Anggota Dewan Dan Sumur Bor
Iklan
di layar kaca tentang “sekarang sumber
air su dekat” sudah melambungkan nama NTT ke kancah nasional, bahkan
internasional sekaligus bencana “buly-bulian”
yang melahirkan berbagai kesan miris bagi NTT, seperti “NTT kering, gersang,
miskin, korup, terbelakang”, kira-kira itu kesan orang di luar NTT ketika
dengar nama propinsi yang dahulu bernama “Sunda
Kecil” (masa penjajahan Belanda) dan sudah berdiri sejak tahun 1958 ini. Ucapan-ucapan
seperti itu akan sangat sering terdengar bagi orang-orang yang merantau di luar
NTT. Apa mau dikata, memang benar adanya, meskipun tidak semua daerah seperti
itu. Faktanya, daerah lain kekurangan air, daerah lain ada air, namun kekurangan
air bersih. Jadi, sama saja, semua daerah “kekurangan
air”, bahkan kupang yang sudah Kota pun, kekurangan air bersih, sampai walikota
“jualan” air hingga ke negeri China.
Berharap ada tindak lanjut, tidak hanya berakhir pada cerita ibarat pelancong
yang mencari kesenangan diri. Apapun isu miring tentang NTT, biar sajalah orang
mau berkata apa, berdoa semoga pemerintah perhatikan daerah ini. Ternyata
benar, ketika membaca publikasi beberapa media, ada proyek sumur bor untuk
setiap kabupaten yang kekurangan air. Mendengar itu, seketika harapan saya seperti
menjadi sebuah kenyataan. Alih-alih bersukacita, beberapa hari kemudian, harapan
itu mulai terusik, karena setelah
membaca berita dengan judul “DPRD Bakurampas
sumur bor”, harapan saya menjadi sirna seketika. Sebab seperti biasa, kalau
mereka, oknum-oknum yang kadang-kadang gelap mata ketika lihat rupih ini ada
dalam sebuah proyek, itu artinya, bencana hebat baru saja dimulai. Saya selalu pesimis dengan orang-orang itu, sebab
proyek itu pasti akan menjadi “bulan-bulanan”
para angota dewan itu. Ternyata faktanya tepat seperti yang saya khawatirkan.
Sumur bor “dipolitisir”. Oh sial!
Pasti ini soal uang dan nama baik! Bagaimana tidak, Informasi yang dihimpun menyebutkan,
dalam rapat Komisi IV sebagai mitra Dinas Pertambangan dan
Energi (Distamben) Provinsi
NTT
bahkan di Badan Anggaran bersama TAPD sudah mengambil kebijakan untuk
kepentingan asas pemerataan. Disebutkan, kesepakatan tersebut, yakni setiap
kabupaten dibagi rata sebanyak dua buah sumur bor. Tetapi ketika dieksekusi, anggota
dewan “bakurampas” proyek itu,
sehingga dari 22 kabupaten/kota, ternyata ada tujuh kabupaten yang tidak
mendapat satu sumur pun. Padahal ada tiga daerah yang mendapat tujuh dan
delapan buah sumur bor (Timor Express 07
April 2016). Fakta lainnya dari permainan dewan yang “pintar” itu, di Kabupaten Nagekeo misalnya.
Betapa tidak, dari delapan buah sumur bor, hanya terbagi dalam dua kecamatan,
yakni Kecamatan Aesesa (6 buah) dan Aesesa Selatan (2 buah). (Timeks 15
April 2016). Lagi-lagi ada “bagi-bagi kue” di sana. Kalau begini mental para
wakil kita, masih pantaskah ini dikatakan sebuah kewarasan? Bicara sampai mulut
berbusa soal pemerataan tetapi muka sendiri tidak bisa bercermin.
Sungguh-sungguh rakyat NTT malang karena telah mengantarkan mereka ke “kursi
malas” itu.
Kepentingan
Diri
Entah
mengapa, ketika menyelesaikan artikel ini, saya teringat pada mendiang Adam
Smith, karena pernyataannya tentang teori kepentingan diri, dalam bukunya “The
Wealth of Nations” katanya dalam sebuah analogi kurang lebih seperti ini, “Kita tidak hidup dari belas kasihan penjual
roti, melainkan karena kecintaaan penjual roti itulah terhadap dirinya sendiri”.
Kira-kira maksud pernyataan tersebut begini, “penjual roti memproduksi roti-rotinya untuk dijual, bukanlah karena belas
kasih atau kasih sayangnya kepada kita, tetapi karena kecintaan penjual roti
tersebut kepada dirinya sendiri supaya dia dapat memenuhi kepentingan dirinya”.
Apa hubungan dengan proyek sumur bor di NTT? Sudah dengan jelas, bahwa proyek
sumur bor diciptakan, bukan karena anggota dewan itu prihatin terhadap
masyarakat yang berjalan kaki berkilo-kilo meter hanya untuk mencari air minum,
tetapi agar mereka mendapat “kue” dari proyek itu. Kue itu macam-macam wujudnya.
Pertama, sumur bor menjadi ajang bagi
mereka untuk “mencari muka” kepada pemilih
(voters) di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Meskipun ini bukan tahun
politik pemilihan legislative, minimal dengan proyek sumur bor itu mereka dapat
dengan bangga menepuk dada dan berkata, “ini
loh, hasil kerja gue perjuangkan aspirasi kalian!”. Dengan demikian, bisa
saja ada harapan terselubung untuk menebar pesona agar terpilih kembali pada
periode berikutnya. Siapa yang tidak tahu permainan otak para anggota dewan
itu, karena itu sudah hal biasa. Kedua,
wujud kue yang saya sebut di atas adalah “ada
rupiah di sana”. Ini adalah cara kuno yang sering dipertontonkan oleh
mereka-mereka ini. Yang namanya proyek, tidak bisa dipisahkan dengan uang. Tidak
perlu dijelaskan lebih lanjut, pembaca sudah tahu apa yang saya ingin sampaikan
soal wujud kue yang kedua ini. Dengan demikian, maka adanya penyebaran sumur
bor yang tidak merata itu, sudah terang
benderang adanya “pertarungan” kepentingan diri diantara politikus-politikus
yang katanya wakili rakyat dari setiap kabupaten itu.
Malangnya Nasibmu NTT ku!
Sungguh
malang daerah ini! Kemalangan itu tercatat bahwa NTT propinsi termiskin ketiga
setelah Papua dan Papua Barat. Terkorup kedua setelah Sumatra Barat. Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) terendah ke empat setelah Papua, Papua Barat dan Sulawesi Barat. NTT juga menjadi
surge bagi para penjual manusia. Mungkin karena orang di Pelosok NTT mudah
ditipu. Memilih para wakil untuk memperjuangkan aspirasi ke pusat juga mereka
hanya menjadi “Calo Freeport”, agen miras dan penari erotis “gigolo” di sana.
Kapan NTT berhenti dibuly kalau oknum jaksa, oknum walikota dan bupati, kepala
dinas, kepala sekolah, wakil rakyat hanya meperjuangkan kepentingan diri? Kita
hanya bisa mendoakan, NTT- Nanti Tuhan Tolong!
Meskipun demikian,
kita boleh dikhianati, dikibuli, ditipu oleh mereka yang berkuasa, tetapi
semangat untuk merubah diri menjadi lebih baik adalah satu-sataunya jalan
menuju kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Tugas kita terutama para pemuda
penerus bangsa adalah melihat, mengamati, bertanya tentang semua perilku buruk
para pejabat di daerah ini, sehingga mengantarkan kita ke sebuah keputusan,
agar ketika pilkada dan pileg tiba, jangan lagi memilih orang-orang yang hanya “menjual
roti” hanya karena kepentingan dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan
seluruh rakyat NTT. Tanggung jawab itu, ada di pundak para pemuda dan pemudi di
NTT di mana pun berada. Para Pemuda tidak boleh terjebak oleh arus hedonisme, individualistic
yang berlebihan dan kenyamanan semu yang diciptakan oleh para koruptor. Pemuda
harus kritis, inovasi dan mengawal pembangunan di NTT. Agar tikus-tikus berdasi
yang selama ini berseliweran di atas APBD, ketakutan dan hidup mereka segera berakhir
pada api yang kekal. Keluar dari zona nyaman semu ini, karena mujizat tidak akan
ada pada zona nyaman (Putri Indonesia, 2016). Semoga!