Revolusi Mental Dari Dalam Keluarga
Revolusi Mental Dari Dalam Keluarga Ketika menulis
artikel ini, saya teringat pada satu artikel di blog seorang teman yang mengutip
kalimat bijak Ali Bin Abi Thalib, “Kebaikan yang tidak diorganisir dengan baik, akan
dengan mudah dihancurkan oleh kemungkaran yang diorganisir dengan baik (Nur Kholiq, 2011)”. Kata-kata itu penting untuk dicermati dalam
hubungannya dengan membangun sebuah bangsa yang besar. Membangun bangsa yang
beradab harus rencanakan dengan matang dan detail, agar bangsa itu mampu
melawan kelaliman. Salah satu aspek penting dalam mebangun bangsa adalah Sumber
Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Betapa kaya pun suatu bangsa dalam hal
Sumber Daya Alam (SDA), jika tidak mempunyai SDM yang baik, maka tidak ada
gunanya semua kekayaan itu, karena tidak dapat dikelola untuk kesejahteraan
bangsanya. Akan lebih prihatin lagi bangsa itu akan dikuasai oleh asing yang
hanya datang untuk mengeruk isi bumi, dan akan pergi meninggalkan bopeng-bopeng
pada tanah yang menganga. Maka dari itu, guna menciptakan SDM yang berkualitas
tinggi, hanya dengan memposisikan pendidikan sebagai yang utama dalam
pembangunan. Begitu pentingnya pendidikan, karena pendidikan merupakan seuah
proses humanisasi. Itulah sebabnya, negara Jepang selalu menempatkan pendidikan
pada posisi paling pucuk untuk bangsanya. Kita pasti masih ingat, dahulu kita
mengirim guru ke Malaysia untuk mengajar, tetapi sekarang kita mengirim TKI/TKW
untuk - sebagian besar - menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT) atau istilah
kerennya “Asisten Rumah Tangga (Arumta)”,
yang kemudian negara menghibur mereka dengan status sebagai “pahlawan devisa”. Sepertinya “benar” juga adanya, sebab “para pahlawan”
itu terkadang pulang dengan cacat fisik dan psikis, bahkan pulang tinggal nama akibat
wafat dalam “perjuangan”, karena disiksa
dan dibunuh oleh majikan di medan “perjuangan”.
Artinya, kenyataan yang tidak bisa dielakkan adalah “dulu kita adalah guru,
sekarang menjadi jongos”. Suatu keadaan yang sangat-sangat prihatin bukan? Hal
itu terjadi karena SDM kita masih rendah. Oleh karenanya, pendidikan harus
mendapat tempat paling puncak dalam prioritas pembangunan.
Peranan Penting Orangtua dalam Pendidikan Anak
Tingginya
angka putus sekolah di Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil masih menjadi
pekerjaan rumah bagi pemerintahan dari masa ke masa. Dahulu pemerintah
berkesimpulan bahwa tingginya angka putus sekolah karena biaya sekolah mahal. Maka
keluarlah kebijakan sekolah gratis. Sekarang
sekolah sudah gratis, tetapi angka putus sekolah masih saja tinggi. Bila kita
memahami realitas, akar persoalannya
tidak hanya pada sekolah berbayar atau mahal, tetapi juga karena belum ada
kesadaran orangtua untuk mendorong anak-anak mereka agar belajar dan pergi ke
sekolah. Sebab, pendidikan bukan saja soal lembaga pendidikan seperti gedung
dan fasilitas sekolah dan pesantren, tetapi juga dukungan dan peran aktif
orangtua untuk menyekolahkan anak dan mendorong mereka untuk terus sekolah, sebab
keluarga merupakan wadah awal mulanya tumbuh kembang anak. Pengalaman yang
sangat miris di kampung-kampung, sebagian orangtua belum paham betapa utamanya
pendidikan bagi anak-anak mereka. Banyak orangtua di pedesaan yang belum pahami
makna strategisnya pendidikan bagi masa depan anak-anak sebagai generasi bangsa.
Sehingga orangtua tidak memberikan motivasi kepada anak-anak untuk belajar dan
pergi ke sekolah. Anak-anak lalai sekolah, orangtua biarkan saja. Di samping
itu, anak-anak di pinggiran juga kerja membantu orangtua untuk mencari nafkah.
Dengan demikian, sekolah dikesampingkan. Hal itu juga dapat memicu tingginya
angka putus sekolah.
Pendekatan Kognitif Bagi Orangtua
Mengingat
kembali kebijakan pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah terdahulu, memberikan
masyarakat berupa bantuan modal untuk usaha, seperti IDT dan lain-lain, tetapi
akhirnya gagal. Kenapa gagal? Karena sepertinya masyarakat hanya dikasih kail
dan jala untuk melaut, tetapi tidak menjelaskan kepada mereka bagaimana cara melaut.
Artinya, dikasih modal untuk usaha, harus dibarengi dengan upaya untuk memberikan
pemahaman kepada mereka bagaimana memulai usaha dan juga cara agar usaha itu
tetap berkelanjutan. Nasib kebijakan sekolah gratis hampir sama dengan kebijakan
IDT terdahulu, sekolah gratis tetapi masih saja tidak mau sekolah. Ibaratnya, sudah
dikasih ikan dan nasi dalam piring, tetapi tidak juga dimakan. Mereka tidak
makan, bukan karena mereka tidak lapar, tetapi mereka “belum sadar” kalau mereka
sedang lapar. Artinya, sekarang anak-anak di daerah terpencil tidak sekolah
atau putus sekolah, bukan lagi karena mahalnya biaya sekolah, tetapi karena
masih banyak orangtua belum paham arti pentingnya pendidikan bagi masa depan
anak-anak. Sebab itu, butuh cara dan metode untuk menyadarkan mereka bahwa
mereka sedang “lapar” dan butuh pendidikan.
Salah
satu cara untuk menyadarkan mereka adalah dengan melakukan pendekatan kognitif.
Pendekatan ini dipercayai sebagai upaya psikologis untuk mengetahui, memahami, merasakan,
mebujuk, mengajak bahkan mempengaruhi perilaku seseorang untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan yang diinstruksikan oleh yang menyampaikan pesan. Artinya,
pendidikan itu tidak cukup bagaimana pemerintah membangun gedung dan
menggratiskan biaya sekolah, tetapi menyentuh akar dari permasalahannya, yaitu menggugah
kesadaran orangtua guna menyekolahkan dan mendorong anak-anak mereka untuk
sekolah. Dengan pendekatan kognitif ini juga, berarti men-sugesti (proses psikologis dimana seseorang membimbing pikiran,
perasaan, atau perilaku orang lain) orangtua agar memahami akan pentingnya pendidikan
bagi masa depan anak-anak mereka. Sehingga, bila anak-anak lalai sekolah,
orangtua terus mendorong mereka untuk ke sekolah. Oleh sebab itu, pembangunan
di bidang pendidikan bukan saja bagaimana membangun fisik dan infrastruktur
sekolah tetapi juga psikis orangtua dan siswa. Hal ini karena mengingat masyarakat
Indonesia di pinggiran masih terlilit oleh kekurangan secara ekonomi dan
kemiskinan. Jadi, bukan saja memberikan mereka kail dan jala untuk melaut, tetapi
juga memberikan pemahaman bagaimana cara melaut yang baik dan benar.