Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terkait Penipuan Jual Beli Online Shopping Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terkait Penipuan Jual Beli Online Shopping Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
B. Perjanjian Jual Beli OnlineC. Kejahatan Dunia MayaD. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku UsahaE. Hak-hak konsumen diatur dengan tegas dalam Pasal 4 UUPK F. Kewajiban Konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK, G. Hak Pelaku usaha tercantum dalam Pasal 6 UUPK, H. Kewajiban pelaku usaha diatur secara tegas dalam Pasal 7 UUPK I. Online ShoppingJ. Penyebab Penipuan Online Shopping
- Latar Belakang Masalah
Manusia pada masa sekarang ini, tidak dapat hidup tanpa teknologi
dan internet. Para pelaku bisnis, pejabat, pemerintah menggunakan internet
sebagai bagian dari bisnis nasional dan internasional, eksistensi dari beberapa
jenis bisnis justru tidak mungkin berlangsung tanpa adanya internet.[1]
Namun juga memiliki dampak negatif juga
dan merugikan anggota masyarakat, misalnya dalam kasus pemalsuan data,
pornografi, dan penipuan pada online shop.
Fokus
penulis pada karya tulis ini ialah penipuan pada jual beli online shop melalui internet. Kasus penipuan online
shopping yang sering terjadi biasanya dalam bentuk: (1). pembeli sudah
membeli barang, mentransfer uang, namun barang tidak dikirim; (2). barang yang
tidak dikirim tidak sesuai dengan yang ditampilkan.
Penulis
ambil contoh kasus penipuan online pada
tahun 2015 dan menyajikan data penipuan oleh online shop yang terjadi di Provinsi DIY, dimana terjadi penipuan online shop dari portal jual beli online www.olx.com, calon pembeli tertarik pada tawaran 1000 (seribu) unit
kartu perdana internet sebesar 3GB (gigabite) merek tertentu, dijual seharga
Rp.9.000.000.000 (sembilan juta) rupiah. Namun, barang-barang tersebut tidak
dikirim, calon pembeli melaporkannya ke Polda DIY.[2]
Di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DIY. Kasus kejahatan dunia maya
(cyber crime) melonjak drastis selama
3 tahun terakhir. Menurut Direktur Kriminal Khusus Kepolisi Daerah DIY, pada
tahun 2012 sebanyak 145 kasus, pada tahun 2013 melonjak 2 (dua) kali lipat
menjadi 308 kasus. Pada triwulan kedua tahun 2014, kasus yang terdata sudah
147.[3]
Sejak pertengahan 2014 hingga April 2015, Polda DIY menerima sekitar 130
laporan terkait penipuan online[4].
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945, Pasal 1 angka (3) menyatakan
bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dan Pasal 28D ayat (1) menyatakan
bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Atas dasar UUD
1945, Negara dalam hal ini diwakilkan oleh Pemerintah memegang peranan penting
untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya.
Kewajiban
Pemerintah memang sudah dibuktikan dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, selanjutnya disebut UU-ITE dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selanjutnya
disebut UUPK. Namun masyarakat masih belum tahu tentang hak-hak dan
perlindungan hukum jika membeli barang secara online shop, serta penanganan hukum jika menjadi korban penipuan online shop.
Baca Mini paper lainnya >>> DISINI
- Teori
Hukum
Teori hukum menurut
Sudikno Mertokusmo adalah suatu ajaran untuk melindungi kepentingan manusia,
dan menciptakan ketertiban dan keseimbangan dalam masyarakat. Kepentingan
adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan dapat dipenuhi.
Isi peraturan hukum ditunjukan kepada sikap lahir manusia, pada hakikatnya apa
yang dibatin, apa yang dipikirkan tidak menjadi permasalahan selama lahirnya
atau perbuatan dari hal yang dipikirkan tidak bertentangan dengan hukum. [6]
Norma
hukum berisi kenyataan normatif yakni apa yang seyogyanya dilakukan (das sollen) dan bukan berisikan
kenyataan alamiah peristiwa konkrit (das
sein). Hukum itu bersifat memerintah, mengharuskan. Rangsangan untuk
mengaktifkan norma hukum adalah peristiwa konkrit (das sein). Dengan terjadinya peristiwa konkrit tertentu norma hukum
baru dapat aktif. Misalnya merokok adalah das
sein, namun di SPBU ada larangan merokok (das sollen), suatu ketika ada yang merokok di SPBU, dan menyebabkan
kebakaran, maka merokok tadi menjadi perisitwa hukum, dan dapat diberikan
sanksi. Jadi saling ada keterkaitan antara das
sein dan das sollen.
Suatu hukum
dapat bekerja dengan baik dan tujuannya tercapai, jika substansi hukum,
struktur hukum, dan budaya hukumnya terintegrasi satu sama lain. Menurut
Lawrence M. Friedman[7], bekerjanya suatu
sistem hukum sangat dipengaruhi 3 (tiga) hal, yakni: (1). Legal substance atau substansi hukum. Substansi hukum yang dimaksud
adalah isi dari suatu aturan hukum, baik hukum materiil ataupun hukum formil
harus bersifat responsif terhadap masyarakat, artinya isi hukum tersebut harus
mengikuti perkembangan zaman; (2). Legal
Structure, atau struktur hukum yang meliputi kelembagaan termasuk di
dalamnya adalah profesionalisme dan integritas aparat penegak hukum itu
sendiri; (3). Legal Structure atau
budaya hukum yakni nilai-nilai atau pandangan masyarakat termasuk perilaku
aparat dalam sistem hukum itu sendiri.
- Teori
Keadilan
Tujuan hukum ialah
menciptakan keadilan. Menurut teori, terdapat 3 (tiga) teori tujuan hukum,
yakni teori etis, teori utilistis, dan teori campuran.
Berdasarkan
teori etis, hakikat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau
tindakan dengan suatu norma yang menurut pandangan subyektif (subyektif untuk
kepentingan kelompoknya, golongannya, atau sebagiannya) melebih norma-norma
lain. Tentang isi keadilan, menurut Aristoteles terdapat 2 (dua) macam
keadilan, yakni justisia distributif (distributive
justice) dan justisia komutatif (remedial
justice). Justisia distributif berarti setiap orang mendapat apa yang
menjadi hak dan bersifat proporsional, sedangkan justisia komutatif berarti
memberi kepada setiap orang sama banyaknya[8].
Sedangkan
menurut teori utilistis, hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi
manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number). Sedangkan, menurut teori
campuran, tujuan pokok hukum adalah ketertiban agar terciptanya masyarakat yang
teratur[9].
- ANALISIS
- Perjanjian Jual
Beli Online
Berdasarkan
Pasal 1457 pengertian jual beli adalah “suatu persetujuan, dengan mana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang
lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”
Berdasarkan Pasal 1458
Kuh.Perdata dikatakan bahwa perjanjian jual beli sudah lahir jika “jual beli
sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata
sepakat tentang barang dan harga meskipun barang belum diserahkan dan harga
belum dibayar”.
Menurut analisis penulis bahwa Perjanjian jual beli yang dipakai
dalam aktivitas e-commerce pada dasarnya sama dengan perjanjian yang dilakukan dalam transaksi
konvensional, akan tetapi perjanjian yang dipakai dalam e-commerce merupakan perjanjian yang
dibuat secara elektronik atau kontrak elektronik. Syarat perjanjian yang sah
diatur dalam Pasal 1320 Kuh.Perdata, yakni adanya kesepakatan, adanya
kecakapan, adanya suatu obyek tertentu, adanya kausa halal.
- Kejahatan Dunia
Maya
Kejahatan
yang terjadi melalui atau terhadap jaringan komputer dalam dunia maya, di dalam
jaringan internet atau di luar jaringan namun menggunakan komputer. Kejahatan
tersebut lazim disebut cybercrime.
Istilah cybercrime dapat juga disebut
computer-related crime, yang mencakup
2 (dua) kategori kejahatan, yakni kejahatan yang menggunakan komputer sebagai
sarana atau alat, dan kejahatan yang menjadikan komputer sebagai sasaran atau
obyek kejahatan.[10]
Menurut analisis penulis kejahatan dunia maya khususnya penipuan computer related fraud & forgery dapat
dikenakan Pasal 35 UU-ITE yang berbunyi “setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan,
penghilangan, pengrusakan infromasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut
dianggap seolah-olah data yang otentik.” Hukuman yang diberikan jika terbukti
melanggar Pasal 35 adalah diatur pada Pasal 51 yakni: (1). pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Setelah
diundangkannya UU-ITE, maka berlaku lex
specialis dimana peraturan hukum yang dipakai jika terjadi tindak pidana
dalam bidang transaksi elektronik ialah UU-ITE, dan bukan menggunakan Kitab Undang
Hukum Pidana (KUHP)[11]. Pembuatan UU-ITE adalah sebagai instrumen hukum dan pembarahuan
hukum pidana nasional.
Pelaksanaan
UU-ITE berasaskan kepastian hukum, kemanfaatan, kehati-hatian, itikad baik,
kebebasan memilih teknologi. Asas ini digunakan untuk mendukung dan mencapai
tujuan dibentuknya UU-ITE, salah satunya adalah untuk memberikan rasa aman,
keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi
informasi.
- Hak dan Kewajiban
Konsumen serta Pelaku Usaha
Pembeli dan penjual pada online shop tunduk pada UUPK karena
pembeli merupakan konsumen, sedangkan penjual atau penyelenggara online shop adalah pelaku usaha. Pada
UUPK diatur secara tegas dan rinci tentang hak dan kewajiban konsumen, serta
pelaku usaha yang harus dilaksanakan agar sama-sama untung. Berikut penulis
paparkan beberapa hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha.
Hak-hak konsumen diatur dengan tegas dalam Pasal 4 UUPK ialah:
- Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselematan dalam menkonsumsi barang;
- Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
- Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
Kewajiban Konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK, yakni:
- Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
- Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
Para pelaku usaha juga mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana
halnya konsumen. Adapun hak dan kewajiban pelaku usaha seperti disebutkan
dibawah ini:
Hak Pelaku usaha tercantum dalam Pasal 6 UUPK, yakni:
- Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen beritikad tidak baik;
- Hak untuk mendapatkan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
Kewajiban pelaku usaha diatur secara tegas dalam Pasal 7 UUPK yakni:
- Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
- Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
- Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- Online
Shopping
Menurut
Onno w.Purbo, e-commerce adalah suatu
cakupan yang luas mengenai teknologi, proses, dan praktik yang dapat melakukan
transaksi bisnis tanpa menggunakan kertas sebagai sarana mekanisme transaksi.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan e-mail,
atau bisa melaui porta penyedia toko online.[12]
Jadi online shop termasuk kategori e-commerce.
Menurut Onno W.Purbo dan Aang Arif Wahyudi ada 5 (lima)
tahapan dalam melakukan transaksi e-commerce,
yakni[13]:
- Find it
Pada tahap ini, pembeli dapat mengetahui dengan pasti dan mudah
jenis barang apa yang diinginkan;
- Explore it
Setelah memilih jenis barang tertentu yang diinginkan, maka akan
dijumpai keterangan lebih jelas mengenai informasi barang yang dipilih;
- Select it
Seperti hal toko di dunia nyata, shopping chart akan menyimpan terlebih dahulu barang yang diinginkan
sampai pada check out. Dalam shopping chart dapat melakukan antara
lain memproses untuk check out dan
menghapus atau menyimpan daftar belanja untuk keperluan nanti;
- Buy it
Setelah semua yang diatas dilakukan, selanjutnya dilakukan proses check out. Pada tahap ini, dilakukan
proses transaksi pembayaran setelah terlebih dahulu mengisi formulir yang telah
disediakan oleh merchant. Pihak merchant tidak akan menarik pembayaran
pada credit card sampai kita sudah
menyelesaikan proses perintah untuk pengiriman;
- Ship it
Setelah proses transaksi selesai, pihak merchant (penjual) akan
mengirimkan e-mail konfirmasi
pembelian dan e-mail lain yang akan
memberitahukan pengiriman barang telah dilakukan. Toko online juga menyediakan account
untuk para pelanggan mereka seperti halnya ketika akan memasuki mailbox pada layanan fasilitas e-mail gratis. Sehingga pembeli dapat
mengetahui status order pada account yang telah tersedia di situs
tersebut.
- Penyebab Penipuan Online Shopping
- Kesadaraan masyarakat terhadap
keamanan penggunaan internet masih rendah.
Mental masyarakat untuk menuju era digital, penggunaan alat
telekomunikasi, komputer belum bijak,
masyarakat masih belum dapat berhati-hati.
- Pola konsumtif masyarakat[14]
Pola konsumtif masyarakat yang tergiur dengan barang-barang diskon
seperti halnya di dunia fisik. Hal tersebut juga diterapkan di online shopping, penjual di online shopping memberikan diskon ataupun potongan harga yang besar untuk
barang-barang tertentu.
- Bujuk rayu pelaku[15]
Pelaku membujuk, mengarahkan calon pembeli untuk melakukan
pengecekan barang dengan memperlihatkan testimoni yang ada di thread, kolom komentar yang baik dan
memuaskan, padahal testimoni tersebut dibuat oleh penipu sendiri.
- Upaya Preventif
Terhindar dari Penipuan Online Shop
Menurut hemat penulis, banyak sekali upaya preventif agar
terhindar dari penipuan online shop,
namun menurut pengamatan dan pengalaman penulis berbelanja online shop, penulis akan memperhatikan 3 (tiga) hal berikut:
- Tidak terburu-buru mentransfer
uang.
Calon pembeli jangan lansung mentransfer uang, namun memperhatikan
dan mengamati dengan sakasama, layanan website
penyedia;
- Calon penjual harus mau melakukan
COD (Cash on Delivery)
Jika penjual tidak mau melakukan COD padahal masih dapat bertatap muka langsung, maka calon pembeli
harus mencurigai bahwa hal tersebut adalah modus penipuan;
- Cermat terhadap website dan harga
Calon pembeli harus cermat dalam melihat harga, harga yang sangat
murah dibawah pasaran juga adalah salah satu modus penipuan. Jika website tidak ada nomor telepon lokal,
patutlah dicurigai bahwa itu adalah online
shop palsu.
Sudah sepantasnya calon pembeli produk pada online shop mendapatkan informasi yang benar terkait produk yang
ditawarkan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 9 UU-ITE yang berbunyi bahwa pelaku
usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan
informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan
produk yang ditawarkan.
- Upaya Represif dan
Perlindungan Hukum Terkait Penipuan Online
Shop
Upaya represif yang dapat
dilakukan oleh korban penipuan online
shop adalah dengan cara:
- Menurut analisis penulis, korban penipuan dapat melaporkan kepada polisi yakni ke bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) dengan cara melampirkan infromasi dan/atau hasil cetakan dari transaksi elektronik tersebut karena berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU-ITE menyatakan bahwa “informasi elektronik dan/atau hasil cetakannya adalah alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.” Polisi akan memproses hingga akhirnya hakim pengadilan yang akan memberikan sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana. Sanksi tersebut diberikan bukan untuk balas dendam melainkan untuk membuat efek jera, mengembalikan ketertiban masyarakat, serta memenuhi hak korban.
Penulis
ambil contoh misalnya menurut Pasal 62 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa pelaku
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf e, Pasal 17 ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Penulis
akan memparkan sebagaian isi daripada Pasal 9 ayat (1) UUPK yakni:
Pelaku
usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau
jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a.
barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah
atau guna tertentu;
b. barang dan/atau jasa tersebut
tersedia;
c. menawarkan sesuatu yang
mengandung janji yang belum pasti.
Selain
ganti rugi dan pidana penjara yang akan diputuskan oleh hakim Pengadilan
Negeri. Menurut Pasal 63 UUPK, hakim dapat dijatuhkan hukuman
tambahan, salah 2 (dua)-nya berupa: (1). Pembayaran ganti rugi; (2).
Pencabutan izin usaha.
- Mengajukan
gugatan secara keperdataan ke Pengadilan Negeri;
Konsumen dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan wanprestasi ataupun
berdasarkan perbuatan melanggar hukum[16]
(1) Tuntutan berdasarkan wanprestasi
Tuntutan untuk membayar ganti kerugian karena akibat penerapan
klausula dalam perjanjian yang tidak terpenuhi sesuai yang diperjanjikan;
Wanprestasi dalam suatu perjanjian wujudnya dapat berupa[17]:
(i). Debitur sama sekali tidak memenuhi perjanjian; (ii). Debitur terlambat
memenuhi perjanjian; (iii). Debitur keliru memenuhi prestasi/kewajibannya; (iv).
Debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian atau tidak boleh dilakukan.
(2) Tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum
Tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melawan
hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara pelaku usaha dengan
konsumen,
- Jika
korban penipuan tidak ingin menyelesaikan secara gugatan perdata atau
proses pidana, korban penipuan dapat menyelesaikan sengketa diluar
pengadilan dengan cara arbitrase, mediasi atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya (konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa)
Baca Mini paper lainnya >>> DISINI
- KESIMPULAN
- Perlindungan hukum dilakukan dengan cara menjatuhkan sanksi bagi pelaku penipuan berdasarkan UU-ITE, ataupun UUPK. Dalam pengenaan sanksi, hakim-lah yang memutus berdasarkan bukti-bukti di persidangan. Perlindungan hukum terhadap konsumen pada saat setelah terjadinya transaksi dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN) atau diluar PN dengan cara alternatif penyelesaian sengketa, melaporkannya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk menyelesaian sengketa tersebut.
- Apakah
konsumen yang menjadi korban penipuan dapat meminta ganti rugi?
Iya, konsumen berhak meminta ganti kerugian berdasarkan hukum,
yakni UU Perlindungan Konsumen, karena hal tersebut adalah tujuan hukum, yakni
keadilan.
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Call For Paper dengan tema:
“Seeking the Peace and Prosperity of Our Nation” Yang dilakukan oleh
Keluarga Mahasiswa Kristiani Pascasarjana (KMK PS) UGM
Daftar Pustaka
Buku
Ahmad
Miru, Ahmad dan Yodo, Sutarman 2011, Hukum
Perlindungan Konsumen, Raja
Grafindo
Persada, Jakarta
Halim,
H.S., 2006, Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika,
Jakarta
M.
Friedman, Lawrence, 2001, American Law An Introduction, Rusell
Sage Foundation,
New
York
Mertokusumo,
Sudikno cetakan kedua, 2005, Mengenal
Hukum (Suatu Pengantar),
Liberty
Yogyakarta, Yogyakarta
2011, Teori Hukum, Penerbit Universitas Atmajaya Jogjakarta
Onno
w. Purbo dan Aang Arif Wahyudi, 2001, Mengenal
E-Commerce, Elex Media
Komputindo,
Jakarta
Reksodiputro,
Mardjono 1997, Kejahatan Komputer (Suatu
Catatan Sementara Dalam
Rangka KUHP Nasional
yang Akan Datang), Dalam Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan,
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
SW.
Sumardjono, Maria, 2014, Metodologi Penelitian Ilmu Hukum,
Universitas Gadjah
Mada,
Yogyakarta,
Remy
Syahdeini, Sutan 2009, Kejahatan &
Tindak Pidana Komputer, Pustaka
Utama
Grafiti, Jakarta
Widodo,
2013, Hukum Pidana di Bidang Teknologi
Informasi Cybercrime Law: Telaah
Teoritik dan Bedah
Kasus, Aswaja, Yogyakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa;
Kitab Undang Hukum
Perdata (Kuh.Perdata);
Internet
Ari, Santo, 2015, dalam
artikel berjudul “Kasus Penipuan online masih
marak di
kalangan
masyarakat, http://jogja.tribunnews.com/2015/05/05/polda-diy-ringkus-pelaku-penipuan-online
diakses tanggal 10 FEbruari 2016.
Anugraheni, Ekasanti
2014, dalam artikel dengan judul “Waspada, Penipuan Online di
DIY
Marak” http://jogja.tribunnews.com/2014/06/26/waspada-penipuan-online-di-diy-marak
diakses tanggal 10 Februari 2016
Ari, Santo 2015, dalam
artikel berjudul “Belum Semua Sadar Laporkan Penipuan
Online,
http://jogja.tribunnews.com/2015/06/22/belum-semua-sadar-laporkan-penipuan-online
diakses tanggal 14 Februari 2016.
Santo Ari, Santo, 2015,
dalam artikel berjudul “Penipu Online Manfaatkan
Psikologi
Korban”
http://jogja.tribunnews.com/2015/06/22/penipu-online-manfaatkan-psikologis-korban
diakses tanggal 11 Februari 2016.
[1] Sutan
Remy Syahdeini, 2009, Kejahatan &
Tindak Pidana Komputer, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm.2.
[2] Santo
Ari, 2015, dalam artikel berjudul “Kasus Penipuan online masih marak di kalangan masyarakat, http://jogja.tribunnews.com/2015/05/05/polda-diy-ringkus-pelaku-penipuan-online
diakses tanggal 10 FEbruari 2016.
[3]
Ekasanti Anugraheni, 2014, dalam artikel dengan judul “Waspada, Penipuan Online
di DIY Marak” http://jogja.tribunnews.com/2014/06/26/waspada-penipuan-online-di-diy-marak
diakses tanggal 10 Februari 2016
[4] Santo
Ari, 2015, dalam artikel berjudul “Belum Semua Sadar Laporkan Penipuan Online, http://jogja.tribunnews.com/2015/06/22/belum-semua-sadar-laporkan-penipuan-online diakses
tanggal 14 Februari 2016.
[5] Maria
SW. Sumardjono, 2014, Metodologi
Penelitian Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.16-17
[6]
Sudikno, Mertokusumo 2011, Teori Hukum,
Penerbit Universitas Atmajaya Jogjakarta,hlm. 1-6.
[7]
Lawrence M. Friedman, 2001, American Law
An Introduction, Rusell Sage Foundation, New York, hlm.15.
[8] Ibid, hlm.78-79.
[9] Ibid, hlm.80
[10]
Widodo, 2013, Hukum Pidana di Bidang
Teknologi Informasi Cybercrime Law: Telaah Teoritik dan Bedah Kasus,
Aswaja, Yogyakarta, hlm.9-10.
[11] Mardjono
Reksodiputro, 1997, Kejahatan Komputer
(Suatu Catatan Sementara Dalam Rangka KUHP Nasional yang Akan Datang), Dalam
Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.10.
[12] Onno
w. Purbo dan Aang Arif Wahyudi, 2001, Mengenal
E-Commerce, Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm.1-2.
[13] Ibid. hlm.143.
[14] Santo
Ari, 2015, dalam artikel berjudul “Penipu Online
Manfaatkan Psikologi Korban”, http://jogja.tribunnews.com/2015/06/22/penipu-online-manfaatkan-psikologis-korban
diakses tanggal 11 Februari 2016.
[15] Ibid.
[16] Ahmad
Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum
Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.37.
[17] Halim,
H.S., 2006, Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm.65