Manajemen Konflik: Pendekatan Struktural Fungsional (General Agreements)
Pendekatan Struktural Fungsional
Pendekatan Struktural Fungsional dalam penyelesaian konflik. Pendekatan ini
memandamng masyarakat sebagai komunitas yang terintegrasikan secara teratur
atas dasar nilai kesepakatan dari setiap anggojta masyarakat. Dalam pendekatan
ini juga mengenalkan salah satu statement yaitu “General Agreements” yang memiliki daya mengatasi
perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat.
Beberapa sudut
pandang dari pendekatan structural fungsional :
a)
Masyarakat sebagai suatu sistem
b)
Oleh karena itu maka saling mempengaruhi satu sama
lain.
c)
Kendati integrasi sosial tidak mungkin terwujud dengan
sempurna, tetapi secara fundamental sistem sosial cenderung bergerak kearah
equilibrium yang bersifat dinamis.
d)
Disfungsi, berbagai ketegangan dan
penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi akan tetapi dalam jangka panjang
keadaan tersebut akan teratasi sendirinya melalui cara adaptasi dan proses
institusioanalisasi.
e)
Kompleksitas dalam sistem sosial pada umumnya terjadi
secara gradual, melalui adaptasi dan tidak secara cepat.
f)
Factor paling penting yang memiliki daya
mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus antara anggota masyarakat
berupa norma-norma sosial yang sesungguhnya membentuk struktur sosial.
g)
Belum terciptanya hurting stalemate menyebabkan pihak
ketiga sulit untuk menemukan titik atau entry point untuk mengajak seluruh
pihak bertikai duduk di meja perundingan.
h)
Persamaan identitas dan solidaritas cenderung
tergantung pada konflik. Konfliklah yang akan melindungi identitas dan
solidaritas tersebut sehingga tanpa konflik, dua hal tersebut akan lenyap.
i)
Penyelesaian politik dalam perang sipil membutuhkan
setiap kelompok untuk melakukan disarmament dan membentuk pemerintahan yang
single atau negara yang tunggal. Padahal logikanya, tentu saja tidak ada orang
yang mau “hidup satu atap” dengan musuhnya. Bagi TNI, GAM adalah musuh yang
harus dimusnahkan! Sebaliknya, bagi GAM, TNI adalah kaum penjajah yang harus
diusir dari Aceh! Susah untuk dibayangkan jika
mereka yang selama ini saling membunuh mau hidup berdampingan dengan damai.
j)
Adanya Kegagalan
implementasi biasanya terjadi karena salah satu pihak merasa dirugikan oleh
pihak lain. Kegagalan implementasi berkaitan erat dengan karakteristik perang.
Ketika perasaan takut lebih besar daripada kepercayaan terhadap musuh, perang
dapat berlanjut kembali. upaya dialog untuk menyelesaikan konflik Aceh secara
damai praktis berhenti pada tanggal 18 Mei 2003 saat GAM menolak menerima draft
pernyataan pemerintah Indonesia
dan tidak bersedia mengajukan counter draft nya. Respon Pemerintah Indonesia
terhadap penolakan GAM sangat cepat dan tegas. Dalam hitungan jam, Presiden
Megawati Sukarnoputri menandatangani Darurat Militer di Aceh yang berarti
dilegalkannya tindakan kekerasan untuk mengahadapi GAM dan kekuasaan berada di
bawah kendali militer seluruhnya. dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut Corpus
of Historical American English (COHA)
menjadi diabaikan dan peran HDC terhenti. Pada tahap inilah kemudian HDC
telah gagal menjalankan perannya sebagai fasilitator perdamaian di Aceh.
k)
Situasi yang ada belum memungkinkan untuk dilakukannya
mediasi atau belum terciptanya kondisi hurting stalemate. Keadaan ini dapat
terlihat dalam Proses terjadinya negosiasi sangat sulit karena juru bicara GAM berulang kali menyatakan bahwa tidak akan pernah terjadi penyelesaian kecuali
kemerdekaan, sedangkan Pemerintah Indonesia
juga berkali-kali mengultimatum bahwa negosiasi hendaknya dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dari fakta diatas dapat kita analisis bahwa penyelsaian konflik tidak akan
berjalan jika tidak adanya general agreement atau kesepakatan umum ( pendekatan
structural fungsional) antara dua belah pihak yang berkonflik
l)
Isu-isu HAM dan ketimpangan sosial yang menjadi ciri
khas alasan pemberontakan GAM. Misalnya ketertinggalan pembangunan Aceh dengan
Sumatra Utara, serta rencana pengambungan Provinsi Aceh dengan provinsi Sumatra
Utara yang mana tidak dapat diterima oleh rakyat Aceh sehingga merasa bahwa
Indonesia sebagai bangsa yang tidak tahu berbalas budi atas kebaikan Aceh
dimasa lalu.
m)
Terdapatnya maksud-maksud politik berupa upaya mencari
keuntungan dari konflik antara Gam dan RI, sehingga menyulitkan proses
perundingan yang ada, misalnya berlarutnya konflik di Aceh membawa
keuntungan-keuntungan bagi TNI, seperti ekonomi dan politik. Kepentingan
politik di TNI berkaitan dengan perannya yang terus menurun di pentas
perpolitikan nasional sejak 1998. Kekacauan di Aceh akan memberikan justifikasi
bagi TNI untuk tetap bertahan memainkan perannya dalam konsep pertahanan
negara, minimal melegalkan kehadiran mereka untuk menduduki kursi kekuasaan
sipil di Aceh. Dari segi ekonomi, TNI memperoleh keuntungan dengan
mempekerjakan mantan perwira militer untuk mengawasi kegiatan perusahaan dan
usaha yang didukung militer memperoleh kemudahan kontrak karena kehadiran
angkatan darat tersebut serta kebiasaannya untuk melindungi kegiatan usaha itu
dan kekuatan pengincar lainnya. Kekayaan yang dimiliki Aceh mampu memenuhi
kebutuhan TNI baik secara individu maupun organisasi. Secara organisasi,
anggaran pemerintah mengenai pertahanan hanya menyediakan 30% dari total
anggaran yang dibutuhkan TNI. Sisanya, sebanyak 70%, harus dicari sendiri oleh
TNI. Berbagai industri gas alam dan minyak di Aceh mampu menopang kekurangan
anggaran militer tersebut. Apabila proses damai terjadi, maka praktis TNI tidak
dibutuhkan lagi di Aceh. Itu berarti mereka akan kehilangan sumber ekonomi
penting
n)
Tidak adanya keinginan untuk melakukan kompromi dari
setiap pihak yang terlibat konflik. Hal ini tercermin dalam berbagai
perundingan yang tidak memnemukan solusi antara kedua belah pihak.
o)
Tidak ada pihak yang mampu menjembatani antar pihak yang
terlibat konflik. Misalnya semula, pihak RI menginginkan pihak ketiga yang
menjadi mediator dalam memfasilitasi berbagai perundingan dengan GAM adalah
organisasi regional di tingkat Asia Tenggara, yaitu ASEAN. Permintaan ini
ditolak oleh GAM karena dicurigai terhadap Malaysia
dan Singapura yang kemungkinannya akan lebih cenderung memihak pemerintah Indonesia
dan memojokkan GAM. Sebaliknya, GAM menginginkan pihak ketiga yang menjadi
mediator dalam perundingan untuk menyelesaikan konflik di Aceh adalah PBB.
Permintaan ini juga ditolak oleh Pemerintah Indonesia karena trauma dengan apa
yang telah terjadi di Timor Timur. Indonesia, dalam kasus ini hanya
menginginkan keberadaan pihak ketiga sebagai peran fasilitator saja, dimana
pihak ketiga tersebut tidak memiliki power kuat an formal serta tidak memiliki
kekuatan force. Pada intinya, kedua belah pihak menginginkan pihak ketiga yang
akan menjadi penengah tidak memiliki power kuat yang memiliki kewenangan
menekan dan mengurangi kewenangan Pemerintah
RI atau GAM. Dari fakta diatas
dapat kita analisis bahwa penyebab utamanya adalah lembaga-lembaga mediator
belum memenuhi beberapa 4 syarat sebagai lembaga mediator konflik.
p)
Masalah dalam perang sipil adalah bukannya kompromi
yang mustahil, tetapi kesulitan dalam menemukan cara memaksakan sebuah
kompromi. Dan meskipun pihak-pihak yang ada mau melakukan kompromi atas
tujuan-tujuan politiknya, ketakutan mereka mungkin akan mencegahnya untuk
melakukan membuat sebuah keputusan dalam kompromi tersebut. Misalnya banyak
yang percaya bahwa konsesi apapun kepada pemberontak, termasuk otonomi yang
substantif, dapat menjadi langkah pertama ke arah kemerdekaan. Oleh karenanya,
TNI lebih suka melanjutkan peperangan saat ini daripada menyepakati konsesi
yang pada akhirnya menghasilkan apa yang dipandangnya sebagai kekalahan.[31]
Menurut TNI, damai di Aceh hanya dapat tercapai apabila kekuatan GAM telah
dimusnahkan.
Factor-faktor penyebab keberhasilan
dalam mewujudkan perdamaian di Aceh:
a) Adanya agen yang mampu menjembatani antara pihak yang terlibat konflik. Misalnya NGO yaitu Dunant Center (HDC) dan Crisis Management Initiative (CMI).
b) Adanya general agreements atau nilai-nilai yang disepakati bersama antara kedua belah pihak.misalnya berupa penandatangan MOUdan nota kesepahaman perdamaian antara RI dan GAM di Helsinki.
c) Terciptanya kondisi hurting stalemate atau situasi/ konteks yang ada memungkinkan untuk dilakukannya mediasi “dilahirkan” bukan karena factor
Baca Artikel Lainnya:
- PENDEKATANKEPERILAKUAN DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
-
EFEKTIFITASORGANISASI DAN MANAJEMEN MENURUT PENDEKATAN PENCAPAIAN TUJUAN DAN PENDEKATANSISTEM
________________________________________
KONTRIBUTOR/PENULIS: Sdr. Elkana Goro Leba, MPA. Artikel ini disesuaikan dari berbagai sumber, Mohon maaf bila ada kesalahan pengutipan atau informasi yang kurang tepat karena "TIADA GADING YANG TIDAK RETAK". Terima kasih, karena sudah mampir. Salam!
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DI BAWAH.
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DI BAWAH.
Daftar Pustaka:
1.
http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/opini/index.php
2.
http://www.indonesia-ottawa.org/page.php?s=1100disclaimer
3.
20070813_Sinar_Harapan_014763.html
4.
http://www.kontras.org/index.php
5.
http://www.okezone.com/
6.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0508/11/x_nas.html
7.
http://www.acehinstitute.org/front_index.htm
8.
http://roeangkelas.blogspot.com/2009/06/wawancara-gam-bilang-mereka-bukan-goda.html
9.
Kompas, 4 Desember 2002, hal.8
10. Kompas,
24 Nopember 2002, hal.30
11. Kompas,
16 Desember 2002
12. Kompas,
10 Desember 2002, hal.1
13. Iskandar
Zulkarnaen. Ketua Pusat Studi Sosial Politik, dan Dosen FISIP Universitas
Malikussaleh. Peneliti pada The Aceh Institute. Email : [email protected]
14. Hugh
Miall et.al., Resolusi Damai Konflik Kontemporer, terjemahan Tri Budhi Satrio,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 48.
15. Dean
G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, Jakarta: Pestaka Pelajar, 2004, hlm.374.
16. Kompas,
24 Nopember 2002, hal.30
17. ICG
Asia Report, No. 17, 12 Juni 2001, Aceh: Kenapa Kekuatan Militer Tidak akan
Membawa pada Perdamaian Kekal, hlm.10
18. ibid
hlm.12
19. Jakarta Post, 18 Januari
2000
Dr.Nasikun, 1984, System Sosial Indonesia.Jakarta. PT
Raja Grafindo Persada.