau chaos dalam masyarakat. Walaupun negara adalah bentukan
masyarakat, namun kedudukan negara adalah penyelenggara ketertiban dalam
masyarakat agar tidak terjadi konflik, pencurian dan lain-lain. (Wibowo, 2000:
8).
Persoalan yang
paling mendasar hubungan antara negara dan warga Negara adalah masalah hak dan
kewajiban. Negara demikian pula warga negara sama-samamemiliki hak dan
kewajiban masing-masing. Sesungguhnya dua hal ini saling terkait, karena
berbicara hak negara itu berarti berbicara tentang kewajiban warga negara,
demikian pula sebaliknya berbicara kewajiban negara adalah berbicara tentang
hak warga negara.
A. PENGERTIAN HAK DAN KEWAJIBAN
Mengacu pada pengertian hak asasi
manusia sebagaimana tercantum dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 1999 Pasal 1 yang menyebutkan: “Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintahan,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.” Sedangkan Kewajiban
Asasi adalah
kewajiban dasar yang harus dijalankan
oleh seseorang dalam kaitannya dengan kepentingan dirinya sendiri, alam
semesta, masyarakat, bangsa, negara maupun kedudukannya sebagai makhluk Tuhan. Antara
hak dan kewajiban harus dipenuhi manusia secara seimbang.
Cakupan Hak Asasi Manusia
Kartasaputra
(1986: 246) memberikan gambaran cakupan hak asasi manusia dengan skema sebagai
berikut:
Hubungan Negara Dan Warga Negara Yang Digolongkan Menjadi Tiga
Para pemikir tentang hubungan negara dan
warga negara yang digolongkan menjadi tiga yaitu Pluralis, Marxis, dan Sintesis
dari keduanya. Negara dan warga negara sebenarnya merupakan satu keping mata
uang bersisi dua. Negara tidak mungkin ada tanpa warga negara, demikian pula tidak
ada warga negara tanpa negara. Namun, persoalannya tidak sekedar masalah
ontologis keberadaan keduanya, namun hubungan yang lebih relasional, misalnya
apakah negara yang melayani warga negara atau sebaliknya warga negara yang
melayani negara. Hal ini terlihat ketika pejabat akan mengunjungi suatu daerah,
maka warga sibuk menyiapkan berbagai macam untuk melayaninya. Pertanyaan lain,
apakah negara mengontrol warga negara atau warga negara mengontrol Negara.
1. Pluralis
Kaum pluralis berpandangan bahwa negara
itu bagaikan sebuah arena tempat berbagai golongan dalam masyarakat berlaga.
Masyarakat berfungsi memberi arah pada kebijakan yang diambil negara. Pandangan
pluralis persis sebagaimana dikatakan Hobbes dan John Locke bahwa masyarakat
itu mendahului negara. Mayarakat yang menciptakan Negara dan bukan sebaliknya,
sehingga secara normatif negara harus tunduk kepada masyarakat (Wibowo, 2000:
11-12).
2. Marxis
Teori Marxis berpendapat bahwa negara
adalah serangkaian institusi yang dipakai kaum borjuis untuk menjalankan
kekuasaannya. Dari pandangan ini, sangat jelas perbedaannya dengan teori
pluralis. Kalau teori pluralis melihat dominasi kekuasan pada warga negara,
sedangkan teori Marxis pada negara. Seorang tokoh Marxis dari Italia, Antonio
Gramsci, yang memperkenalkan istilah ‘hegemoni’ untuk menjelaskan bagaimana
negara menjalankan penindasan tetapi tanpa menyebabkan perasaan tertindas,
bahkan negara dapat melakukan kontrol kepada masyarakat (Wibowo, 2000: 15).
3. Sintesis
Pandangan yang menyatukan dua pandangan
tersebut adalah teori strukturasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens. Ia
melihat ada kata kunci untuk dua teori di atas yaitu struktur untuk teori
Marxis dan agensi untuk Pluralis. Giddens berhasil mempertemukan dua kata kunci
tersebut. Ia berpandangan bahwa antara struktur dan agensi harus dipandang
sebagai dualitas (duality) yang selalu berdialektik, saling mempengaruhi
dan berlangsung terus menerus. (Wibowo, 2000: 21). Untuk menyederhanakan
pandangan Giddens ini saya mencoba mengganti istilah struktur sebagai negara dan
agensi sebagai warga negara. Negara mempengaruhi warga negara dalam dua arti,
yaitu memampukan (enabling) dan menghambat (constraining).
Bahasa digunakan oleh Giddens sebagai
contoh. Bahasa harus dipelajari dengan susah payah dari aspek kosakata maupun
gramatikanya. Keduanya merupakan rules yang benar-benar menghambat.
Tetapi dengan menguasai bahasa ia dapat berkomunikasi kepada lawan bicara tanpa
batas apapun. Contoh yang lebih konkrit adalah ketika kita mengurus KTP. Harus
menyediakan waktu khusus untuk menemui negara (RT, RW, Dukuh, Lurah dan Camat)
ini sangat menghambat, namun setelah mendapatkan KTP kita dapat melamar
pekerjaan, memiliki SIM bahkan Paspor untuk pergi ke luar negeri (Wibowo, 2000,
21-22). Namun sebaliknya, agensi (warga negara) juga dapat mempengaruhi
struktur, misalnya melalui demonstrasi, boikot, atau mengabaikan aturan.
Istilah yang digunakan Giddens adalah dialectic control. Oleh karena itu
dalam teori strukturasi yang menjadi pusat perhatian bukan struktur, bukan pula
agensi, melainkan social practice (Wibowo, 2000: 22).
Tiga teori ini kalau digunakan untuk
melihat hubungan negara dan warga negara dalam konteks hak dan kewajiban
sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945, maka lebih dekat dengan teori
strukturasi. Meskipun dalam UUD 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan hak
negara, namun secara implisit terdapat dalam pasal-pasal tentang kewajiban
warga negara. Negara memiliki hak untuk ditaati peraturannya dan hal itu
terlihat dalam social practice-nya. Negara dan warga Negara masing-masing
memiliki hak dan kewajiban sesuai porsinya. Negara memiliki kewenangan untuk
mengatur warga negaranya, namun warga negara juga memiliki fungsi kontrol
terhadap negara. Contoh yang bisa menggambarkan situasi tersebut adalah
kebijakan pemerintah untuk menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM). Beberapa kali
pemerintah menaikkan BBM karena alasan pertimbangan menyelamatkan APBN, namun
pada kesempatan lain atas desakan kuat dari masyarakat akhirnya kenaikan BBM
dibatalkan.
Pelaksanaan hak dan kewajiban negara dan warga Negara di negara pancasila
Suatu hal tidak dapat dilaksanakan
sebelum mengetahui benar apa Yang hendak dilaksanakan, untuk melaksanakannya
diperlukan pedoman, dan agar pelaksanaan bisa berjalan sesuai dengan harapan
maka perlu ada institusi yang mengawal pelaksanaan tersebut. Dengan demikian
ada tiga hal penting dalam pelaksanaan hak dan kewajiban ini.
Pertama, Pancasila
perlu dimengerti secara tepat dan benar baik dari pengertian, sejarah, konsep,
prinsip dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Tanpa mengerti hal-hal
yang mendasar ini amat sulit Pancasila untuk diamalkan. Selain daripada itu,
Pancasila akan cepat memudar dan dilupakan kembali. Kekuatan akar pemahaman ini
amat penting untuk menopang batang, ranting, daun dan buah yang akan tumbuh di
atasnya. Banyak hal yang terjadi ketika semangat untuk mengamalkan Pancasila
sangat tinggi namun tidak didasari oleh pemahaman konsep dasar yang kuat, bukan
hanya mudah memudar, namun juga akan kehilangan arah, seakanakan sudah
melaksanakan Pancasila padahal yang dilaksanakan bukan Pancasila, bahkan
bertentangan dengan Pancasila. Hal ini amat mudah dilihat dalam praktek
perekonomian dan perpolitikan Indonesia saat ini yang tanpa sadar sudah
mengekor pada sistem kapitalis-neoliberalis dan perpolitikan yang bernapaskan
individualis bukan kolektifis.
Kedua, pedoman
pelaksanaan. Semestinya kita tidak perlu malu mencontoh apa yang sudah
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru yang berusaha membuat Pedoman Penghayatan
dan Pengalaman Pancasila (P4). Pedoman ini sangat diperlukan agar negara dan
warganegara mengerti apa yang musti dilakukan, apa tujuannya dan bagaimana
strategi mencapai tujuan tersebut. Manakala tidak ada pedoman pelaksanaan, maka
setiap orang berusaha membuat pedoman sendiri-sendiri sehingga terjadi absurditas
(kebingungan). Banyaknya kelemahan yang terjadi pada pelaksanaan P4 perlu
dievaluasi untuk diperbaiki. Contoh kelemahan utama dalam pelaksanaan P4 adalah
bahwa pedoman tersebut bersifat kaku, tertutup dan doktriner, hanya pemerintah
yang berhak menerjemahkan dan menafsirkan Pancasila, sehingga tidak ada ruang
yang cukup untuk diskusi dan terbukanya konsep-konsep baru. Kelemahan tersebut
harus diperbaiki tidak kemudian dibuang sama sekali.
Ketiga, perlunya
lembaga yang bertugas mengawal pelaksanaan Pancasila. Lembaga ini bertugas
antara lain memfasilitasi aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk
mensosialisasikan Pancasila. Membuka ruang-ruang dialog agar tumbuh kesadaran
ber-Pancasila baik di kalangan elit politik, pers, anggota legislatif,
eksekutif, yudikatif, dan masyarakat luas. Yang tak kalah penting adalah ikut
memberi masukan kepada lembaga-lembaga Negara dalam melaksanakan tugas dan
membuat kebijakan serta ikut mengevaluasi setiap kebijakan yang dilakukan agar
terjamin tidak bertentangan dengan Pancasila. Dalam konteks pelaksanaan hak dan
kewajiban, maka tiga hal penting sebagaimana disebut di atas juga perlu ada,
yaitu perlu mengerti prinsipprinsip dasar hak dan kewajiban negara dan warga
negara, terdapat pedoman pelaksanaannya dan ada lembaga yang mengawalnya. Tiga
hal ini tentu tidak berdiri sendiri khusus terkait dengan hak dan kewajiban
negara dan warga negara, namun merupakan kesatuan gerak besar revitalisasi
Pancasila dalam semua bidang kehidupan. Pelaksanaan hak dan kewajiban negara
dan warga negara dalam negara Pancasila adalah sebagaimana yang tercantum dalam
UUD 1945 seperti tergambar dalam klasifikasi di atas. Namun demikian, selain
melihat klasifikasi tersebut perlu juga memahami konsep, prinsip dan nilai
Pancasila dalam pelaksanaan hak asasi manusia.
Konsep, Prinsip dan Nilai Pancasila Pedoman Umum Kehidupan Bernegara
- Manusia adalah makhluk Tuhan yang Maha Esa, berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalamkeimanan dan ketakwaan. Dalam mengelola alam, manusia berkewajiban dan bertanggung jawab menjamin kelestarian eksistensi, harkat dan martabat, memuliakan serta menjaga keharmonisannya
- Pancasila memandang bahwa hak asasi dan kewajiban asasi manusia bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, nilai budaya bangsa serta pengamalan kehidupan politik nasional.
- Hak asasi manusia meliputi hak hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan yang tidak boleh dirampas atau diabaikan oleh siapapun.
- Perumusan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dilandaskan oleh pemahaman bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan lingkungannya.
- Bangsa Indonesia menyadari, mengakui, menghormati dan menjamin hak asasi orang lain sebagai suatu kewajiban. Hak dan kewajiban asasi terpadu dan melekat pada diri manusia sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, anggota suatu bangsa, dan anggota masyarakat bangsa-bangsa.
- Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai hak asasi yang harus dihormati dan ditaati oleh setiap orang/warga negara.
- Bangsa dan negara Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsabangsa mempuyai tanggung jawab dan kewajiban menghormati ketentuan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 dengan semua instrumen yang terkait, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila.