Dilema Ujian SIM Berbasis Komputer
Elkana Goro Leba
Pemerhati Masalah Sosial di NTT
Pada hakekatnya, Surat Izin Mengemudi atau
SIM merupakan tanda bukti yang diberikan oleh Kepolisian bahwa seseorang
telah memenuhi persyaratan administrasi, sehat jasmani dan rohani, memahami
peraturan lalu lintas dan terampil mengemudikan kendaraan bermotor. Karenanya,
semua orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib hukumya memiliki SIM
yang dikeluarkan oleh Polri. Hal itu sudah di atur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan khususnya Pasal 77 ayat
(1). Berdasarkan UU tersebut di atas, sebagaimana diatur dalam Pasal 81
ayat (2), (3), (4), dan (5), persyaratan usia seseorang untuk mendapatkan SIM
adalah 17 tahun untuk SIM A, C, dan D, 20 tahun untuk SIM B1, 21 tahun untuk
SIM B2. Sedangkan secara administrative, calon
penerima SIM harus memiliki KTP, mengisi formulir permohonan SIM dan
rumusan sidik jari.
Guna
mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM), harus lulus serangkaian tes yang diselenggarakan
oleh Kepolisian. Ujian SIM merupakan salah satu upaya kepolisian untuk menekan
kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Sebab asumsinya, bila pengemudi sudah
memahami rambu-rambu lalu lintas dan mampu mengemudi kendaraan dengan baik dan
benar, maka dapat mengurangi resiko pengemudi dari kecelakaan lalu lintas. Ketika mengikuti ujian SIM, minimal ada dua macam tes, yaitu
tes tertulis dan tes praktek atau kini bisa dilakukan menggunakan simulator
SIM. Tes
tertulis bertujuan untuk menguji sejauh mana pengetahuan calon penerima SIM
tentang rambu-rambu, aturan dan norma dalam lalu lintas di jalan raya.
Sementara pada bagian praktek, bertujuan untuk menguji kemampuan atau
keterampilan calon penerima SIM dalam mengemudikan kendaraan bermotor. Berhubungan dengan ujian tertulis, saat ini,
beberapa daerah sudah menerapkan ujian SIM berbasis Compter (computer based
test) bukan ujian berbasis kertas (paper based test). Tes berbasis computer itulah
yang menginspirasikan artikel ini berdasarkan cerita seorang bapak tentang
pengalamannya dalam mengikuti ujian SIM. Beberapa waktu silam, adalah seorang bapak
dari keluarga ekonomi lemah yang umur sekitar 40an tahun mengikuti ujian SIM. Pada
prakteknya, sang bapak sangat terampil dalam mengemudikan kendaraan bermotor
baik roda dua maupun roda empat dan di juga bisa membaca, menulis dengan baik
serta paham rambu-rambu lalu lintas yang di pasang di jalan-jalan, hanya saja
dia belum memiliki SIM dan tidak bisa menggunakan computer. Polisi yang
bertugas menyuruhnya masuk ke bilik computer ukuran kurang lebih 1,5x1,5 meter
untuk mengerjakan soal-soal ujian berbasis computer, dimana dalam bilik tersebut
tidak terdapat orang lain selain dia sendiri. Karena sang bapak tidak tahu
harus mulai dari mana, pegang alat yang mana untuk memulai, maka dia hanya
duduk dan tunggu waktu habis, dan dia keluar dengan tidak mengerjakan apa pun. Seandainya
polisi memberikan dia tes berbasis kertas, sang bapak pasti bisa mengerjakan
dan mengisi jawaban dengan benar. Sesampai di luar bilik, oknum polisi yang
bertugas bukannya menanyakan dengan sopan dan ramah, mengapa sang bapak tidak
mengerjakan soal, malah oknum tersbut membentaknya karena tidak mengerjakan
soal. Dan mengatakan “Kau tidak boleh
urus SIM!!!”. Menyebalkan dan memalukan bukan? Oknum polisi yang seperti
ini yang perlu mentalnya direvolusi,
agar slogan “polisi sebagai pengayom dan
pelindung masyarakat”, benar-benar teraplikasikan dengan baik. Seharusnya,
mereka bukan malah marah-marah dan membentak orang, tetapi mencarikan akar
persoalan mengapa sang bapak tidak bisa mengerjakan soal dan mencarikan jalan
keluar terbaik.
Kita bisa membayangkan, seseorang yang sama sekali tidak paham
dan tidak bisa menggunakan computer dan internet, tidak mengenal mana monitor,
CPU, mana mouse, mana keyboard baru disuruh mengisi soal berbasis computer. Di
sisi lain, kepolisian sedang mengikuti “tren” perkembangan teknologi informasi modern,
tetapi pada saat yang sama pula, sedang terbentur dengan keadaan sebaliknya. Ini
benar-benar keadaan yang dilematis bukan?
Keadaan Dilematis: Teori Generasi
Masyarakat yang
mengurus SIM, berasal dari latar belakang ekonomi, pendidikan dan usia yang
berbeda-beda. Menurut Teori Generasi (Generation
Theory), terdapat beberapa generasi yang
hidup saat ini, generasi pertama yang lahir setelah perang dunia II, disebut
dengan “generasi Baby Boomers”.
Mereka adalah orang-orang yang lahir antara tahun 1946-1964. Di Indonesia,
sebagian besar generasi ini belum mampu menggunakan computer dan internet
dengan baik, tetapi dari sisi kehidupan social, orang-orang ini sangat adaptif
dan mengedepankan kekeluargaan dan gotong-royong dalam pergaulan. Generasi
kedua adalah “generasi X” yaitu
mereka yang lahir antara tahun 1965-1980. Periode ini merupakan awal berkembangnya
teknologi seperti personal Compter (PC),
televisi dan internet tetapi belum secanggih sekarang. Di Indonesia, sebagian generasi
ini, sama seperti generasi Baby Boomers, belum mampu mengoperasikan teknologi
dengan baik. Berikutnya “generasi Y”. Generasi ini juga disebut
dengan generasi Millenium. Itulah mereka
yang lahir antara tahun 1981-1994. Di Indonesia, khususnya masyarakat
perkotaan, generasi millennium sudah sangat akrab dengan teknologi computer,
TV, internet dan sebagainya tetapi masyarakat pedesaan sebaliknya. Dua generasi
berikutnya lagi, masing-masing adalah “generasi
Z” juga sering disebut dengan “Generasi
Digital”, yakni orang-orang yang lahir antara tahun 1995-2010 dan “generasi Alpha”, mereka yang lahir
antara tahun 2011-2020. Dua generasi ini sudah hidup dan selalu bergaul dengan teknologi
dalam keseharian mereka. Tetapi semuanya itu tergantung dari kondisi ekonomi
dan kesejahteraan social keluarga yang bersangkutan. Misalnya, generasi Z dan
generasi Alpha di Indonesia yang berasal dari ekonomi lemah dan hidup di
pelosok desa, belum tentu paham benar dan mampu menggunakan tekonologi
informasi dengan baik.
Berdasarkan teori
generasi di atas, menunjukkan kepada kita bahwa ada suatu kondisi dimana kita
tidak boleh “memaksakan kehendak”, termasuk
hal-hal yang berbasis teknologi informasi. Ada hal-hal yang kita dapat lakukan, tetapi orang
lain tidak dapat melakukannya termasuk ujian SIM berbasis IT. Kepolisian tidak
perlu paksa untuk menggunakan ujian berbasis computer terhadap orang-orang yang
lahir pada era 1946-1980 dan atau orang-orang dari kalangan ekonomi lemah dan
yang tinggal di pedesaan seperti sang bapak yang ceritakan pengalaman tersebut
di atas.
Oleh sebab
itu, kepolisian harus dengan bijaksana mengenali, memahami dan mengarahkan masyarakat
yang belum mampu mengoperasikan computer untuk mengikuti tes berbasis kertas
(paper based test). Sebab, masyarakat yang bisa mengemudikan kendaraan belum
tentu bisa membaca dan menulis serta dapat menggunakan computer. Selain itu, oknum-oknum
polisi perlu bersikap lebih ramah dan santun terhadap masyarakat, agar slogan “polisi sebagai pengayom dan pelindung
masyarakat”, tidak hanya kalimat yang nihil praktek.