Mega Tarung dalam Pilgub DKI Jakarta
Mega Tarung dalam Pilgub DKI Jakarta
Sikap politik PDI Perjuangan yang digawangi Megawati
selaku pucuk pimpinan untuk mengusung Djarot Syaiful Hidayat guna dampingi Basuki
Cahya Purnama di bursa Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang, membuat parpol kubu
lawan kelimpungan. Apalagi keputusan itu dikeluarkan pada masa-masa injury time pendaftaran ke KPU. Arah
politik PDI Perjuangan itu, berhasil mengejutkan SBY dan Prabowo selaku
pentolan di Demokrat dan Gerindra. Koalisi kekeluargaan pun hanya tinggal
kenangan. Dukungan PDIP terhadap Ahok-Djarot, banyak pengamat menilai sebagai
sikap yang anti mainstream atau tidak biasa. Disebut tidak biasa, karena
sesungguhnya, PDIP dapat mengusung kadernya sendiri untuk merebut kursi nomor
satu, bukan nomor dua di Jakarta, sebab PDIP memiliki kursi terbanyak di DPRD
DKI, yakni 28 Kursi. Dengan demikian, PDIP tidak perlu berkoalisi dengan partai
lain pun, sudah memenuhi syarat untuk mengajukan kadernya sendiri.
Akibat sikap politik Megawati tersebut, menyebabkan
partai lain kejang-kejang. Dua gembong politik nasional yakni, Prabowo dan SBY yang selama ini menunggu arah politik
Megawati, pontang-panting untuk mencari calon. SBY korbankan karier anak sulungnya,
Agus Harimurti Yudhoyono di militer, Prabowo relakan kadernya Sandi Uno di
posisi wakil dan tempatkan Anies Baswedan sebagai calon gubernur, yang notabene
pada Pilpres tahun 2014 lalu, Anies pernah mengikuti konvensi Partai Demokrat.
Sikap SBY dan Prabowo sesungguhnya adalah sikap yang frustrasi,
karena nama-nama yang kini diusung oleh masing-masing kelompok koalisi yang
dituani oleh SBY dan Prabowo, selama ini jarang muncul dalam survey. Seperti
nama Agus Yudhoyono dan Sylviana Murni, jagoan Demokrat (SBY) dan kawan-kawan
koalisi poros Cikeas, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno jagoan Gerindra atau
Prabowo, dkk. Sandiaga Uno yang awalnya dijagokan jadi calon gubernur, harus
rela turun ke calon wakil gubernur.
Perseteruan Gengsi dan Kisah Masa Lalu
“Terasa seperti
Pilpres ya!”. Kira-kira begitu pernyataan SBY dalam rapat konsolidasi dengan
partai anggota koalisi di Cikeas. Pernyataan itu memang mencerminkan nuansa
politik di Jakarta saat ini. Ada Ahok yang di atas kertas sangat kuat, hingga banyak
partai menginisiasi “koalisi kekeluargaan” hanya untuk mengalahkan Ahok. Bagi
kita yang berpikir biasa, idealnya SBY dan Prabowo harus bersatu (sebagaimana misi
koalisi kekeluargaan) untuk melawan Ahok, karena Ahok dinilai sangat kuat di DKI.
Tetapi itu tidak berlaku untuk SBY dan Prabowo. Untuk mencari tahu alasannya,
kita kembali ke belakang. Kita ingat, pada Pilpres yang lalu, SBY dengan
gengsinya tidak berpihak ke mana pun. Tidak ke Mega, tidak juga ke Prabowo. Padahal,
besan SBY, yakni Hatta Rajasa, sedang bersanding dengan Prabowo sebagai calon wakil
presiden. Mengapa SBY dan Prabowo selalu berseberangan? Itu karena mereka
berdua memang mempunyai catatan masa lalu yang tidak sedap sewaktu masih di
Akabri. SBY pernah digebukkin oleh Prabowo akibat SBY memberi tahu ke Gubernur Akabri
bahwa Prabowo kabur dari Camp, hingga Prabowo dihukum oleh Gubernur Akabri,
Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang adalah ayah dari Ani Yudhoyono.
Sementara itu, SBY tidak akan mungkin merapatkan
barisan ke PDIP, yang digawangi Megawati. Sebab sejarah pada 2004, Mega
menganggap SBY telah melakukan “politik terselubung” untuk mengalahkan dirinya
di Pilpres 2004 lalu. Dimana pada saat itu, SBY yang adalah pembantu Megawati
di Menko Polhukam. SBY secara diam-diam, merancang misi politik dengan
memanfaatkan jabatannya sebagai menteri untuk menjadi capres yang akan
bertarung melawan Megawati yang sedang jabat sebagai presiden menggantikan Gus
Dur. Dengan sikap SBY seperti itu, membuat Megawati berang, karena ibarat pembantu
(SBY) menikam tuannya (Megawati) dari Belakang secara diam-diam.
Lain lagi dengan Mega (PDIP) dan Prabowo (Gerindra).
Memang tidak ada masalah antara Mega dan Prabowo selain perbedaan sikap politik
pada pilpres 2014 lalu. Yang bermasalah adalah Ahok dengan Gerindra. Ahok
adalah mantan kader partai Gerindra yang dianggap telah berkhianat. Karenanya, Gerindra
tidak mungkin berkoalisi dengan PDIP, karena itu sama saja dengan Gerindra
dukung Ahok.
Keadaan itu, berlangsung hingga kini di parlemen,
bagaimana ketiga gembong Parpol, Megawati, Prabowo dan SBY memiliki sikap
politik yang tidak sama. Sejak pilpres, tahun 2014 lalu, Gerindra (Prabowo) dan
kawan-kawan dengan Tagline “Koalisi Merah Putih (KMP)” memilih sebagai oposisi di
parlemen atau berada diluar pemerintahan untuk mengimbangi PDIP (Megawati) dan
rekan-rekan dari “Koalisi Indonesia Hebat (KIH)”, sementara Demokrat (SBY) memilih
jalur abu-abu atau netral. Artinya, SBY seperti sedang mengangkang, satu kaki
ke Megawati, satu kaki lagi ke Prabowo.
Dalam Pilkada DKI saat ini, kondisi itu terus
berlanjut. Mega, SBY dan Prabowo sedang bertarung demi gengsi besar akibat masa
lalu yang kurang bersahabat. SBY sampai-sampai mengusung Agus menandakan adanya
gengsi yang sangat besar bahwa SBY tidak mau direndahkan oleh Mega dan Prabowo.
Sekalipun SBY terpaksa mengorbakan anak sulungnya, yang mana banyak orang
menyebutnya sebagai kemauan politik yang terlalu egois. Bahkan kader demokrat
sendiri seperti Ruhut Sitompul dan Suyono Usman berseberangan dengan SBY. Hal
itu disebabkan oleh perbuatan SBY dan Partai Koalisinya yang mematikan karier
cemerlang Agus di militer. Agus yang memiliki segudang prestasi di militer dan
saat ini berpangkat mayor jenderal dan berpeluang manjadi jenderal bahkan
menjadi pimpinan tertinggi di TNI suatu saat nanti, terpaksa harus terhenti
karena harus menuruti nafsu sang ayah. Jadi, Pilkada DKI, bukan hanya soal kalah atau
menang, tetapi juga soal perseteruan gengsi antara tiga kekuatan besar, yakni SBY,
Prabowo dan Megawati.
Skenario Megawati dan Hancurnya Koalisi Kekeluargaan
Keputusan Megawati untuk mendukung Ahok-Djarot pada
saat genting dalam pendaftaran Calon Gubernur DKI ke KPU, setidaknya telah
berhasil membuat SBY dan Prabowo keok. Demokrat bersama partai koalisi Cikeas yang
di dalamnya ada PAN, PPP dan PKB, bergadang semalaman demi rapat guna merumuskan
Cagub dan Cawagub yang dianggap pantas melawan Ahok, sang Jagoan Megawati. Di sisi
lain, PKS merekatkan diri ke Gerindra dan relakan kadernya Mardani Ali Sera tidak
diakomodir sebagai Cawagub. Hingga H-2 pendaftaran, Mega tutup mulut, Ahok juga
diam. Pada siang, satu hari sebeblum mendaftar, Ahok menyatakan akan mendaftar
ke KPUD pada hari pertama tanpa menunggu SK dari PDIP. Sedangkan pada malam
harinya, PDIP umumkan untuk mendukung Ahok. Mustahil kalau Ahok belum tahu dia
akan diusung PDIP hingga siang tanggal 20. Dalam posisi ini, baik Mega maupun
Ahok, ibarat sedang bermain sinetron bertajuk “Politik Harapan Palsu”. Mengapa?
Karena pernyataan sikap diam Ahok dan Mega sampai H-1 pendaftaran, sedang memberikan
harapan palsu kepada partai lain, kalau-kalau PDIP mengusung kadernya sendiri,
maka partai lain (selain Demokrat) bisa merapat. Tetapi posisi SBY (Demokrat) sedang
“wait and see”. Bila Gerindra dan
PDIP berkoalisi, Demokrat pasti dukung Ahok bersama Golkar, Hanura, dan Nasdem.
Prisnip Demokrat (SBY), yang penting tidak satu kubu dengan Mega atau Prabowo.
Namun, ternyata tidak begitu. Makanya, SBY Kebingungan, Prabowo pontang-panting
memanggil Anies Baswedan, akhirnya koalisi kekeluargaan hancur berantakan. Sungguh,
kecerdasan politik Megawati membuat kedua “sang jenderal” mati kutu.