Gereja dan Iptek
Sebelum
jauh melangkah, penulis tegaskan lagi, ini hanyalah opini yang bersifat
subjektiv. Sebab itu, tidak menutup ruang kepada siapa pun yang berbeda
pendapat. Guna menghindari adanya kesalahpahaman, mungkin ada pihak yang merasa
disinggung dengan artikel ini, penulis berusaha untuk lebih elegan dalam
menyampaikannya. Namun, bila masih terdapat kekurangan dalam kata dan kalimat,
mari kembali pada pepatah, “tidak ada gading
yang tak retak”.
Sejatinya,
gereja “dipanggil” guna melanjutkan
lima (panca) misi pelayanan Yesus di bumi, yakni Diakonia (pelayanan), Koinonia
(persekutuan), Merturia (kesaksian), Liturgia (ibadah), Oikononia
(penatalayanan). Konsep Gereja dipahami dalam dua “jenis”. Pertama, gereja diartikan sebagai institusi atau lembaga. Kedua,
gereja sebagai pribadi umat itu sendiri. Gereja sebagai pribadi umat, disebut
dengan “gereja-gereja yang hidup”. Artikel
ini hanya dibatasi pada konsep gereja yang pertama, yakni gereja sebagai institusi
yang meliputi gedung, struktur organisasi, budaya pelayanan, administrasi dan aturan-aturan
yang mengatur perilaku para actor dan umatnya, serta visi, misi yang diterjemahkan
dalam program kerja.
Pelayanan Berbasis Pada Iptek
Pesatnya
perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), telah merasuki segala
sendi kehidupan. Tidak ada yang dapat mengelak, selain hanya bisa menerima dan menyaring.
Hanya ada tiga kemungkinan dengan konsekuensi yang berbeda, yaitu menolak, diam
dan masa bodoh atau menerima Iptek. Kita menolak Iptek, maka nasib kita akan
seperti Perusahaan Taxi Blue Bird, maksud hati “menantang” perubahan, tetapi
justru menciptakan Bumerang bagi diri sendiri. Kita diam dan masa bodoh juga bukan
pilihan yang bijak, karena kita pasti dianggap kolot. Menerima perubahan juga
harus waspada, jangan sampai hanyut dalam arus perkembangan Iptek yang dapat “membunuh” kita secara otomatis dan
perlahan.
Beda
zaman, beda cara dalam melayani. Jika dahulu, Yesus dan murid-muridNya berjalan
kaki, menyeberang sungai dan laut guna mengabarkan injil, namun sekarang
penginjilan dapat dilakukan hanya lewat dunia maya. Banyak aliran “kesetanan” saat ini justru lebih inovasi
dari pada aliran “keTuhanan”. Sepengetahuan
saya, belum ada aliran dalam hal ini ajaran gereja Tuhan yang mampu “mencuci
otak” (brain wash) hanya lewat dunia
maya, namun aliran sesat bisa melakukannya. Orang bisa berbondong-bondong
berangkat ke Suriah, ikut aliran sesat hanya karena membaca website atau blog dan menonton vidio propaganda, tetapi jarang orang berbondong
ke gereja hanya karena penginjilan lewat dunia maya (boro-boro mau penginjilan
lewat dunia maya, website saja, tidak
punya). Itu pertanda, kita masih kalah dalam berdakwah daripada aliran sesat.
Iptek dan Bangku Kosong di Hari
Minggu
Fenomena
banyaknya bangku yang kosong ketika ibadah minggu, semua gereja sedang bergumul
untuk ini. Bertautan dengan itu, beberapa pertanyaan mendasar adalah: “Apa yang dilakukan gereja dengan menggunakan
ilmu pengetahuan dan teknologi ketika kebaktian minggu banyak bangku yang
kosong? Mengapa umat malas masuk gereja, atau mengapa setiap kali ibadah,
jumlah laki-laki lebih sedikit dari perempuan, padahal penduduk Kota Kupang,
jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan (Baca Timeks, Edisi 3 Mei 2016,
tentang ILPPD Kota Kupang), sudahkah kita menggunakan pendekatan-pendekatan
ilmiah berbasis Iptek, melalui kajian-kajian ilmiah dan penelitian untuk mencari
solusi? Sejauh mana kita ikuti dan kembangkan Iptek dalam misi pelayanan? Sudahkah
gereja beranjak dari pelayanan yang bersifat konvensional? Meskipun usia gereja
sudah puluhan tahun, berapa banyak gereja di kota yang mempunyai website resmi (bukan hanya blogspot dan wordpress, dll) sebagai basis informasi
tentang gereja? Hanya mereka yang peka dan ingin berdamai dengan perubahan, dan
mau keluar dari zona pelayanan konvensional yang bisa menjawab pertanyaan itu.
Pada
era ilmu pengetahuan ini, guna menjawab persoalan itu, tidak cukup dengan himbauan
dari mimbar, mengira-ngira, dan hanya berdasarkan intepretasi pribadi. Gereja
dituntut harus mampu memanfaatkan Iptek untuk mencari solusi yang ilmiah,
sebagaimana dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta untuk meramal, membaca,
bahkan mengetahui masa depan pasar. Gereja pun seharusnya tidak boleh kalah
bersaing oleh perusahaan profit untuk berinovasi dalam pelayanan.
Pemuda,
Gereja dan Keterbukaan
Gereja
adalah milik umat. Mati dan hidupnya gereja, ada dalam tangan umat dan semua
para pelayannya. Sebab itu, adalah sebuah keniscayaan bagi semua umat dalam
wilayah pelayanan untuk mengetahui apa yang terjadi dalam gereja. Program kerja
dan segala urusan internal gereja,
bukan “rahasia” yang “disakralkan” oleh badan pengurusnya
sendiri. Pemahaman yang mengklaim, kalau
bukan badan pengurus, umat tidak perlu tahu urusan gereja, perlu dikoreksi
kembali. Karena gereja adalah milik umat, maka semua urusan gereja, wajib
dibuka kepada umat, sekalipun mereka bukan badan pengurus. Pada posisi ini,
pemuda berperan sentral sebagai tulang punggung gereja. Jadi, pemuda wajib tahu
dan paham tentang apa yang dilakukan gereja kendatipun bukan badan pengurus.
Gereja pula wajib dan harus transparan dalam segala hal yang berkaitan dengan
program kerja, mulai dari formulasi program, implementasi hingga evaluasi, juga
keuangan gereja. Bagaimana mungkin pemuda sebagai generasi masa depan dan
tulang punggung gereja bisa melanjutkan pelayanan, jika mereka tidak tahu dan
tidak paham urusan internal gereja. Bila para pemudanya apatis, dan gereja pun
tidak terbuka dan proaktif, maka pemuda ibarat “generasi yang gagal” dan melangkah pada ruang gelap pelayanan di
masa depan. Jadi, bukan hanya badan pengurus yang wajib tahu dan paham, bahkan
melaksanakan program kerja gereja, tetapi juga semua umatnya.
Selama
ini, ada keyakinan umat, kalau “mengkritik”
pelayan itu tidak etis, karena mereka sudah ditabis di depan Tuhan menjadi
pelayanNya. Karena itu, banyak orang yang enggan mengkritik (sekali lagi, kritik
yang membangun) para pelayan Tuhan. Pendapat yang demikian, sah-sah saja,
namun, jangan sampai karena kepercayaan itu, daya kritis kita menjadi lemah dan
tumpul. Sebab pelayan juga adalah manusia yang punya kelemahan. Itulah sebabnya, mereka butuh masukkan dari
umat untuk tujuan pelayanan yang lebih baik. Terkadang, kita terlalu asik
bermain pada area hati dan perasaan, akhirnya logika pun menjadi tumpul. Pada akhirnya,
karena tidak bisa sampaikan aspirasi secara langsung kepada pelayan, banyak
orang yang hanya bersungut-sungut dengan diri-sendiri dan berkeluh-kesah di
sudut kamar. Padahal para rasul berpesan, kita harus tulus (Tulus: hati/perasaan) dan juga cerdas (Cerdas: Logika). Tidak ada salahnya kita berikan masukkan yang
membangun kepada para pelayan kita, tentu dengan cara dan metode yang
berbeda-beda tetapi elegan. Jangan sampai, karena minim masukkan, pelayanan
tanpa kritik dan saran, membuat kita sulit untuk mengoreksi diri, akibatnya
pelayanan tidak bisa mengakomodir kebutuhan umat yang semakin hari, semakin
kompleks.
Hal yang paling sederhana adalah kotak saran di gereja. Kadang kita lebih suka bicara secara langsung, ketimbang lewat kotak saran. Benar juga, karena alangkah lebih baik disampaikan secara lisan, namun jangan lupa juga, karena mobilitas umat dan pelayan yang tinggi, mereka tidak punya waktu yang sama untuk “ngobrol” secara langsung. Selain itu, ada hal-hal yang umat tidak bisa ungkapkan secara lisan dan ingin komunikasikannya lewat tulisan. Dan itulah gunanya kotak saran di gedung gereja. Karenanya, gereja harus benar-benar memahami keadaan yang demikian dan para pelayan serta pengurusnya membuka hati terhadap saran dan masukkan dari jemaat.
Hal yang paling sederhana adalah kotak saran di gereja. Kadang kita lebih suka bicara secara langsung, ketimbang lewat kotak saran. Benar juga, karena alangkah lebih baik disampaikan secara lisan, namun jangan lupa juga, karena mobilitas umat dan pelayan yang tinggi, mereka tidak punya waktu yang sama untuk “ngobrol” secara langsung. Selain itu, ada hal-hal yang umat tidak bisa ungkapkan secara lisan dan ingin komunikasikannya lewat tulisan. Dan itulah gunanya kotak saran di gedung gereja. Karenanya, gereja harus benar-benar memahami keadaan yang demikian dan para pelayan serta pengurusnya membuka hati terhadap saran dan masukkan dari jemaat.