Kemiskinan di NTT dalam Tangan “Predator” Berdasi
Elkana
Goro Leba
Mahasiswa
Magister Manajeman dan Kebijakan Publik UGM
Berbicara
tentang NTT, apa lagi di benak orang di luar NTT, ada kesan memilukan yang
terkadang memalukan juga, karena NTT identik dengan keterbelakangan, miskin, kering,
kelaparan, “kebodohan”, sarang koruptor, surganya para penjual manusia (human trafficking), orang-orangnya
kasar dan tidak ramah, dan segudang kesan miris lainnya. Orang yang hidup dan
merantau di di luar NTT akan sangat terasa kesan-kesan itu. Meskipun tidak
semua orang NTT seperti itu, tetapi itulah realitanya di luar sana. Kesan itu
bukanlah tanpa dasar, sebab NTT memang benar ada di urutan ke 3 paling miskin
setelah Papua dan Papua Barat. Sementara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Urutan 4 dari bawah,
setelah Papua, Papua Barat dan Sulawesi Barat dengan Indeks 62,28 dari yang
tertingggi DKI Jakarta pada angka 78,39 (dirilis BPS RI 2015). Sekedar untuk
diketahui, bagaimana orang dikatakan miskin? Bank Dunia (World
Bank) menetapkan dua kategori orang miskin. Yaitu orang miskin absolute (sepenuhnya) apabila pendapatan
“di bawah atau sama dengan satu dollar”
(Rp.±13.000) per hari, kemiskinan menengah apabila berpendapatan”di atas satu dollar sampai dua dollar”
(Rp.±26.000) per hari. Jadi, dengan indikator
itu, tinggal gaji atau pendapatan per bulan dibagi 30 hari hingga mendapatkan angkanya
berapa per hari. Kendati indicator itu masih sering diperdebatkan karena dinilai
tidak relevan dengan keadaan semua negara, namun tidak dapat dipungkiri bahwa indicator
itu masih menjadi standar guna mengukur tinggkat kemiskinan Negara-negara di dunia
hingga saat ini. Lebih dari 40 persen dari penduduk miskin dunia berada di
negara-negara berkembang di mana pertumbuhan melambat sepanjang 2015 (kompas
7/01/2016). Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang,
ada juga bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region di negara-negara
maju.
Di
sisi lain, menurunkan tingkat bahkan meniadakan kemiskinan merupakan tujuan
yang fundamental bagi pemerintahan di Negara Kesejahteraan (walfare state). Masalah Kemiskinan ini masih menjadi pekerjaan
yang seakan tak pernah selesai bagi Negara-negara berkembang seperti di benua Asia
dan Afrika. Oleh karena itulah, terkadang isu kemiskinan ini menjadi “jualan” paling laris “diobral” oleh para politikus ketika pemilihan
kepala Negara dan kepala daerah serta anggota parlemen demi mendulang dukungan.
Meskipun demikian, kesejahteraan masih seperti mimpi bagi masyarakat di
pinggiran yang jauh dari akses kekuasaan dan jabatan.
Uang Rakyat Dijarah!
Wajar
saja pemerintah daerah di NTT mengeluh tentang kekurangan dana pembangunan di
NTT. Tetapi keluhan itu menjadi tidak wajar ketika kita membaca indeks korupsi
di NTT. Berdasarkan publikasi Indonesian Corruption Watch (ICW) semester
pertama tahun 2015 lalu, NTT berada diurutan ke-2 sebagai propinsi terkorup di
Indonesia setelah Sumatra Utara, dengan kerugian sebesar Rp.4,1 miliar. Itu
baru yang ketahuan, belum yang tidak ketahuan. Meskipun data itu kurang update, setidaknya memberikan gambaran
kepada kita bahwa, ketika pemerintah mengeluh kekurangan dana untuk
pembangunan, di saat yang sama pula, dana yang katanya masih kurang itu, dilahap
oleh “predator berdasi” guna mengisi
lumbung-lumbung pribadi mereka. Semua
dapat membayangkan, dengan uang 4,1 miliar, sudah berapa gedung sekolah dan
berapa kilometer jalan yang dapat dibangun? Bagaimana kita mengeluh tentang
dana pembangunan, di sisi lain, ada dana namun dimaling? Korupsi sama bahanya
dengan norkoba, koruptor adalah bandit dan tikus-tikus berdasi yang berseliweran
di APBD di daerah ini. Mereka “predator
berdasi” yang sepantasnya disiksa dari dunia hingga akhirat, hanya saja manusia
takut melampaui otoritas Tuhan.
Perilaku
Pejabat dan Kematian Hati Nurani!
Alan
Keyes (1951), mantan Perwakilan AS di PBB, pernah berkata, “bahaya terbesar yang dihadapi dalam perang melawan kejahatan dan
ketidakadilan bukan kematian fisik atau kekuatan tertentu, melainkan kematian
hati nurani dan pupusnya semangat dari asupan hukum moral”. Apa yang
disampaikan Keyes di atas, tidak jauh beda dengan fakta kesejahteraan rakyat di NTT saat ini. Bagaimana tidak, di tengah
kemelaratan dan kelaparan melanda NTT, anak-anak busung lapar dan putus
sekolah, guru honor menjerit karena upah tak layak, penjualan manusia (human trafficking) bertaburan di
kampung-kampung, oknum pejabat malah berpikir bagaimana mereka dapat maling dan
menjarah uang APBD. Tamak akibat terjebak dalam gemerlapan kehidupan hedonis
dan individualism berlebihan, oknum-oknum pejabat itu memang sudah buta mata
hatinya. Pasti kita masih ingat dan akan terkenang abadi, selagi rakyat di TTS
dan TTU menjerit karena lapar sampai makan pakan ternak (kata media), warga kota
kupang mengeluh listrik yang terus padam bahkan tidak ada listrik di pelosok, anak-anak
perut buncit akibat gizi buruk, pelayanan kesehatan dan fasilitas pendidikan
buruk, jalan dan infrastruktur rusak dan berlubang dimana-mana, masih saja saja
wakil rakyat minta naik gaji dan gaji ke-13, tidak puas dengan apa yang ada. Pihak
legislatif dan eksekutif ribut, saling tusuk-menusuk soal “APBD siluman”, para istri “melancong” ke luar negeri atas nama
“promosi tenunan NTT”, ada lagi kepala daerah yang “belajar” tentang air minum dan
promosi wisata hingga luar negeri, entah apa tindak lanjutnya hingga saat ini,
kunjungan kerja itu hanya seperti cerita para pelancong yang telah menemukan
kepuasan pribadi. Ada lagi kelakuan oknum jaksa yang menjual tanah Negara tanpa
prosedur yang benar, perilaku korup oknum walikota dan para bupati yang turun
tahta masuk bui akibat ketahuan maling APBD, oknum DPR RI yang “wakili NTT” menjadi “calo” tambang di senayan dan pemasok
miras serta penari erotis “gigolo” ke
kota Kupang. Itu semua mereka lakukan untuk kesenangan pribadi di atas kemiskinan
yang melilit rakyat di NTT. Bagaimana Indeks Pembangunan (IPM) di NTT mau tinggi
kalau oknum walikota, kepala dinas dan kepala sekolah bersengkokol secara
berjemaah ibarat segerombolan “predator
berdasi” untuk menjarah dana pengadaan buku, gubernurnya lebih memilih
bangun jembatan dan kantor baru dari pada bangun gedung dan fasilitas sekolah untuk anak-anak,
infrastuktur jalan dan pusat kesehatan di desa-desa, guru honor dipecat oleh kepala
sekolah hanya karena bertanya tentang gaji. Menyimak berbagai pemberitaan media
tentang penyimpangan di NTT, tidak ada orang lain yang paling bertanggungjawab
selain pemerintah dan masyarakatnya sendiri. Namun, sepanjang para oknum pejabat
di NTT masih berburu harta yang fana dan tenggelam dalam ketamakan dan ketidakwarasan
tanpa batas, maka kesejahteraan rakyat NTT, di pelosok-pelosok hanya akan tetap
menjadi mimpi belaka. Setiap tahun, uang triliunan rupiah keluar untuk
pembangunan (katanya) tetapi NTT tidak juga beranjak dari posisi paling buntut
sebagai propinsi paling miskin dan korup. NTT malang karena diurus oleh oknum
pejabat bandit.