Tidak Waras di Sumber Waras
Kasus
pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras seluas 3,6 hektar oleh Pemprov DKI,
terus bergeliat. Semakin lama kasus Sumber Waras bergulir, semakin membuat keadaan
menjadi “kurang wajar” bahkan akan “kurang ajar” karena “tidak waras”, terlebih “Ahok’s
Haters”. Bicara tentang Ahok, orang ini memang fenomenal karena keputusan-keputusannya
yang melawan kelaziman. Karena tidak lazim, banyak orang yang bangkit melawan Ahok
dengan cara yang tidak lazim pula, tetapi sayangnya melawan hukum dan memalukan.
Lihat saja, artis sekelas Ahmad Dhani dibuat malu akibat tertangkap
memobilisasi gerakkan “Tangkap Ahok” dengan cara yang melanggar aturan. Ratna
Surampaet digiring Pol PP karena teriak-teriak tidak jelas di Kalijodo. Prof.
YIM yang nitizen sebut dengan “Prof. Micky Mouse” tanggalkan “Jas Kebesaran”
sebagai pengacara kawakan untuk turun pasar demi raup dukungan politik, bahkan sang
profesor yang seharusnya kelas calon presiden, turun tangga jadi calon gubernur
hanya karena gemas dengan Ahok. Pengusaha kondang, SU tiba-tiba menjadi
“pemulung” sampah di Car Free Day untuk cari perhatian publik Jakarta. Sejumlah
politikus bersumpah palsu akan terjun dari Tugu Monas dan potong telinga, dukun
santet menjadi kurang waras. Media sekelas Koran Tempo kebingungan tidak tahu
mau dukung atau lawan Ahok akibat tidak kebagian “kue”. Ada lagi lembaga DPR sempat
hilang kontrol ingin panggil Ahok untuk dengar pendapat kasus Sumber Waras,
padahal itu bukan wewenang mereka. FPI melantik gubernur abal-abal untuk
menentang Ahok. Kini keputusan Ahok tentang Sumber Waras menjadi “Sumber tidak Waras”.
Fakta, Ahok dan BPK
Setidaknya,
ada empat ronde yang memicu kasus Sumber Waras membumi. Pertama, lokasi. Versi BPK, lokasi lahan Sumber Waras berada di Tomang
Utara, tetapi versi Ahok berada di Kiyai Tapa. Faktanya, berdasarkan sertifikat BPN tanggal 27 Mei 1996 dengan
status HGB nomor 2878, lokasi tanah terletak di jalan Kiyai Tapa. Sama dengan
versi Ahok. Kedua, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Seperti
biasa, harga jual tanah selalu tergantung pada lokasinya. Karena menurut BPK letaknya
di Tomang Utara, maka harga jual tanah Sumber Waras seharusnya 7jt/m pesergi,
tetapi versi Ahok, harga tanahnya 20,7jt/m persegi karena letaknya di jalan
Kiyai Tapa. Faktanya, berdasarkan
faktur yang ditandatangani Kepala unit pelayanan Pajak Grogol, NJOP tanah
sumber waras 20,7jt/m dan berada di jalan Kiyai Tapa. Lagi-lagi sama dengan Ahok.
Ketiga, kerugian Negara. Menurut BPK, sebelumnya ada tawaran Ciputra harga
tanah tersebut hanya 564 miliar, tetapi Pemprov DKI membeli dengan harga 755
miliar atau 20,7jt/m. Karena itu, menurut BPK, ada mark up harga 191 miliar.
Namun menurut Ahok, tawaran Ciputra tersebut masih berpatokan pada NJOP tahun
2013, sedangkan Ahok membeli lahan itu pada tahun 2014, yang mana NJOP sudah
naik 80%. Faktanya, berdasarkan SIM PBB-P2
dari Dirjen Pajak, NJOP Sumber Waras sudah naik dari 12,2jt/m tahun 2013, menjadi
20,7jt/m pada tahun 2014. Lagi-lagi sejalan dengan versi Ahok. Keempat, BPK mengklaim, pembelian lahan
tidak melalui kajian dan dan perencanaan pihak yang berwenang, tetapi kata
Ahok, pembelian tersebut sudah dibahas bersama DPRD DKI. Faktanya, pembelian lahan Sumber Waras tercantum dalam KUA-PPAS
2014 Perubahan yang ditandatangani 4 pimpinan DPRD, yakni Ferrial Sofyan, Boy
Sadikin, Triwisaksaria dan Lulung Lunggana.
Awas Sesat Pikir Hasil Audit BPK
Ada
tiga opini atas hasil audit BPK yang sering membuat pimpinan daerah dan lembaga
tidur tidak nyenyak, yakni opini Wajar Dengan Pengecualian-WDP (qualified opinion), Tidak Wajar (adversed opinion) dan Tak Menyatakan
Pendapat-TMP (disclaimer of opinion).
Karena bila mendapat status tersebut, lembaga yang bersangkutan tidak beres
dalam pengelolaan keuangannya. Sedangkan opini BPK “Wajar Tanpa
Pengecualian-WTP” (unqualified opinion)
menjadi perburuan semua pimpinan daerah dan lembaga, sebab opini tersebut
menunjukkan tidak ada masalah penggunaan keuangan. Karenanya, WTP menjadi opini
yang paling dicari oleh pimpinan daerah dan lembaga Negara.
Namun,
opini WTP bukanlah garansi bahwa daerah atau lembaga Negara 100% bebas dari
penyelewengan keuangan. Jadi, tidak boleh terlena dengan opini WTP dari BPK,
apa lagi sampai sesat pikir. Fakta membuktikan, banyak lembaga yang mendapat
opini WTP oleh BPK, tetapi KPK menemukan ada korupsi. Misalnya, propinsi Riau,
Kota Tegal, Kabupaten Bangkalan, Kota Palembang, Kementrian Pemuda dan
Olahraga, Kementrian Agama, Kementrian ESDM. Ketujuh daerah dan lembaga
tersebut di atas, sangat sering mendapatkan opini WTP dari BPK, tetapi
faktanya, tiga gubernur Riau masing-masing Saleh Djasit, Rusli Zainal dan Annas
Maamun masuk bui karena korupsi. Selain itu, Walikota Tegal: Ikmal Jaya, Walikota
Palembang: Romi Herton dan istri, Bupati Bangkalan: Fuad Amin, ketahuan jadi
koruptor. Ada lagi, Menpora: Andi Malarangeng,
Menteri Agama: Suryadharma Ali, Menteri ESDM: Jero Wacik, tertangkap
sebagai penjahat korupsi. Sebaliknya, daerah-daerah di NTT juga ada yang
mendapat rapor merah dari BPK, salah satunya Rote-Ndao sering mandapat opini
Disclaimer atau TMP (Tidak Menyatakan Pendapat), namun kepala daerahnya
aman-aman saja.
Pertaruhan Kredibilitas dan
Kepercayaan Publik
Lembaga
Negara diakui dan dipercayai publik tidak hanya karena eksistensi mereka diatur
dalam konstitusi, tetapi juga, karena hasil kerjanya yang baik. Itulah yang
sedang dihadapi BPK dan KPK. Kasus Sumber Waras menjadi ajang pertaruhan kredibilitas
(dapat dipercaya) dan integritas (kejujuran) antara BPK dan KPK. Bagi BPK, hasil
audit kasus Sumber Waras, adalah tentang harga diri. Artinya, BPK mengkehendaki
kasus ini harus berujung di meja hijau. Kalau tidak, BPK akan malu karena hasil
auditnya dianggap abal-abal. Di sisi lain, KPK tidak menemukan penyimpangan. Disinilah
letak pertarungan yang dilematis. KPK tidak mau terburu-buru percaya pada hasil
audit BPK, namun opini publik, utamanya “lawan
Ahok” sudah teraliri oleh temuan BPK bahwa Ahok, melakukan perbuatan melawan
hukum dalam kasus sumber waras. Publik yang pro terhadap BPK terus mendesak KPK
agar menetapkan Ahok sebagai tersangka. Sedangkan publik yang pro KPK, ingin
agar kasus ini ditutup karena sarat dengan kepentingan politik menjelang Pilkada
DKI. Kehati-hatian KPK dalam mengusut kasus ini, antara lain karena selama ini,
Ahok dikenal sebagai gubernur yang mendukung pemberantasan korupsi dan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance). Sehingga, apabila
KPK hanyut dalam opini “pembenci Ahok”, tanpa bukti yang kuat dan valid, bisa saja
para penggiat korupsi menganggap KPK telah masuk angin dan tidak serius memberantas
korupsi di negeri ini. Namun, perbedaan keputusan antara BPK dan KPK membuat
publik bingung.
Kendatipun
publik kebingungan, mana yang benar antara BPK, KPK dan Ahok, yang pasti, dukungan
publik selalu bermuara pada yang namanya “kepercayaan”.
Artinya, lembaga yang dipercaya akan mendapat dukungan yang paling besar dari
publik. Dalam kasus sumber waras, publik mempunyai tingkat kepercayaan yang
lebih besar terhadap KPK dibanding BPK. Hal ini menyusul hasil survey LSI bahwa
KPK adalah lembaga Negara yang paling dipercayai publik nomor dua setelah presiden
Joko Widodo. Bahkan, kini antara BPK dan Ahok, publik lebih percaya Ahok daripada
BPK. Hasil survey Populi Center menemukan tingkat kepercayaan publik terhadap
BPK pada kasus sumber waras berada pada angka 19%, sementara Ahok 27,2%. Artinya,
KPK dan Ahok lebih dipercayai publik daripada BPK dan itu akan menjadi muara dukungan
publik terhadap kasus ini.