Istilah Pelakor, Menyudutkan Perempuan
Kita sering merayakan Hari Perempuan (Woman’s Day). Beberapa literatur mencatat, woman’s day dirayakan pertama
kali tanggal 28 Februari tahun 1909 di New York City Amerika Serikat. Meskipun jauh
sebelum itu sudah ada gerakkan-gerakkan yang dilakukan oleh kaum perempuan di
Asia, Australia, Amerika dan benua Eropa. Pada tahun 1977, Hari Perempuan
sedunia diresmikan oleh PPB agar menjadi agenda tahunan semua negara sekaligus memperjuangkan
hak-hak perempuan sedunia.
Perusahaan raksasa dunia, seperti McDonalds di Amerika Serikat, biasanya merayakan
hari perempuan Internasional dengan cara unik, yaitu dengan membalikkan logo perusahaan
mereka yang berbentuk huruf “M” dibalik ke atas sehingga membentuk huruf “W”,
yang artinya “Woman”. Selain itu, di
Amerika juga menggaungkan protes atas berbagai kasus pelecehan seksual yang
dialami perempuan di tempat kerja. Di beberapa tempat di Indonesia, para pegiat
gender merayakan hari perempuan sedunia dengan melakukan refleksi terhadap karya-karya
besar perempuan untuk negeri ini, bahkan memperingati kamtian mereka yang meninggal
akibat ketidakadilan.
Namun, apapun cara kita dalam merayakan hari
perempuan, pada hakekatnya Hari Perempuan diagendakan untuk memperingati,
menghargai, mengapresiasi karya-karya perempuan, terutama para ibu yang
melahirkan generasi-generasi penerus kehidupan di muka bumi ini. Di samping
itu, hari perempuan juga merupakan momen untuk memperjuangkan hak-hak perempuan
di belahan dunia, khususnya mereka yang masih tertindas oleh berbagai
ketidakadilan akibat ketimpangan gender dalam hal perbedaan peran antara
perempuan dan laki-laki.
Istilah Pelakor yang Menyudutkan
Perempuan
Namun sayangnya, kita sedang diperhadapkan dengan kenyataan pahit, yang bagi saya, ini adalah realita yang sungguh
amat sangat miris. Kenyataan ini sedang “membunuh” perempuan secara perlahan.
Kenyataan yang saya maksudkan adalah maraknya istilah “PELAKOR” dalam masyarakat
kita akhir-akhir ini. Pelakor merupakan akronim dari suku kata, “Perebut Laki Orang” yang kemudian
mendapat keceman dari para pegiat Hak perempuan. Sebutan Pelakor
ini disematkan kepada perempuan yang kedapatan selingkuh dengan suami/laki
orang. Istilah ini menjadi viral di media social karena banyak video kasus-kasus
perselingkuhan yang diunggah ke Youtube, Facebook, Twitter, Instagram dan
lain-lain.
Baca Juga:
- Santai saja: Hidup mu bukan hidup mereka
- GADIS TANPA LENGAN ITU DINIKAHI PUTRA ORANG KAYA
- Kata-kata terakhir Steve Jobs sebelum meninggal
Tentu ini tidak adil dan terkesan Istilah Pelakor mengandung
ketimpangan Gender. Menempatkan
perempuan sebagai “perebut” laki
orang dalam hal perselingkuhan, bermakna bahwa hanya perempuan saja pelaku yang
menyebabkan terjadinya perselingkuhan. Sebab, kata “perebut” memiliki arti “mengambil dengan paksa atau merampas”. Dengan demikian, kalau
istilah Pelakor disematkan kepada perempuan dalam kasus-kasus perselingkuhan,
berarti perempuan telah mengambil dengan paksa atau merampas suami orang. Atau
dengan kata lain, perempuan adalah “pelaku”
yang menyebabkan perselingkuhan, sementara laki-laki adalah “korban”. Perempuan dianggap sebagai
pihak yang paling aktif, sedangkan laki-laki adalah pihak yang pasif dan tidak
tahu apa-apa. Padahal, dalam hal perselingkuhan, bukan hanya perempuan yang
salah, tetapi laki-laki juga salah. sebab
tidak mungkin terjadi perselingkuhan jika tidak ada kesepakatan (suka sama
suka) diantara laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang mengakibatkan aktivis
perempuan geram, karena istilah Pelakor sedang menyudutkan perempuan sebagai
orang yang sangat jahat.
Jadi, saat ini kita sedang menghadapi dua kondisi
yang sangat kontras, di satu sisi woman’s day sedang mengapresiasi dan
menghormati perempuan, namun di sisi yang lain, istilah “pelakor” sedang menyudutkan perempuan.
Woman’s Day dan Perempuan di NTT Yang “Dijual”
Woman’s Day seharusnya
menjadi refleksi mendalam dibarengi dengan aksi nyata bagi kita di NTT, karena selama
ini di daerah ini, kasus-kasus penjualan perempuan tengah menimpa saudari-saudari
kita. Maraknya penjualan perempuan di NTT dapat dimaknai sebagai kegagalan kita
sebagai masyarakat NTT (terutama pemerintah yang telah mendapat mandat secara
konstitusional) guna melindungi perempuan di daerah ini dari “pemangsa-pemangsa TKW” yang berkaliaran
di daratan Flores, Sumba, Timor, Alor, Sabu dan daerah lainnya. Kasus yang
paling segar diingatan kita adalah Adelina yang meninggal akibat disiksa
majikannya di Malaysia. Entah mengapa penyiksaan itu terjadi, namun satu hal
yang pasti, mereka adalah orang-orang yang sedang berjuang untuk memperbaiki
nasib karena di negeri sendiri, tidak mendapatkan kesejahteraan. Artinya,
adalah kesalahan kita semua mengapa mereka harus bekerja di negeri orang untuk memperbaiki
nasib. Dengan demikian, kita layak disebut orang-orang yang gagal melindungi
kaum perempaun yang telah menjadi korban Human
Trafficking di negeri yang katanya surga wisatawan ini (namun juga surganya
para koruptor dan “pejual TKW”).
Oleh sebab itu, pemerintah, baik eksekutif, yudikatif
atau legislative yang telah mendapat mandat khusus untuk mengurusi negeri ini berikut
rakyat yang mendiaminya, harus merasa bertanggungjawab atas apa yang menimpa perempuan di NTT. Kita bukan saja bicara soal,
menangkap para pejual manusia di daerah ini, tetapi lebih penting dari itu, bagaimana
melindungi mereka yang sering menjadi sasaran dari penjahat kemanusiaan itu.
Baca Juga:
- Stop Buang Sampah Lewat Jendela Mobil
- Jangan Rendahkan Profesi Sopir, Dia yang angkut beras yang kamu makan
- Inspirasi dari Tijn Kolsteren, Bocah 5 tahun yang mengidap cancer Otak
Melindungi mereka dengan cara menyejahterakan keluarga
agar mereka tidak harus berangkat ke tanah orang untuk mengais rejeki. Karena sesungguhnya
akar dari human trafficking ini adalah ketidaksejahteraan rakyat, akibat dari kurangnya
akses terhadap pendidikan, kesehatan yang layak, dan tidak tersedianya kesempatan
kerja dengan upah yang manusiawi. Bagaimana dibilang manusiawi kalau guru honorer
kita saja diupah dengan 200 ribu per bulan? Sementara pemerintah menekan
pengusaha agar gaji karyawan sesuai UMR/UMK. Namun di sisi lain, pemerintah sendiri
melanggarnya. Karenanya, woman’s day ini
tidak hanya kata-kata untuk memperenak mulut, tetapi aksi kita yang paling
penting, yaitu berkomitmen untuk membuka akses informasi, pendidikan dan
kesehatan serta kesempatan kerja sampai ke pelosok-pelosok dengan upah yang layak.
Selama ini, isu perlindungan perempuan terkesan hanya jualan kata-kata dalam
kampanye untuk mendulang suara. Selamat hari Perempuan, semoga perempuan
semakin berani tampil untuk bersanding dengan laki-laki di ruang public, tetapi
bukan untuk menyaingi laki-laki. Salam!
Artikel Terkait: