Politisi Millenial dalam Lingkaran Demokrasi Status Quo
Politisi Millenial dalam Lingkaran Demokrasi Status Quo
Indonesia akan mengalami kondisi dimana komposisi jumlah penduduk berusia
produktif lebih besar daripada jumlah
penduduk usia tidak produktif atau populer dengan istilah bonus demografi. Dikutip dari data Bappenas yang dirilis oleh IDN Research Institute dalam Indonesia Millennial Report tahun
2019, ada 63 juta generasi millennial (usia 20-35 tahun) di Indonesia.
Ini setara dengan 24% dari usia produktif (14-64 tahun) yang jumlahnya 179,1
juta jiwa. Berdasarkan laporan tersebut, generasi millennial dibagi dalam dua
kategori, yaitu Junior Millennials (lahir
tahun 1991-1998), Usia saat ini antara 21-28 tahun. Senior Millennials (lahir tahun 1983-1990), Usia 29 sampai 36 tahun.
Puncak kejayaan dari bonus demografi akan terjadi pada tahun 2025-2030 atau 5
sampai 10 tahun dari sekarang. Generasi millennial akan menjadi pemain utama
dalam segala sektor pembangunan bangsa. Mulai dari ekonomi dan bisnis hingga
bidang politik. Khusus dalam bidang politik, millennial harus bertarung keras
dengan politisi senior yang lahir dan beranak pinang dalam budaya politik
status quo yang lebih senang memelihara zona nyaman.
Demokrasi Status Quo
Status quo (bahasa
Latin), secara harfiah artinya, “keadaan
tetap sebagaimana sekarang, atau keadaan sebelumnya”. Jadi mempertahankan
status quo berarti “mempertahankan keadaan sekarang atau sebelumnya”. Status
quo lahir dari proses yang tidak singkat. Berangkat dari hasil survei, “World
Values Survey” yang digawangi oleh Dr. Pedro C. Magalhaes dari Universitas
Lisbon, Portugal, ada proses yang sangat panjang sehingga seseorang mengalami
perasaan status quo. Dr. Pedro melandasi penelitiannya menggunakan teori perilaku manusia. Yang pertama, Teori belajar (habituasi) yang
menyatakan bahwa, seseorang yang hidup lama dalam rezim demokrasi liberal
niscaya akan terbangun konsepsi demokrasi liberal dalam dirinya. Implikasinya,
semakin lama dia hidup dalam suasana itu, maka akan menjadi budaya yang sulit
dirubah, dan bahkan akan melahirkan persepsi radikal dan menganggap itu sebagai
kebenaran mutlak yang harus dipertahankan. Teori yang berikut adalah teori status sosial dan stastus qou.
Yakni, individu yang memiliki status sosial yang lebih tinggi, cenderung nyaman
dengan politik status quo. Namun kelas sosial yang dibawahnya lebih resistensi
terhadap politik status quo itu. (Saifulmujani Research & Consulting,
2019).
Politisi Millenial
Berdasarkan
data pemilih dalam pemilihan umum presiden yang lalu, pemilih millennial berjumlah
42 juta lebih Pemilih. Artinya, ada keterwakilan lebih dari seperlima pemilih
DPT yang jumlahnya 192 juta lebih. Sementara itu, caleg dari kalangan
millennial, turut mewarnai pileg tahun 2019. Pemilu 2014 yang lampau,
caleg muda (di bawah 30 tahun) hanya 6,5 persen dari total 6.397 caleg.
Sementara pada pemilu 2019, caleg muda melonjak sampai 100 persen dibanding
pileg tahun 2014 lalu. Dikutip dari hasil survey Tirto.id, ada 878 caleg atau
sekitar 11 persen caleg muda dari total 7,968 caleg pada pemilu 2019. Terlepas
dari berapa persen yang terpilih, fakta ini menunjukkan bahwa, kaum millennial semakin
aktif dalam politik praktis. Mereka yang terpilih dan tampil sebagai petarung
handal (baik di daerah, maupun di pusat) setidaknya akan membawa angin segar
bagi perpolitikan tanah air. Kita berharap, millennial tidak tenggelam dalam budaya
status quo, tetapi mengubahnya menjadi budaya demokrasi yang membawa harapan
baru.
Jalan Terjal Mendobrak Status Quo
Pada tataran
ideal, politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan. Sementara demokrasi
merupakan sistem politik yang berlandaskan pada prinsip-prinsip kedaulatan
rakyat dan menjunjung tinggi hak-hak dasar warga Negara. Karenanya, demokrasi
tidak bisa dipisahkan dari politik, sebab keduanya memiliki tujuan yang sama,
yakni merebut kekuasaan demi memperjuangkan kemaslahatan dan kemakmuran
bersama. Meskipun demikian, fakta berbicara lain. Kini demokrasi diciptakan
untuk memuaskan nafsu pribadi dan kelompok tertentu.
Tidak dapat
dibantah, bahwa budaya demokrasi kita saat ini adalah hasil rekonstruksi dari
serpihan-serpihan orde baru yang lebih cenderung mewadahi kepentingan elit dari
pada kepentingan wong cilik dan kaum marjinal, yang mana aktor-aktornya sebagian
besar adalah residu politik masa lalu. Implikasinya, output demokrasi terkesan “dari elit, oleh elit, untuk elit”, bukan “dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat”. Elit-elit itu lebih nyaman
“mempertahankan budaya demokrasi status
quo” guna menjaga jaringan bisnis dan kekuasaan, dari pada berubah
mengikuti tuntutan konstituen yang semakin kompleks. Sementara para politisi
millennial, lahir dan tumbuh dalam sebuah idealisme zaman now yang mengedepankan
transparasi, kecanggihan teknologi yang menuntut adanya kecepatan, tidak
bertele-tele, keterbukaan dan cepat tanggap.
Meski politisi
millennial belum banyak yang lolos ke gedung dewan, setidaknya ada beberapa petarung
yang berhasil, baik tingkat daerah maupun pusat. Ada yang langsung membuat
gebrakan, ada pula yang sedang membaca stuasi karena masih terkurung dalam
lingkaran senior mereka. Secara pengalaman, yang senior akan merasa superior
dari yang junior.
Kendati
demikian, gebrakan politisi millennial itu telah dimulai oleh William Aditya
Sarana dan kawan-kawan, anggota DPRD DKI Jakarta berusia 23 tahun (termasuk
dalam kategori Junior Millennials),
Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Yang mana kita saksikan, ada
“pertarungan” besar antara politisi muda (millennial) dengan politisi senior
tentang keterbukaan anggaran APBD DKI. Memanasnya pembahasan anggaran di DKI
Jakarta tahun 2019, bisa dibilang dimulai dari “ulah” William. Tidak hanya
William, ada juga beberapa politisi PDIP, seperti Ima Mahdiah dan kawan-kawan
yang tampil sebagai kontra dari politisi senior, guna membongkar keanehan
anggaran Lem Aibon, pasir, Tipex, rehab gedung sekolah, Alat tulis dan
lain-lain yang melebihi kewajaran akal sehat.
Millennial Menuntut keterbukaan
Budaya
keterbukaan ini akan mengganggu zona nyaman para politisi senior yang sudah
terbiasa dengan budaya tertutup. Budaya tertutup lebih berpeluang menimbulkan
persekongkolan jahat daripada budaya yang terbuka. Sehingga ujung-ujungnya KKN.
Sedangkan millennial lebih suka “show off”
untuk menunjukkan eksistensi, sekaligus sebagai bentuk transparansi dan pertanggungjawaban
terhadap kontituen. Inilah klimaks dari pertarungan itu. Dimana ada dua
gelombang generasi yang berlawanan arah. Mau tidak mau, akan terjadi turbulensi
dalam budaya demokrasi kita. Pemenangnya adalah mereka yang searah dengan
perubahan zaman dan kehendak konstituen. Sebab itu, upaya mendobrak status quo
tidak akan murah dan mudah. Akan selalu melewati jalan terjal dan liku. Namun,
tidak ada yang mustahil bila kita legowo untuk berubah.
________________________________________
KONTRIBUTOR/PENULIS: Sdr. Elkana Goro Leba, MPA. Artikel ini disesuaikan dari berbagai sumber, Mohon maaf bila ada kesalahan pengutipan atau informasi yang kurang tepat karena "TIADA GADING YANG TIDAK RETAK". Terima kasih, karena sudah mampir. Salam!
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DI BAWAH.
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DI BAWAH.