Ketika PT. Flobamor Ingin Berekspansi
Seiring dengan otonomi daerah, maka
semua daerah otonom diwajibkan untuk menemukan, menggali hingga memanfaatkan
semua potensi daerahnya untuk kemaslahatan rakyat di daerah. Oleh karena itu,
pemerintah daerah harus berpikir dan bekerja ekstra keras. Tujuannya adalah
agar pemerintah daerah memperoleh dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
di luar pajak dan retribusi, guna membiayai pembangunan. Salah satu cara yang
dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) adalah membentuk Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) atau Perusahaan Daerah (PD). BUMD adalah badan usaha milik daerah yang
didirikan dan dimiliki oleh pemerintah daerah yang biasanya diatur dalam Peraturan
Daerah (Perda). Pemerintah daerah menjadi pemegang saham mayoritas dalam BUMD. Ihwal
pendirian BUMD atau PD sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah
Otonom. Seperti telah disinggung di atas, tujuan didirikan PD antara lain
adalah untuk membantu pemerintah daerah meningkatkan PAD guna membiayai
pembangunan, memberikan kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi dan merintis
kegiatan usaha guna mendapatkan keuntungan demi pemenuhan hajat hidup orang
banyak, juga termasuk melindungi dan
menfasilitasi usaha kecil dan menengah di daerah.
PT. Flobamor dan
Kisah Pilu PD di NTT
Di NTT, hampir semua kabupaten/kota
mempunyai Perusahaan Daerah. Tetapi sayangnya, tidak sedikit dari banyak BUMD
atau PD itu yang dirundung kisah kelam dan pilu. Ada yang terus-menerus merugi
hingga gulung tikar. Kontribusi terhadap PAD tidak seimbang dengan modal dari
APBD. Misalnya, PD. Belu Bakti yang
sempat macet total, pada tahun 2007/2008 perusahaan mendapatkan suntikan modal dari
APBD 300 juta lebih, namun kontribusi terhadap PAD hanya 1,8 juta. PDAM TTS
dengan dana talangan dari APBD 1,8 miliar pada tahun 2006-2008, tetapi kontribusi
terhadap PAD hanya 75 juta saja. PD. Kantong Semen Kupang di kabupaten Kupang, penyertaan
modal dari APBD dari tahun 2003-2008 sebesar 16 miliar, tetapi hanya
mendapatkan keuntungan senilai 360 juta. Nasib sama juga dengan PD. Agrobisnis
Kabupaten Kupang, hanya berkontribusi 100 juta terhadap PAD dari 3 miliar APBD
selama 4 tahun. PD. Purin Lewo di Lembata, juga berkisah sama dengan PD lain
tersebut di atas. Miliaran APBD digelontarkan, tetapi perusahaan terus merugi
dan defisit. Di Ende, dahulu pernah ada PD. Ende Karya, tetapi hanya tinggal
nama karena bangkrut. PD. Komodo Jaya di Manggarai juga bernasib sama, miliaran
rupiah uang rakyat menjadi dana talangan, tetapi perusahaan tidak berkontribusi
banyak terhadap PAD. Kini perusahaan Komodo Jaya dipersoalkan oleh Dewan setempat.
Itulah kisah-kisah kegagalan beberapa BUMD di NTT.
PT. Flobamora milik rakyat dan
pemerintah propinsi NTT tidak beda dengan perusahaan tersebut di atas. Perusahaan
plat merah milik rakyat NTT itu terus dilanda berita miring. Para pengelolanya
dibui akibat ketahuan menjadikan PT. Flobamor sebagai “lahan korupsi”. Perusahaan yang banyak bergerak di bidang transportasi
laut antar pulau di NTT ini juga, dirundung masalah inefisiensi, kerugian dan
defisit, hingga alpa memenuhi kewajiban untuk membayar gaji karyawan dan
direksi.
Seharusnya Tidak
Merugi: Jangan Jadi Sarang Koruptor
Buruknya pengelolaan PT. Flobamor bukan
tanpa sebab. Rupanya, sejak tahun 2000-an, perusahaan ini memang sudah
dijadikan “tambang receh” untuk
memperkaya diri oleh oknum-oknum tertentu. Misalnya, kasus korupsi dana subsidi
Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Pulau Sabu tahun 2005-2009 yang merugikan
negara sekitar 7 miliar rupiah. Dimana kasus tersebut menyeret sedikitnya dua
nama mantan orang nomor satu diperusahaan tersebut. Salah satu mantan dirutnya
dibui 3 tahun 6 bulan karena terbukti “mencuri” uang rakyat NTT dari PT.
Flobamor. Pada tahun 2014 dan 2015 Polda NTT juga, mencium ada “bau busuk” dari
pengelolaan dana docking dua kapal
yang dikelola Perusahaan berplat merah tersebut. Akibatnya, rakyat NTT
dirugikan. Meskipun dirut dan direksi terus berganti, tetapi cerita lama
tentang kerugian dan defisit terus berulang. Ibaratnya, Perusahaan itu seperti
ular berganti kulit, tetapi isinya tetap sama.
Seharusnya, jikalau pengelolaannya
efisien, transparan dan bertanggungjawab, PT. Flobamor tidak akan merugi dan
membebani uang Negara. Sebab dahulu, dalam mengelola 3 kapal saja, PT. Flobamor
mendapatkan subsidi dari pemerintah pusat. Subsidi itu mencapai 24 miliar per
tahun. Artinya, sekalipun kapal tidak mendapatkan penumpang dan biaya
operasional mencapai 40-50 juta per sekali jalan, selalu ada biaya untuk
menutupi kekurangan itu. Belum lagi usaha cafetaria
dalam kapal yang harga barang-barangnya mencekik leher para penumpang. Sebab
itu, sewajarnya, tidak ada cerita kerugian dan defisit, hanya saja, di kantor
PT. Flobamor masih banyak “tikus”, makanya yang terjadi, hanya rugi dan
defisit.
Mendirikan Anak
Cabang, Asal Jangan Terus Bebani APBD
PT. Flobamor ingin melebarkan sayapnya dengan
mendirikan dua anak cabang yang bergerak di bidang kelistrikan dan peternakan. Demikian
tersurat dalam editorial Harian Umum Victory News. Sambil mengerutkan dahi, saya
sedikit terusik ketika mambaca editorial tersebut yang menyoalkan “Dewan
Mencurigai PT. Flobamora”. Terusik karena jajaran direksi PT. Flobamora ingin mendirikan
dua anak perusahaan sekaligus yang masing-masing bernama “PT. Flobamora Mandiri
Jaya dan PT. Flobamora Daya Perkasa”. Ternyata, kecurigaan para legislator itu
bukan tanpa dasar, setelah membaca beberapa ulasan tentang “kisah tragis” PT. Flobamora, yang terlintas
dalam pikiran saya adalah “urus diri
sendiri saja tidak bisa, kok malah mau mendirikan anak cabang lagi?”.
Akan tetapi, PT. Flobamor mendirikan
anak cabang sah-sah saja, tetapi jangan lagi terus membebani APDB atau APBN
kalau hanya kerja untuk cari rugi. Selama ini, miliaran rupiah uang rakyat NTT yang
gelontorkan untuk menalangi modal PT Flobamor, uang itu habis tanpa hasil. Oleh
sebab itu, PT. Flobamor harus berupaya untuk mencari modal dari pihak ketiga
mungkin dengan menggandeng pengusaha-pengusaha swasta di tingkat local maupun
nasional bahkan internasional. Selain itu, pemerintah propinsi harus profesional,
agar menempatkan orang-orang yang ahli di bidangnya dan mampu mengelola perusahaan ini, supaya kisah lama
tidak terulang lagi. Jauhi tendensi-tendensi politik yang merusak masa depan
perusahaan. Kalau pemerintah provinsi masih terjebak dalam “politik balas budi” dan menempatkan orang-orang yang kurang
berkompeten untuk mengelola perusahaan ini, maka ini hanya akan seperti “pungguk merindukan bulan”. Jangan
pernah bermimpi akan berhasil, apalagi mendirikan anak cabang, yang ada hanya
membebani APBD dan tempat “tikus” bersarang.
Oleh karena itu, sebelum mendirikan anak
cabang, PT Flobamor sewajibnya merevitalisasi induk perusahaan secara komprehensif
terlebih dahulu, agar jangan membuka anak cabang hanya untuk membuat sarang “tikus” baru. Jangan membuang garam dalam
laut, urus diri saja tidak becus, masak mau mendirikan anak cabang. Rakyat dan
dewan NTT harus mengawal rencana ini, apa lagi, kini penyertaan modal dari APBD
provinsi NTT sedang dihentikan. Sehingga, kalau ingin mendirikan anak
perusahaan, para pengurus PT. Flobamor harus benahi diri dan jujur dari mana modal
untuk membuka anak cabang itu.