Ironi Kehidupan di TTS: Pejabat Mabuk Kemewahan
Oleh: Elkana Goro Leba
Pemerhati Masalah Sosial di NTT
Ketika
membaca editorial Victory News tentang koleksi 224 Mobil Dinas (MobDin) dengan
nilai 21 miliar di Pemda TTS, saya sangat tercengang. Pada dasarnya, tidak masalah
pejabat membeli dan memakai mobil dinas atau fasilitas Negara lainnya, sebab
itu juga untuk mendukung operasional mereka demi pelayanan publik. Hanya saja, 224
buah mobil dengan nilai 21 miliar rupiah itu yang sungguh-sungguh bertentangan
dengan akal sehat dan hati nurani. Bagaimana tidak, saat ini masyarakat TTS masih
berkutat dalam kemiskinan, keterbelakangan, gizi buruk, penjualan manusia, krisis
listrik dan air, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang kurang baik, tetapi
para pejabatnya (pelayan) bermewah-mewah dengan MobDin dengan nilai yang
sangat-sangat fantastik. Sungguh sebuah ironi. Rupanya gerakkan revolusi mental
yang didengungkan presiden Joko Widodo sejak awal pemerintahannya, gagal total diterapkan
di TTS, yang mana salah satu pokok pikiran yang disampaikan dalam gerakkan revolusi
mental adalah pemerintah harus hemat dan memprioritaskan belanja-belanja
langsung menyentuh kebutuhan warganya, seperti infrastruktur jalan, pendidikan,
kesehatan, kebutuhan air dan energy. Bukankah lebih mulia bila uang rakyat 21
miliar itu digunakan untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan, menggali sumur
untuk rakyat, agar mereka tidak lagi minum air kotor di semak-semak, membangun
fasilitas pendidikan dan kesehatan agar anak-anak yang juga generasi-generasi
masa depan TTS tidak lagi hidup dalam kondisi gizi buruk, keterbelakangan dan
keterisolasian ilmu pengetahuan dan teknologi, membekali para wanita di TTS
dengan berbagai keterampilan supaya mereka tidak “dijual” menjadi babu ke
negeri tetangga dan pulang dengan dibungkus kain kafan dalam peti jenazah.
Pejabat Bermental Raja dan Ironi
Kehidupan di TTS
Slogan
Revolusi mental sedang menjadi gerakkan dan agenda refomasi birokrasi saat ini,
namun masih banyak PNS saat ini yang bermental raja. Penelitian Clifford Geertz pada tahun 1960-an, mengemukakan,
bahwa masyarakat Jawa memiliki tiga kelas sosial, yaitu, priayi/priyayi, santri dan abangan. Golongan Priyayi adalah keturunan bangsawan atau mereka yang berdarah biru. Golongan
santri mengacu pada mereka yang
memiliki pengetahuan dan mengamalkan agama. Abangan adalah mereka yang
bukan priyayi dan juga bukan santri. Dengan demikian, maka golongan Priyayi
mempunyai kelas tertinggi. Priyayi terdiri dari dua kata dalam Bahasa Jawa, yakni ”pri (para)” dan “yayi (adik)” artinya "para adik". Yang dimaksud
adalah “para adik raja. Hal ini
didukung oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa priyayi merupakan orang yang
termasuk dalam lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat.
Secara
sadar atau tidak, kultur priyayi itulah yang masih mewabahi pejabat publik di
Indonesia hingga saat ini. PNS menganggap diri raja (golongan priyayi) ini telah berlangsung
secara masif dari generasi ke generasi dalam sistem birokrasi kita yang
digerakkan oleh para birokrat atau PNS. Ketika PNS/Pejabat negara menganggap
dirinya “raja”, yang terjadi adalah “sang raja” hanya mau dilayani, termasuk
bermewah-mewah menggunakan fasilitas “kerajaan” (Negara) sekalipun rakyatnya hidup
dalam kemiskinan. Tidak peduli, rakyat sedang merana dalam kemelut hidup, yang utama
“sang raja” bergaya dalam mobil dinas. Rakyat miskin, lapar, terbelakang,
kurang terdidik, anak-anak gizi buruk, krisis air dan listrik, gedung sekolah
reot dan roboh, wanita dan anak-anak gadis dijual orang menjadi TKI di negeri
orang, bukan masalah, yang penting para pebajatnya damai sejahtera di atas
fasilitas Negara. Sungguh-sungguh rakyat TTS sia-sia membayar pajak hanya untuk
membeli mobil untuk para pelayan yang bermental raja.
Sekali
lagi, pejabat public menggunakan fasilitas Negara, itu tidak masalah, hanya
jangan terlalu kontras dengan keadaan rakyatnya. Para pejabat “mabuk” dalam kemewahan,
sedang rakyatnya “merintih” dalam kemiskinan. Anak-anak gizi buruk, pejabatnya
sibuk urus pemenuhan gizi bagi diri-sendiri. Para pejabat duduk santai dalam
mobil dinas sambil menikmati sejuknya Air Conditioner (AC), sedang rakyatnya berjalan
kaki berkilo-kilo meter hanya untuk mencari sumber air minum. Para pejabatnya asik
menikmati hidup dari fasilitas Negara, sementara warganya dijual orang ke
Malaysia, pulang pun sudah terbujur kaku dalam peti mayat. Warganya tinggal di
gubuk-gubuk reot berlantaikan tanah, beratap jerami, dan berdinding bebak,
sedang para pejabatnya menikmati hidup tinggal di rumah dinas mewah, dan mengecap
lentingnya SpringBed bersama istri/suami.
Anak-anak belajar di sekolah gubuk using beratap alang-alang, sementara para
pejabatnya foya-foya membeli mobil dinas.dan pamer kemewahan. Sungguh sebuah ironi
bukan? Apakah hati masih ada dalam dada?
Reformasi Birokrasi dan Revolusi
Mental: Pejabat Publik adalah Pelayan
Kurang lebih 18
belas tahun sudah reformasi birokrasi berjalan, tetapi tanda-tanda signifikan
munculnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance: salah satu
konsep dalam reformasi birokrasi) belum juga terwujud. Cita-cita reformasi
birokrasi menurut good governance
antara lain adalah terciptanya pemerintahan (birokrat) yang responsif, berdaya
tanggap, wawasan
ke depan, profesional, penegakkan hokum
yang adil, transparan, akuntabilitas, efisien dan efektif dalam menggunakan sumber daya. Dengan membaca realita kekinian, pertanyaan besarnya
adalah, apakah para birokrat, terutama birokrat di NTT sudah profesional dalam
menjalankan tugas, mempunyai wawasan yang luas, pengalaman dan cara kerja yang
ter-update dan berorientasi ke depan?
Sudahkah birokrat kita mempunyai daya tanggap dan responsif terhadap kebutuhan
masyarakat yang semakin hari semakin kompleks, transparan dan bertanggungjawab
dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kedisiplinan dalam melayani pelanggan
(masyarakat), hukum ditegakkan tanpa pandang bulu? Kita semua tahu jawabannya.
Kini sedang berharap cemas akan terealisasi lewat slogan revolusi mental. Bila
itu semua sudah terwujud, maka pemda TTS tidak akan foya-foya uang rakyat hanya
untuk beli Mobdin, tetapi lebih prioritaskan pembangunan yang bersentuhan
langsung dengan kebutuhan masyarakat TTS.
Gerakkan
revolusi mental adalah bagian dari upaya mereformasi birokrasi. Refomasi dari
menyederhanakan sistem hingga mental para birokrat. Jangan jadi “pebajat atau PNS yang bermental raja”. Pejabat
yang hanya mau dilayani, dihormati, dimanja dengan fasilitas Negara, sok
berkuasa dan berlagak hebat. Dengan demikian, pajabat atau PNS menempatkan masyarakat
yang dilayani sebagai pelanggan (customer).
Pelayanan seperti ini, kurang lebih kita temukan pada pelayanan di bank-bank.
Prinsip dasar dalam standar operasional bank adalah “semua pelanggan adalah raja” bukan sebaliknya. Karena itu, sekalipun
pelayanan di bank mungkin prosesnya lama dan panjang, tidak membosankan dan
menyebalkan sebab yang datang, pasti disapa, ditanya apa yang mereka bisa
bantu, dilayani dengan ramah dan senyum. Beda jauh terpanggang api dengan
pelayanan di birokrasi pemerintah. Warga datang untuk urus surat-surat,
petugasnya lagi asik main HP, baca koran, isap rokok. Satu orang yang tanda
tangan, orang lain yang pegang cap. Bayar administrasi tidak pakai tanda terima
atau kwitansi, dan segala macam tetek bengeknya.