Fakta Di Balik Euforia di Hardiknas
Sudah
tradisi sejak turun-temurun, pemerintah pusat hingga daerah selalu hanyut dalam
hal-hal yang seremonial yang acapkali tanpa esensi. Tidak tanggung-tanggung, mereka
berani ludeskan uang Negara jutaan bahkan miliar rupiah hanya guna euphoria dan
foya-foya untuk kesenangan sesaat. Mulai dari sambutan terhadap pejabat dalam kunjungan
kerja ke daerah-daerah dengan upacara-upacara yang glamour, bahkan masyarakat kecil dan “kotor” di larang mendekat
ketika ada kunjungan pejabat ke daerah. Keberhasilan yang disulap dalam bentuk
Pameran UMKM sebagai sebuah keberhasilan dalam pembangunan ekonomi. Contohnya,
kunjungan Menteri pergadangan dan perindustrian di kota tertentu, halaman
walikota di sulap jadi pameran usaha kecil dan menengah. Pameran yang hanya “Asal Bapa Senang (ABS)”, kalau pemerintah
berhasil dalam membangun dunia usaha. Padahal, di luar sana, para pelaku UMKM, ada
hidup segan, mati tak mau. Hal itulah yang memanjakan pemerintah sehingga tidak
melihat sisi lain dari apa yang terjadi dalam masyarakat. Seremonial yang tanpa
manfaat lainnya seperti menyewa hotel dan restoran mewah hanya untuk rapat
kerja. Yang lucu dan memalukan lagi, perilaku para anggota dewan pakai masker penangkal
asap dalam ruang rapat di Senayan padahal kebakaran hutannya di Riau (bersyukur,
mereka bukan pakai masker di rumah sakit jiwa), pemerintah sibuk sosialisasi
program kerja sana-sini di gedung-gedung mewah, padahal minim manfaat. Saya
ambil contoh, misalnya, sosialisasi program pemerintah untuk para petani dan
nelayan. Biasanya pemerintah sosialisasi program di hotel dan restoran mewah. Pertanyaannya,
apa gunanya sosialisasi program kerja untuk petani dan nelayan dilaksanakan di hotel
mewah? Bukankah para nelayan dan petani ada di pantai/laut dan sawah/kebun? Jika
demikian, apa esensi dan sosialisasi program itu? Hanya satu jawaban, yaitu
hanya untuk habiskan anggaran. Para pejabat berangkat sini-berangkat sana,
lebih suka memberangkatkan 20 orang untuk mengikuti pelatihan IT di luar
daerah, daripada mendatangkan 2-3 orang tenaga ahli ke daerah. Sisi lain lagi, mungkin
sedikit melebar ke perayaan tahun baru 2016 yang telah lalu di Rumah Jabatan
Guberbur dan tempat lainnya. Kita habiskan uang jutaan hingga miliar rupiah hanya
untuk bakar petasan dan kembang api. Bayangkan saja, kalau uang sebanyak itu diberikan
sebagai kado tahun baru kepada mereka yang belum punya rumah, atau bangun
gedung sekolah bagi anak-anak di pelosok. Mungkin itu bukan sepenuhnya uang
Negara, tetapi apa gunanya kita mencari donor dari swasta hanya untuk “dibakar” untuk kesenangan sesaat?
Bukankah itu lebih bernilai bila membantu mereka yang tak berpunya? Sungguh ini
sebuah ironi yang mencabik hati dan jantung! Kurang lebih, itulah yang
mendorong Presiden Joko Widodo untuk selalu pegang prinsip hemat dalam
pemerintahannya. Dengan melarang pejabat menyelenggarakan rapat di hotel dan
restoran mewah.
Artikel Terkait:
Hardiknas dan Euforianya
Selain
itu, setiap ada perayaan hari-hari besar kenegaraan, seperti HUT NKRI, HUT
Daerah, atau hari-hari raya lainnya, pemerintah
seringkali pamer keberhasilan, menampilkan angka-angka statistik yang hanya
mereka yang bisa membaca dan menafsirnya, upacara dan pertunjukkan yang
menghiburkan sang pejabat. Salah satunya baru saja berlangsung 2 Mei yang lalu,
yakni Hardiknas. Pemerintah rayakan Hardiknas dengan upacara, orasi ilmiah,
pidato dan himbauan, seni dan pertunjukkan. Diantaranya “Pertunjukkan Drum Band” oleh para murid yang diundang secara khusus.
Pada hakekatnya, tidak ada yang salah dalam perayaan seperti itu, hanya saja, seremonial itu “jangan sampai” menutup mata kita dan tidak dapat melihat fakta lain
yang terbalik 180 derajad dari euphoria drum band. Kita hanyut dan “tertidur” dalam upacara-upacara yang
terkesan mewah, sehingga pada momen Hardiknas, kita lupa akan para guru seperti
ibu Adi Meliyati Tameno, seorang guru honorer di SDN Oefafi, Kabupaten Kupang
yang dipecat hanya karena bertanya tetang gaji pada kepala sekolah. Euphoria di
Hardiknas ini jangan sampai meluputkan pandangan kita dari guru-guru di TTS dan
daerah lainnya seperti Adrianus Maneno, Petronela Kenjam dan Meliana Eba, dan lainnya yang mengabdi hanya dengan gaji 100ribu per bulan (Kompas, 5 Mei 2016), sementara wakil
rakyat gaji lima puluhan juta per bulan tetapi hanya sibuk dengan partai
politik dan proyek miliaran rupiah. Jangan sampai drum band meninabobokan kita,
sehingga tidak lagi mendengar jeritan para guru honor di pelosok-pelosok desa
yang terima gaji 6 bulan sekali. Semoga Ceremonial dengan drum band tidak mengalihkan
perhatian kita dari anak-anak di SDN Taebenu dan tempat lain seperti di Sumba,
Rote, Soe, Kefa, Alor, dan Sabu serta Flores yang belajar di gubuk usang
berlantaikan “lumpur”, beratapkan alang-alang dan berdinding bebak tanpa daun
pintu dan jendela. Semoga Gubernur, Walikota/Bupati tidak hanya habis dalam orasi,
pidato dan himbauan di mimbar upacara Hardiknas tanpa pelaksanaan, sehingga
tidak melupakan akan anak-anak penerus bangsa ini yang pergi ke sekolah
berjalan kaki puluhan kilometer, naik gunung, turun lembah, menyeberang sungai
dan lewati hutan, tanpa seragam dan alas kaki, anak-anak putus sekolah karena
orangtua terdesak kesulitan ekonomi, perpustakaan sekolah yang berdebu tanpa lemari
dan buku karena uang pengadaan buku “dirampok”
oleh oknum mantan walikota dan oknum kepala dinas.
Harapan dan Doa Kami Anak Indonesia
Akhirnya,
di Hari Pendidikan ini, banyak harapan yang tak sempat dikirimkan oleh kami
anak-anak desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Kami tidak tahu apa yang sedang
para wakil dan para pempimpin kami lakukan untuk masa depan kami dan Negara ini,
karena kami tidak punya tivi dan radio untuk menonton dan mendengar berita,
kami tidak paham apa itu internet, kata orang, kampung kami kering dan gelap,
mungkin kami masih dijajah oleh para koruptor yang menjadi tikus-tikus kantor
dan perampok-perampok berdasi, bahkan oknum-oknum Pejabat pusat sampai ke
daerah, oknum wakil rakyat juga sedang menjajah kami. Dari kejauhan diantara ladang
dan kebun yang mengering, kami hanya mampu berbisik kepada Tuhan, “sadarkanlah
pemimpin kami, agar mereka tidak sibuk dengan hal-hal yang seremonial yang
kadang tanpa esensi, mereka jangan lagi sibuk menjadi “calo” proyek siluman,
Bandar miras dan penari erotis, para istri pejabat tidak lagi melancong ke luar
negeri yang dibungkus dengan istilah “promosi
budaya”, padahal hanya untuk kesenangan pribadi, dan para wakil kami agar
tidak “bakurampas sumur bor” supaya
tercipta keadilan social untuk seluruh rakyat Indonesia. Kami berdoa agar Bapak
Gubernur tidak hanya “menanam” kepala
kerbau untuk membangun gedung mewah (nanti “terbakar”
lagi) tetapi juga membangun gedung sekolah bagi kami. Dalam doa kami nama bapak
Gubernur disebutkan agar diingatkan, jangan hanya bangun jembatan antar pulau
bernilai 5 Triliun, tetapi juga membeli buku dan alat peraga pendidikan, seragam,
sepatu, pensil dan pena bagi kami”. Semoga kami didengar!
Baca Juga: