Demokrasi: Demonstrasi Vs Democrazy
Demokrasi
merupakan gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan
kewajiban serta perlakuan yang sama bagi seluruh warga Negara. Karenanya, paham
ini sangat menghargai kebebasan berpendapat dan berserikat. Oleh karena itu,
perjuangan akan kebebasan berekspresi, kesetaraan dan kesamaan di depan hukum,
menjunjung tinggi hak azasi manusia, dengan cita-cita menciptakan masyarakat
yang adil dan makmur serta menghapus diskriminasi ras dan golongan menjadi
tujuan utama semua Negara demokrasi.
Perjalanan
demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut sejak zaman orde lama hingga orde
baru, sampai pada era reformasi. Pada masa pemerintahan Soekarno (orde lama), kita
kenal adanya demokrasi terpimpin, dimana Soekarno menjadi pemegang kekuasaan
dan pengambil keputusan tertinggi sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan,
sehingga kebebasan berekspresi tidak mendapat tempat yang layak. Hal ini
terpaksa dilakukan oleh Bung Karno dan bung Hatta, sebab kedua bapak bangsa itu
diperhadapkan dengan banyaknya kelompok separatis yang ingin memisahkan diri
dari NKRI. Pada zaman Soeharto, kebebasan berpendapat benar-benar dikebiri oleh
penguasa orde baru pada saat itu. Meski dengan asalan untuk menjaga stabilitas negara,
namun tidak dapat dibantah juga bahwa pemerintah orde baru yang dinahkodai sang
diktator, sesungguhnya sedang fobia terhadap kritik publik dan takut kehilangan
kekuasaan. Sehingga untuk menjaga kelanggengan kekuasaan keluarga cendana pada
waktu itu, Soeharto dan kroninya “membunuh”
siapapun yang bersebrangan dengan mereka, sambil menggiring opini publik bahwa
pengkritik adalah pengkut Partai Komunis Indonesia (PKI). Maka dari itulah,
setiap kali pemilu, sudah otomatis, Partai Golkar selalu tampil sebagai
pemenang.
Democrazy
dalam Demokrasi
Sejak
Negara ini berdiri, kita sudah menganut paham demokrasi, yaitu Demokrasi
Pancasila. Mengapa dinamakan Demokrasi Pancasila? Karena tujuan dan arah serta tata
cara kita berdemokrasi, seharusnya berpedoman pada nilai-nilai Pancasila, yaitu
nilai Ketuhanan, adil dan beradab (sopan santun), persatuan, musyawarah untuk
mencapai mufakat berdasarkan perwakilan, berlaku adil bagi seluruh warga Negara
Indonesia dimanapun berada.
Namun,
akhir-akhir ini, nilai-nilai Demokrasi Pancasila itu sudah mulai luntur, akibat
perilaku menyimpang oknum-oknum pendemo yang mengesampingkan nilai-nilai
ketertiban dan kedamaian dalam melakukan unjuk rasa. Dalam artikel ini, penulis
menggambarkan perilaku menyimpang para pendemo itu dengan istilah “Demo-crazy”. Demonstrasi adalah pernyataan
protes yang dikemukakan secara massal. Sebab itu, demonstrasi adalah hal biasa
dalam Negara demokrasi. Karena demonstrasi merupakan salah satu cara untuk
menyampaikan pendapat atau aspirasi di depan publik. Namun, demonstrasi menjadi
tidak biasa ketika para pendemo menjadi “crazy
(baca: sinting/gila)” dan tidak
lagi mengedepankan nilai-nilai moral dan etika serta merugikan orang lain
termasuk merugikan Negara. Merusak dan membakar fasilitas publik, menyerang
aparat keamanan dan pengguna jalan lainnya, merendahkan orang lain, memfitnah, menyerbarkan
Hoax dan kebencian, mencaci-maki dan melempar polisi serta menyerang kehormatan
kepala Negara, bahkan ada unsur makar untuk menggulingkan pemerintahan yang
sah. Potret “pendemo yang sinting” seperti
ini hampir selalu dipertontonkan ketika mahasiswa berdemonstrasi, dan memicu
masalah yang lebih besar. Aksi brutal dengan merusak fasilitas umum sebenarnya
tidak dibenarkan sebab merugikan Negara. Uang Negara yang seharusnya dapat
digunakan untuk kebutuhan lain, harus dikeluarkan lagi untuk memperbaiki
fasilitas yang rusak.
Disamping
itu, polisi selalu menjadi sasaran oleh oknum pendemo yang “sinting”. Mereka menyerang, melempar, mengolok-olok, memaki dan
merendahkan aparat kepolisian. Ironinya, ketika polisi bertindak tegas, mereka
dianggap melakukan kekerasan terhadap pendemo dan melanggar HAM. Padahal tindakan
tegas polisi hanyalah reaksi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pendemo.
Ada orang lebih suka teriak pelanggaran HAM ketika polisi menindak tegas para
pendemo-crazy, tetapi kalau polisi yang menjadi korban, mereka diam. Diperparah
lagi dengan adanya ada orang-orang yang berdemonstrasi hanya ikut-ikutan tanpa
tahu masalahnya apa. Pendemo yang “crazy”
seperti itu sangat mudah disusupi oleh kelompok-kelompok yang membawa agenda
politik, misalnya kelompok-kelompok radikal dan separatis untuk mengganti sistem
dan menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pemicu Democrazy
Ketika
pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan yang baru, hampir selalu ada yang pro
(setuju) dan ada yang kontra (tidak setuju). Biasanya, pihak yang tidak setuju
akan melakukan perlawanan, dengan berbagai cara dan metode. Salah satunya
dengan berdemonstrasi. Beberapa hari
terkahir media massa dihiasi dengan berita-berita tentang aksi unjuk rasa
mahasiswa untuk menolak Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang
akan disahkan DPR dalam masa-masa akhir jabatan anggota dewan periode tahun
2014-2019. Selain Rancangan UU tentang KPK yang dinilai melemahkan posisi KPK, kurang
lebih ada depalan pasal dalam RKUHP itu yang memancing kontroversi dan aksi
mahasiswa. Pertama draft pasal 604 tentang korupsi yang
dinilai menguntungkan koruptor karena dalam pasal ini, minimal hukuman penjara
bagi koruptor adalah 2 tahun dan denda hanya 10 Juta, padahal dalam UU Tipikor,
hukuman minimal bagi koruptor 4 tahun penjara dan denda 1 miliar. Kedua,
pasal
414 dan 416 tentang alat kontrasepsi, yaitu mempindanakan setiap orang yang
secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau
menunjukkan untuk dapat memperolah alat pencegahan kehamilan kepada anak”. Hal
ini dianggap bertentangan dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS yang mana
sasarannya kepada anak-anak remaja. Ketiga, pasal 418 tentang
perzinahan: laki-laki yang bersetubuh dengan perempuan atas suka sama suka tetapi
ingkar janji dan tidak menikahinya dapat dipenjara paling lama 4 tahun. Hal ini
dianggap Negara terlalu jauh mengurus urusan pribadi orang lain. Keempat, pasal 218-220 tentang
penghinaan presiden dan wakil presiden yakni memidanakan setiap orang yang
menyerang kehormatan presiden dan wakil presiden karena menyiarkan,
mempertunjukkan atau menempelkan gambar atau tulisan yang dianggap menyerang
kehormatan presiden. Isi pasal-pasal itu dianggap akan menimbulkan multitafsir
dan berpotensi disalahgunakan. Kelima, pasal 252 tentang hukuman
bagi dukun santet. Meskipun pasal ini bertujuan untuk menjawab keresahan
masyarakat tentang banyaknya dukun santet, tetapi pertanyaannya, bagaimana membuktikannya?
Keenam
pasal 251, 470-472 tentang aborsi. Pasal ini melarang tindakan aborsi
dengan alasan apapun. Hal ini dinilai mendiskriminasi perempuan korban pemerkosaan,
sebab dalam UU sebelumnya, aborsi dilegalkan bagi perempuan korban pemerkosaan.
Ketujuh
pasal 432 tentang gelandangan (gembel). Mendenda (Rp. 1 Juta) setiap
orang yang bergelandangan dan menganggu ketertiban umum. Pertanyaannya,
bukankah seharusnya Negara bertanggungjawab terhadap fakir miskin dan
orang-orang terlantar? Kedelapan pasal 278-279, tentang Unggas. Yakni menghukum pemilik ternak
unggas yang membiarkan ternaknya berjalan (makan) tanaman atau benih di kebun
orang lain. Itulah beberapa pasal yang memicu gerakkan demonstrasi mahasiswa di
sejumlah daerah di Indonesia, dan diwarnai dengan tindakan democrazy.
________________________________________
KONTRIBUTOR/PENULIS: Sdr. Elkana Goro Leba, MPA. Artikel ini disesuaikan dari berbagai sumber, Mohon maaf bila ada kesalahan pengutipan atau informasi yang kurang tepat karena "TIADA GADING YANG TIDAK RETAK". Terima kasih, karena sudah mampir. Salam!
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DI BAWAH.
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR DI BAWAH.