Jabatan Kepala Daerah: Antara Obsesi, Realita dan Posesif
Saat ini, ada 101 daerah yang sedang menyongsong sekaligus mempersiapkan
diri untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) pada 15
Februari tahun 2017 mendatang. 101 daerah tersebut terdiri dari 7 propinsi, 76
kabupaten dan 18 kota. Di NTT sendiri ada 3 daerah, yaitu kabupaten Flores
Timur, kabupaten Lembata dan kota Kupang. Menjelang Pilkada, sebagaimana umumnya,
para bakal calon sudah mulai mengumbar janji-janji manis, bahkan janji-janji
yang hanya memperenak mulut dan mustahil ditepati. Sudah menjadi kebiasaan
banyak kepala daerah yang setelah naik tahta, lupa akan janji-janji mereka.
Karena itu, tidak salah ketika ada orang berkelakar, “Pil KB, kalau lupa, jadi. Tetapi, Pilkada, kalau jadi, lupa”.
Pesta demokrasi tingkat daerah serentak ini selalu punya cerita heboh dan
juga unik di setiap tahapan. Segala macam cara digunakan oleh para bakal calon
dan calon untuk membunuh para lawan politiknya. Dari segi jalan menuju kursi Kepala
daerah, ada yang memilih jalur partai politik, ada pula yang menempuh jalur perseorangan
atau independen. Yang jalur perseorangan kini semakin sulit, karena persyaratan-persyaratannya
cukup sulit dipenuhi. Berbeda dengan mereka yang jalur partai, hanya modal “cari
muka” dengan ketua umum parpol, kumpul 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen
dari akumulasi suara sah, bisa jadi calon kepala daerah. Banyak pihak yang beropini,
kesulitan yang dihadapi calon perseorangan untuk mendapat tiket melalui pengumpulan
dukungan berupa KTP dari masyarakat, memang sengaja diciptakan oleh sekelompok
orang, terlebih mereka yang berwenang membuat peraturan, yang notabene adalah
orang-orang partai politik. Tidak lain, tidak bukan, upaya (yang dapat
dikategorikan) “penjegalan” ini lahir ketika Ahok ingin maju melalui jalur
independen.
Kendatipun demikian, jabatan kepala daerah selalu menjadi incaran banyak
orang. Ibarat gadis desa yang cantik dan molek dan selalu diidamkan oleh para pemuda
di desa. Sehingga banyak pemuda yang terobsesi menjadi satu ranjang dengan sang
gadis. Jabatan kepala daerah pun demikian. Hal ini terlihat dari fenomena dan gelagat
beberapa oknum politikus, baik di tingkat lokal, maupun nasional. Banyak oknum anggota
dewan, pengusaha, mantan menteri, pengacara, birokrat, bahkan mantan penjahat
(napi) yang rela habis-habisan, demi merenggut kursi kepala daerah. Entah apa
yang diincar oleh orang-orang itu, mungkin pengabdian kepada rakyat, kekuasaan dan
popularits, ataukah harta dan kekayaan. Namun, kecendrungan selama ini, pengabdian
kepada rakyat hanyalah ilusi untuk mendapat kekuasaan dan mengumpulkan harta.
Oleh karena itulah, jabatan kepala daerah menjadi sulit dibedakan, antara
obsesi atau realita. Obsesi menjadi kaya, popular dan berkuasa dengan cara-cara
yang melanggar ketaqwaan terhadap Tuhan. Karena terobsesi mejadi kepala daerah,
rela “berdarah-darah”, harta, kawan bahkan keluarga diperalat untuk merebut kursi
nomor wahid di daerah yang bersangkutan. Tetapi ini pun untung-untungan, kalau
menang, obsesi menjadi kenyataan, tetapi kalau meleset, obsesi tetaplah
khayalan kosong. Biasanya, bila obsesi gagal jadi realita, mereka stress dan rumah
sakit jiwa adalah tempat paling nyaman untuk melepas lelah seusai Pilkada.
Tetapi lain lagi cerita mereka yang mampu mengubah obsesi menjadi realita.
Mereka-mereka ini menang, kemudian menjadi posesif terhadap jabatan kepala
daerah. Realitanya, sudah duduk di kursi empuk, punya jabatan dan kewenangan
untuk mengatur segala sesuatu, namun, hal inilah yang membuat banyak oknum
kepala daerah menjadi posesif atau merasa bahwa jabatan kepala daerah adalah
miliknya pribadi, kelompoknya, partainya, dan antek-anteknya. Sehingga dengan
begitu, mereka mengatur segalanya atas nama rakyat - termasuk APBD dan sumber
daya alam, tetapi hanya untuk mencapai kepuasan pribadi. Akhirnya, mereka menerima
suap, memanipulasi ijin usaha, kongkalikong dengan oknum dewan untuk mengotak-atik
APBD, dana bansos digunakan untuk biaya politik, dan sebagainya. Segala macam
cara ditempuh demi memenuhi hawa nafsu pribadi dan kelompok.
Tidak ada yang dapat membatah hal itu, sebab realita berkumandang, bahwa banyak
kepala daerah yang turun tahta, masuk bui. Baju kebesaran kepala daerah,
diganti dengan rompi oranye “Tahanan
KPK”. Inilah yang disebut dengan “Ujung-Ujungnya Bui”. Obsesi menjadi realita,
namun akibat terlalu posesif, ujung-ujungnya bui. Catatan Kemendagri tahun
lalu, sejak pilkada langsung diterapkan, ada 318 kepala daerah yang disangka
hingga didakwa karena menilep uang Negara.
Perilaku rakus dan korup oknum kepala daerah itu juga berdampak negative
terhadap tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu kada. Dimana, salah satu instrument keberhasilan pemilihan
langsung adalah tingginya partisipasi pemilih dalam pilkada. Menilik pilkada yang telah lalu, rata-rata nasional hanya
70 persen partisipasi publik di Pilkada tahun 2015. Rendahnya partisipasi
publik dalam pilkada (juga pileg), menandakan bahwa banyak orang yang kecewa
dengan para kepala daerah terpilih. Waktu kampanye, menjanjikan vitamin, tetapi
setelah terpilih, rakyat diberikan pil pahit. Wujud kekecewaan ini tampak juga dalam
banyaknya masyarakat yang apatis terhadap proses pilkada dan tingginya angka
golput.
Oleh sebab itu, sebelum terlambat, seyogianya kita menyadari, mana calon
yang hanya terobsesi menjadi kepala daerah dan hanya untuk melanggengkan misi
pribadi dan kelompok, dan mana calon yang benar-benar tulus untuk melayani rakyat
dan membangun daerahnya. Tanda-tanda calon yang terlalu obsesi menjadi kepala
daerah adalah mereka yang calonkan diri hanya modal uang dan popularitas, berpolitik
uang, melakukan kampanye negatif (memfitnah, menjelekkan calon lain), mencari
kesalahan lawan politiknya kemudian digunakan sebagai senjata untuk menyerang, dan
lain sebagainya, termasuk mengangkangi moral dan hati nurani rakyat. Karena cost politik yang mahal, kepala daerah
seperti itu akan meraup APBD melalui mark
up dana proyek, menerima suap untuk mengembalikan “modal” politiknya. Jadi,
waspadalah!!!