Yang Tersisa dari Pilkada Serentak
Hiruk pikuk Pemilu Kepala Daerah (Pilkada)
serentak tahap pertama telah usai. Sebanyak 269 daerah dari total 537 provinsi
dan kabupaten/kota di Indonesia, berhasil memilih Kepala Daerah (Kada) secara
serentak pada tanggal 9 Desember 2015 lalu. 269 itu terdiri dari 9 provinsi, 36
Kota, 224 Kabupaten. Tersebut-sebut itu sebagai perhelatan demokrasi terakbar
sejagat. Dinilai Pilkada tersebut tidak ada konflik yang berarti. Sekalipun ada
beberapa daerah yang bermasalah, namun dapat terselesaikan dengan baik.
Kendatipun demikian, ibarat pepatah, “tak ada gading, yang tak retak dan tidak
ada tapakkan kaki yang tidak meninggalkan jejak”, begitu pun dengan Pilkada
serentak Desember lalu, sukses bukan berarti nihil masalah. Ternyata, Pilkada
serentak itu, masih menyisahkan sisa-sisa getah pahit dalam masyarakat lokal. Getah-getah
itu memang bukan lagi konflik terbuka berupa gesekkan fisik di kalangan grass root atau masyarakat bawah,
melainkan dendam, amarah, kebencian yang belum rampung akibat perbedaan pilihan
pada Pilkada yang lalu.
Dalam Pilkada Sabu-Raijua (Sarai) misalnya.
Masyarakat Sarai telah berhasil memilih bupati dan wakil bupati, namun Pilkada
usai, tidak serta-merta persoalan Pilkada pun selesai. Sejatinya, berakhirnya
Pilkada, berakhir pula persoalannya. Yang kalah harus legowo dan yang menang merangkul
yang kalah. Ternyata yang terjadi, jauh dari yang seharusnya. Seperti di
Kecamatan Raijua, Kabupaten Sabu Raijua (sekedar informasi, kecamatan Raijua, berada
di Pulau Raijua yang terdiri dari tiga desa dan dua kelurahan). Setidaknya ada
dua kubu utama di sana. Masing-masing kubu berupaya keras untuk membela
jagoannya. Akibatnya, pada saat kampanye, menimbulkan “perang urat” antar kubu.
Terjadi adu mulut, saling sindir satu sama lain, hingga menyisahkan masalah
pribadi berupa dendam dan kebencian yang menyebabkan komunikasi menjadi rusak
dan hubungan baik menjadi buruk. Yang sangat disayangkan lagi, ternyata konflik
itu terjadi antara kaka dan adik, orangtua dan anak, saudara bersaudara. Kondisi
seperti itu “terpelihara” hingga kini. Konflik seperti ini tidak boleh
diremehkan, sebab itu ibarat bom yang siap meledak sewaktu-waktu ketika ada
pemicumya.
Pentingnya Pendidikan
Politik Bagi Masyarakat Awam
Fenomena di Raijua tersebut di atas
hanyalah secuil dari fenomena umum yang terjadi dalam masyarakat Indonesia
pasca Pilkada lalu. Sebagian besar masyarakat bawah yang masih awam, hanya
memahami pemilu sekedar memilih bupati atau presiden. Lebih lanjutnya hanya
elit-elit politik lokal yang memahami bahwa Pemilu adalah menyangkut konsep-konsep
pokok dalam politik seperti Negara, kekuasaan, pengambilan keputusan,
kebijakasanaan dan pembagian atau alokasi, baik alokasi sumber daya maupun
alokasi kekuasaan. Pada taraf inilah pentingnya pendidikan politik bagi
masyarakat lokal. Agar melalui pendidikan politik, mereka dapat menentukan
keputusan-keputusan politik individual yang berdasarkan pada hati nurani.
Dengan demikian, mereka terhindar dari konflik-konflik horizontal dalam pilkada
yang mencederai hubungan baik antar anggota masyarakat.
Apa itu pendidikan politik? Rusadi
Kantraprawira membatasi pendidikan politik sebagai upaya untuk meningkatkan
pengetahuan politik rakyat, agar pada akhirnya rakyat dapat berpartisipasi
secara maksimal dalam sistem politik (termasuk pemilu). Sementara M. Panggabean
mendefenisikan pendidikan politik sebagai cara bagaimana suatu bangsa
mentransfer budaya politik kepada warga negaranya dari generasi ke generasi. Pendidikan
politik tidak dapat dipisahkan dengan sosialisasi politik, baik secara teoritis
maupun prakteknya. Penyampaian pendidikan politik dapat dilakukan melalui media
massa, seminar dan pembelajaran antar orang perorang, lembaga-lembaga
pendidikan dan sebagainya.
Pendidikan politik, menghasilkan
pengetahuan politik. Pengetahuan politik setidaknya ada tiga variabel, yaitu
pengetahuan tentang pemerintah (termasuk kebijakan-kebijakannya), pengetahuan
tentang aturan main dalam praktek politik (termasuk kegiatan pemilu), dan
pengetahuan tentang lingkungan dan kehidupan bermasyarakat (Suwondo, 1998:11). Pengetahuan
politik tersebut melahirkan sikap politik. Sikap politik merupakan kesiapan
untuk bereaksi terhadap objek tertentu yang bersifat politik sebagai hasil
penghayatan terhadap objek tersebut (Sudijono Sastroatmojo, 1995:4). Sikap
politik inilah yang perlu dibahas dalam hal pendidikan politik bagi masyarakat lokal
yang masih awam tentang politik dan demokrasi sejati. Pada hakekatnya, politik berkaitan
dengan meraih kekuasaan untuk membela kepentingan warga Negara dan membangun
bangsa, bukan hanya untuk mendapatkan kekuasaan demi melanggengkan kepentingan
pribadi seperti yang dipertontonkan oleh kebanyakan politikus di negeri ini. Pada
tataran yang paling sederhana, sikap politik masyarakat tercermin dalam
perilaku masyarakat ketika Pemilu dalam memberikan dukungan atau menolak calon
tertentu. Tetapi kadangkala, sikap berbeda pilihan membawa masyarakat lokal pada
satu kondisi dimana harus habis-habisan untuk membela dan mempertahankan
pilihan hingga memicu terjadinya konflik. Oleh sebab itu, perlu pendidikan politik
kepada masyarakat awam, agar mereka tidak terjerumus dalam perasaan fanatisme terhadap
satu pilihan yang justru menyisahkan konflik batin yang berkepanjangan.
Pendidikan
Politik, Partai Politik dan Elit Politik
Berakhirnya gaya kepemimpinan Soeharto
yang sentralistik, desentralisasi pun muncul sebagai model yang paling ideal. Pada
era pemerintahan yang sentralistik, rakyat hanyalah “hamba” para elit, bukan
warga Negara. Rakyat belum menjadi tujuan pembangunan. Eksekutif dan
legislative di daerah pun dikekang oleh penguasa di pusat. Sehingga cerita
pemerintahan masa itu adalah soal kepentingan elit pusat, bukan pembangunan dan
kemakmuran rakyat. Akhir dari cerita buram itu, kemudian digantikan dengan desentralisasi,
dimana ada pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Desentralisasi
adalah suatu kemajuan dan harapan, yang mana hak-hak warga negara harus
dikedepankan, namun desentralisasi juga berdampak pada terciptanya “raja-raja” kecil
di daerah. Raja-raja kecil itu adalah elit-elit politik lokal yang bertarung
habis-habisan demi kekuasaan seperti gubernur, bupati/walikota, DPR/DPRD. Daerah
menjadi arena untuk memenangkan dan melanggengkan “kepentingan”. “Perang
tanding” antar aktor inilah yang menjadi isu penting untuk dibicarakan pada
ranah publik. Sebab, tidak jarang perilaku para aktor itu minim nilai edukasi
politik bagi masyarakat lokal. Perilaku negative “saling serang” antar aktor
dalam bentuk kampanye hitam untuk mengaktualisasi diri paling baik di mata
pemilih (voters), memperdayakan para pendukung sebagai senjata politik untuk membidik
para lawan, praktek politik uang yang melacuri hati nurani, politik dinasti
yang tidak berkualitas, Partai politik miskin kader yang berkompeten, maka
muncullah orang-orang bak pahlawan kesiangan, jadi politikus hanya karena popularitas.
Pada akhirnya menghasilkan pemimpin yang tidak berkompeten dan wakil rakyat yang
hanya bisa bersilat lidah berjanji palsu, nihil pelaksanaan.
Partai politik seharusnya tampil untuk
menjembatani masalah itu, agar bukan hanya ketika pemilu baru aktif promosi
diri, bentuk DPC dimana-mana, tetapi yang juga sangat penting adalah membekali masyarakat
awam dengan pendidikan dan pengetahuan politik. Selama ini, partai politik belum
menjadi agen yang membawa nilai edukasi bagi masyarakat. Justru banyak oknum kader
partai yang menjadi otak politik kotor dan politik uang. Ujung-ujungnya,
masyarakat dibawa dalam suatu keadaan bahwa Pilkada adalah soal “jual-beli”
suara. Bisikkan hati nurani tidak lagi mendapat tempat istimewa sebagaimana
seharusnya. Partai hanya hanya berburu kekuasaan, tetapi lupa mendidik
masyarakat agar memahami bahwa Pemilu adalah momen untuk memilih pemimpin yang berkualitas
dari kita untuk kita.