Melawan Bangsa Sendiri (Refleksi Hari Pahlawan Nasional)
Melawan Bangsa Sendiri
(Refleksi Hari Pahlawan Nasional)
Elkana Goro Leba
Pengarah Organisasi Perhimpunan
Mahasiswa Asal Raijua
Secara historis, Hari Pahlawan Nasional diperingati sebagai refleksi sejarah
perjuangan berdarah ribuan pemuda dan pasukan Tentara Keamanan Indonesia (TKR) melawan
pasukan Britania Raya di Surabaya. Pertempuran berdarah di Kota Pahlawan, Surbaya-Jawa
Timur tersebut sudah mulai berkobar sejak bulan September tahun 1945. Sehingga
tanggal 10 November 1945, kemudian diperingati sebagai salah satu momentum
bersejarah bagi perjuangan demi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika
itu, para pahlawan nasional Indonesia, yang tergabung dalam Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) di Surabaya dan sejumlah daerah di Nusantara, dengan kobaran
semangat ‘merdeka atau mati’, bertempur sampai titik darah penghabisan untuk membela
tanah air Indonesia yang telah diproklamirkan oleh Bung Karno kurang lebih empat
bulan sebelumnya. Para Pasukan merah putih berupaya melucuti senjata para pasukan
Jepang yang sebelumnya telah menyerah tanpa syarat kepada Indonesia atas berkat
bom Atom oleh Amerika Serikat yang mengguncang Hiroshima dan Nagasaki yang
menewaskan lebih dari 246 ribu orang dan disebut-sebut sebagai bom terdahsyat
dan mematikan sejagat raya. Residen Soedirman dan kawan-kawan juga berjuang melawan
pasukan Belanda yang belum sepenuh hati mengakui kemerdekaan Indonesia dan Pasukan
Inggris yang membawa misi tersembunyi di balik misi Allied Forces Netherladns East Indies (AFNEI) yang mendarat di Jakarta
tanggal 15 September 1945. Dimana Inggris pada awalnya hendak menjadi penengah
antara Indonesia dan Jepang, tetapi ternyata Inggris membonceng misi Netherladns Indies Civil Administration
(NICA), yaitu untuk mengembalikan administrasi Indonesia sebagai negeri
jajahan Hindia Belanda. Hal itu memicu gejolak di kalangan para TKR dan Pemuda
Indonesia. Sebab itu, meledaklah perang dimana-mana antara pemuda dan tentara
Indonesia dengan sekitar 30.000 Pasukan AFNEI dan Administrasi NICA. Suasana
semakin memanas, Indonesia terus melawan dengan darah juang, kemudian, pekikan Bung
Tomo di RRI Suroboyo untuk membakar semangat juang para pemuda dan tentara
Indonesia, “merdeka atau mati saudara-saudara!!!”,
menambah panasnya darah juang para pahlawan pada saat itu.
Salah satu peristiwa dalam pertempuran Surabaya itu adalah Peristiwa
Hotel Yamato. Yaitu, peristiwa robeknya bagian warna biru Bendera Belanda, dari
warna Merah-Putih-Biru (bendera Belanda) menjadi Merah-Putih (Bendera
Indonesia) di atas Hotel Yamato oleh pemuda dan pasukan Indonesia yang
digawangi oleh Residen Soedirman. Hal itu terjadi karena para pemuda Indonesia sangat
marah atas tindakan Belanda yang mengibarkan Benderanya tanpa persetujuan Rakyat
Indonesia di atas Hotel Yamato. Karena dipandang sebagai pelecehan terhadap kedaulatan
bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945. Itulah sedikit
cerita tentang latar belakang historis hari Pahlawan Nasional 10 November. Namun,
yang terpenting saat ini adalah, bagaimana sebagai bangsa yang besar, kita
menghargai jasa para pahlawan yang telah korbankan darah dan nyawa mereka yang
tak terhitung jumlahnya untuk berjuang bagi masa depan kita bersama hingga usia
Negara Indonesia yang ke-71 tahun ini.
Musuh Dalam Selimut
Dahulu
para pejuang bangsa ini berperang dengan mengangkat senjata untuk menembaki penjajah.
Singsingkan lengan baju untuk melempar bambu runcing demi membunuh musuh.
Tetapi saat ini, untuk mempertahankan NKRI dan membela merah putih, kita tidak
perlu lagi mengangkat senjata dan meruncing bambu. Basuki Cahya Purnama
mengatakan, “untuk menjadi pahlawan saat ini, kamu tidak perlu mengangkat
senjata untuk berperang, hanya dengan kamu tidak korupsi saja, sudah cukup
menolong anak-anak bangsa ini”.
Musuh
kita saat ini adalah diri kita sendiri. Maksud saya adalah, keinginan daging yang
sering menyetir kita ke perbuatan yang mengkhianati perjuangan para pahlawan. Kita
menjadi korup dan radikal yang justru dapat menghancurkan persatuan dan
kesatuan bangsa ini. Jangan mengikuti keinginan daging untuk korupsi dan
merampas hak dan memutuskan harapan dan masa depan yang baik anak-anak bangsa
ini. Selain diri sendiri, lawan kita adalah para pengkhianat yang datang bak
pahlawan hanya pada saat Pileg dan Pilkada. Mereka datang memakai topeng wakil
rakyat, dan membonceng kepentingan personal. Sehingga kalau sudah mendapatkan
jabatan dan kekuasaan, berubah menjadi monster yang menyeramkan kemudian rakyat
dijajah dalam berbagai bentuk pendekatan. Para pengkhianat yang bertopeng
pahlawan itu hanya mengusahakan kesejahteraan dirinya sendiri, padahal dipilih
dan digaji oleh rakyat, bahkan kencing
saja biayai rakyat, sementara rakyat makan saja susah. Para tokoh agama (katanya)
dan penafsir kitab suci datang bak malaikat, membaca dan menafsir ayat suci
sesuka hatinya guna mencuci otak para pengikutnya untuk mendirikan negara agama.
Seolah mereka tidak tahu, bahwa Negara ini merdeka dan berdiri hingga saat ini bukan
hanya karena jasa pejuang dari agama tertentu saja. Kita menjadi anti
perbedaan, padahal bangsa ini berdiri dan kuat karena perbedaan. Itulah yang
disebut bung Karno sebagai “perjuangan
melawan bangsa sendiri”: “Perjuangan kami, lebih mudah daripada kamu, sebab
kami melawan penjajah bangsa asing, tetapi kamu akan melawan bangsa mu
sendiri”.
Benar
saja, saat ini dan sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, kita dijajah oleh
oknum petugas perhubungan di pintu masuk pelabuhan dan terminal-terminal bus
dan oknum birokrat di kantor perijinan dalam bentuk Pungutan Liar (Pungli). Oknum
polisi, jaksa dan hakim menjadi tamak dan mata duitan, menerima suap, sehingga
keadilan hukum hanya milik mereka yang berduit dan berkuasa, bagi rakyat kecil,
keadilan hanya sebuah slogan kosong hasil silat lidah para penguasa. Akibatnya,
orang miskin semakin lemah dan orang kaya semakin kuat. Oknum Polisi Lalu Lintas
(Polantas) menilang pengendara di jalan raya hanya untuk menambah penghasilan dan
pundi-pundi kekayaan dari uang haram.
Oknum
jenderal polisi yang menjual para wanita untuk menjadi pembantu ke negeri
tetangga dengan rayuan hidup lebih baik, namun mereka pulang terbujur kaku dalam
keranda jenazah. Oknum DPR/DPRD/DPD pecundangi konstituennya dengan menerima
suap, mencuri uang rakyat dari APN/APBD, mereka bertopeng wakil rakyat yang kerjaannya
hanya cari proyek untuk mendanai partainya, koleganya dan keluarganya. Oknum
Kepala daerah yang menjual Sumber Daya Alam di daerahnya dengan memanipulasi
ijin usaha karena terlilit utang sejak masa kampanye. Organisasi Masyarakat
(Ormas) yang radikal berkedok dakwah dan agama, tumbuh subur di negara
Pancasila, tetapi Negara tidak berkutik sebab ditukangi oleh aktor politik
berotak kotor dan pengkhianat sejarah.
Oleh
sebab itu, Hari Pahlawan Nasional 10 November, sesungguhnya bukan sebuah
rutinitas tahunan yang hanya dijadikan ajang oleh para pejabat untuk berorasi di
mimbar pidato (yang sebagian hanya omong kosong), tetapi 10 November itu harus
dijadikan sebuah momentum untuk melihat diri, apakah kita, baik sebagai rakyat maupun
pejabat Negara, sudah menjadi pahlawan bagi bangsa ini. Kita bukan lagi melawan
bangsa asing, tetapi melawan bangsa sendiri. Jadi, musuh kita saat ini adalah
para pelaku kejahatan seperti narkoba, pengikut paham radikal dan terlebih lagi
para koruptor, dan musuh para koruptor adalah kedagingannya untuk mencuri uang
rakyat. Mari, kobarkan semangat untuk berjuang di setiap jengkal langkah kita
(Bung Tomo).