Catatan Kritis Tentang Drainase di Kota Kupang
Pembangunan Drainase Yang Tidak Sesuai Aturan
Kini kita ada dalam masa-masa menjelang musim
hujan. Para petani di pedesaan sedang mempersiapkan lahan untuk menanam bahkan
mempersiapkan wadah untuk menampung air hujan. Berbeda dengan kita di kota,
mempersiapkan selokan untuk mengalirkan atau membuang air ke kali, sungai
sampai ke laut. Salah satu caranya adalah dengan membangun saluran air seperti
drainase jalan. Khusus pembangunan jalan dan drainase, banyak hal yang perlu
kita koreksi bersama, agar apa yang telah dibangun, tidak asal jadi, dan melibatkan
banyak sektor sehingga benar-benar berfungsi secara maksimal.
Pada hakekatnya, drainase jalan adalah
serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi atau membuang
kelebihan air dari badan jalan agar tidak menyebabkan genangan atau banjir,
sehingga jalan dapat difungsikan secara optimal sesuai dengan kepentingan.
Dalam hal tata ruang di kawasan perkotaan, drainase berperan amat penting guna
mengatur aliran air agar mencegah terjadinya banjir.. Kesemuanya itu
wajib dibangun secara terencana dan lintas sektor.
Mungkin itulah sebabnya, sejak awal hingga
akhir tahun, Pemerintah Daerah Kota Kupang bahkan pemerintah provinsi NTT, gencar
membangun drainase jalan. Sepertinya pembangunan drainase ini proyek tahunan pemerintah
yang tidak pernah tergantikan, walaupun pembangunannya hanya di tempat yang
sama setiap tahun. Karena bangun tahun ini, tahun depan rusak lagi, maka proyek
lagi dan lagi. Begitu seterusnya sampai APBD hanya untuk bangun drainase di
tempat yang sama. Metodenya bermacam-macam, ada yang menggunakan cara-cara
konvensional dengan tenaga tukang bangunan saja, ada pula cara modern dengan alat
berat menggunakan cetakan bius beton atau gorong-gorong yang sudah dicetak
sehingga tinggal dipasang saja, selesai.
Pembangunan Drainase Yang Asal Jadi
Sejauh ini, pembangunan drainase dengan cara
konvensional, paling banyak menimbulkan masalah dalam hal kualitas bangunan. Cara
ini biasanya terjadi di jalan-jalan kolektor yang merupakan jalan umum yang
berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak
sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi, dan Jalan lokal yang merupakan jalan umum yang
berfungsi melayani angkutan setempat serta jalan lingkungan. Untuk sekarang
ini, pembangunan drainase dengan cara modern yang menggunakan alat berat masih fokus
pada jalan-jalan kelas A dan B saja, sedangkan jalan kelas C dan jalan
lingkungan masih menggunakan cara konvensional. Masing-masing cara membangun
itu, mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Khusus
pembangunan yang menggunakan tenaga tukang saja, Persoalannya adalah para
tukang membangun drainase dengan bahan campuran bangun yang berkualitas rendah.
Bibir selokan lebih rendah dari permukaan jalan, tidak ada penutup, tanah
galian langsung ditumpuk di bibir selokan. Dengan begitu, ketika air hujan datang,
maka semua tanah galian longsor ke dalam selokan. Dinding selokan amblas karena
campuran semen yang tidak berkualitas. Diperburuk lagi, oleh kebiasaan kita
membuang sampah sembarangan, menyebabkan sampah menumpuk dalam selokan karena bibir
selokan lebih rendah daripada permukaan jalan, dan ditambah lagi dengan tidak
ada penutup, maka tersumbatlah selokannya, airpun cari jalan lain, yaitu mengalir
melalui badan jalan. Masalah lain lagi, permukaan badan jalan yang rata dan
bahkan lebih rendah dari sisi jalan, menyebabkan air tergenang. Itulah yang
menyebabkan pembangunan drainase itu tidak pernah selesai. Ini masalah berulang
tahun dari waktu ke waktu.
Pembangunan Drainase yang Tidak Lintas Sektor
Menjelang musim hujan, drainase di jalan
arteri sekitaran kota Kupang sedang dibangun. Sepertinya, cukup baik dari sisi
kualitas, karena menggunakan gorong-gorong atau bius beton. Namun, hal ini pun tidak
lepas dari masalah. Masalahnya adalah karena kita, terutama pemerintah,
membangun dengan tanpa melibatkan sektor lain. Sehingga penggalian drainase menggunakan
alat berat telah merusak banyak fasilitas milik sektor lain. Misalnya, di
sepanjang jalan Eltari, Jalan Frans Seda, Jalan Soedirman, yang sedang bangun
drainase, banyak kabel dan tiang telepon dan listrik yang rusak akibat terkena
alat berat. Ini akibat dari pemerintah kurang melibatkan stakeholder yang sama-sama
menggunakan sisi jalan jalur pembangunan fasilitas yang notabene adalah milik
Negara dan dari uang Negara.
Perlu Cara Baru Dalam Membangun Jalan dan Drainase
Persoalan lainnya adalah cara kita membangun
infrastuktur jalan yang setengah-setengah. Cara-cara lama yang kita gunakan selama
ini harus dirubah agar dalam membangun yang satu, tidak menggusur yang lain. Misalnya,
cara lama kita saat ini yang perlu kita rubah adalah, proyek bangun jalan,
terpisah dengan proyek drainase. Artinya, ketika proyek jalan dilelang, tidak
disertai dengan proyek drainase sekaligus. Sehingga, tahun ini kita bangun
jalan, tahun depan atau lima tahun lagi, bangun drainase. Dengan cara seperti
ini selain kurang efisien atau boros biaya, juga menimbulkan masalah. Jalan
yang sudah dibangun, ketika gali selokan untuk drainase, rusak lagi. Habis lagi
uang Negara. Sebab itu, agar jalan yang sudah dibangun tidak rusak lagi karena
bangun drainase, proyeknya disatukan saja. Karenanya, kita perlu merubah
mindset lama kita, agar dapat melakukan itu.
Di samping itu, pemerintah dan seluruh
stakeholder yang sering memanfaatkan jalur drainase guna membangun fasilitas
publik, kurang berkoordinasi. Hal itu menyebabkan tumpang tindih dalam
pembangunan. Selama ini, PT. PLN, PT. Telkom dan PD. PAM adalah perusahaan
publik yang paling banyak memanfaatkan sisi jalan untuk bangun fasilitas pelayanan
publik. Seperti untuk tanam tiang, tanam kabel dan tanam pipa. Maka dari itu, seharusnya,
ketika Dinas PU membangun jalan, harus berkoordinasi juga dengan ketiga
perusahaan Negara tersebut.
Kalau kita tidak berani berubah, maka yang
terjadi adalah pemerintah membangun jalan tahun ini, lima tahun lagi bangun
drainase. Padahal, PT. PLN, PT. Telkom dan PD. PAM sudah terlebih dahulu tanam
tiang, kabel dan pipa di area yang sama. Maka ketika drainase digali, rusak
lagi kabel dan tiang serta pipa milik ketiga perusahaan itu. Akibatnya, yang satu
membangun, yang lain merusak. Hanya begitu saja dari waktu ke waktu. Kita
seperti sedang berputar dalam “lingkaran setan pembangunan” yang telah mendarah
daging dalam diri pemimpin dari masa ke masa. Uang Negara hanya dihabiskan
untuk itu saja, padahal seharusnya dapat dihindari. Jadi, marilah berubah.
Tinggalkan cara-cara lama, dan mental untuk mencari proyek.