Membangun Bangsa Dari Keluarga
Membangun Bangsa DariKeluarga
Hoghughi
(2004) menyatakan, pendidikan terdiri atas beragam aktivitas yang bertujuan supaya anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik.
Prinsip
utama dalam pendidikan tidak
terletak pada siapa (aktor) tetapi lebih menekankan pada tujuan dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh sebab
itu, tujuan pendidikan mencakup pendidikan fisik, emosi dan sosial. Pendidikan akan membentuk
karakter dan kepribadian seseorang dalam bergaul dan bersosialisasi dalam
keluarga dan lingkungannya. Orangtua seringkali mengeluh dengan sikap dan
kelakuan anak-anak zaman sekarang. Kurang sopan, kasar, individualistik, gaya
hidup yang hedonis, kurang hargai dan hormati orang lain. Kira-kira begitu kata
orangtua terhadap para pemuda-pemudi di era ini. tidak jarang juga, keluarga
atau ayah dan ibunya yang dikambinghitamkan ketika anak mereka berperilaku
buruk di luar rumah. Orangtua dari anak-anak itu disalahkan karena tidak
mendidik, membimbing serta mengarahkan anak-anak menjadi pribadi yang baik.
Menyalahkan ayah dan ibu atas kelakuan kurang baik dari anak-anak memang tidak
ada salahnya, sebab ayah dan ibu lah orang yang pertama kali ada dan
bertanggungjawab bagi pembentukan karakter anak-anak mereka.
Bertalian dengan pembentukan
karakter, Stephen Covey dalam
bukunya “The 7 Habits of Highly Effective People (7
Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif)” menuliskan, setidaknya ada dua unsur (selain unsur Determinisme Genetis) yang
dapat membentuk karakter manusia, yakni: Determinisme Psikis dan Determinisme Lingkungan. Determinisme Psikis menggambarkan bahwa karakter seseorang terbentuk
karena pengalaman-pengalaman masa kecilnya. Pengalaman itu tercipta akibat
“perbuatan” orangtua. Perbuatan di
sini termasuk pola asuh dan perlakuan orangtua terhadap anak-anak mereka. Sehingga
meninggalkan pengalaman (masa kanak-kanak) yang melekat pada pribadi dan
membentuk kecenderungan kepribadian dan susunan karakter seseorang. Artinya,
kalau orangtua memperlakukan anak-anak dengan sopan dan ramah, diajari untuk
saling menghargai dan menghormati orang lain, disiplin dan teratur, maka akan
terbentuk kepribadian anak seperti itu juga. Namun, jika sebaliknya orangtua
memperlakukan anak-anak dengan kasar, tidak sopan, tidak disiplin dan tidak
mengahargai orang lain, hedonis, maka anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi
yang kasar, tidak menghormati orang lain dan materialitis. Sementara itu, Determinisme
Lingkungan menambahkan bahwa
sifat dan karakter seseorang tidak hanya terbentuk karena pengalaman masa kecil
akibat perlakuan orangtua, tetapi juga karena dipengaruhi oleh lingkungan
sekitar. Seperti perlakuan atasan di tempat kerja, teman sekolah atau kuliah, pasangan,
situasi sosial ekonomi dan politik, dan bahkan kebijakan pemerintah dapat
membentuk karakter seseorang. Misalnya atasan sering kasar terhadap bawahannya,
maka bawahannya itu akan berlaku begitu juga dengan teman-temannya, atau
situasi lingkungan tempat tinggal yang keras dan orang-orang yang tidak saling
menghormati, maka ketika kita keluar dari lingkungan itu, kita akan menjadi
orang yang keras kepala dan tidak menghormati orang lain. Jadi lingkungan juga
bertanggungjawab terhadap sifat dan karakter seseorang.
Berhubungan dengan membangun
karakter bangsa dari keluarga, maka ayah dan ibu sebagai pribadi yang pertama
kali dikenal oleh anak, dimana keluarga juga merupakan unit organisasi terkecil
dalam masyarakat, sehingga menjadi tempat awal mulanya anak-anak bersosialisasi
dan berorganisasi. Pada posisi inilah, orangtua harus memperlakukan anak-anak dengan
baik, agar menjadi pribadi yang berkarakter ramah, sopan, disiplin, percaya
diri, hargai perbedaan pendapat, menghormati orang lain. Selain itu, lingkungan
sekitar sebagai tempat anak bersosialisasi kedua setelah keluarga, juga harus kondusif
untuk membentuk karakter anak-anak yang baik, ramah dan saling menghargai dan
menghormati antar sesama.
Perhatikan
Keadaan Dilematis Berikut!
Sekurang-kurangnya, ada dua keadaan
yang dilematis dalam memperlakukan anak. Yang pertama, perlakukan anak secara “overprotective”. Overprotective adalah sebuah tindakan orangtua dalam melindungi anak-anak
yang sangat berlebihan, dan dapat membuat anak-anak terlalu nayaman atau bahkan
sebaliknya tidak nyaman dengan tindakan ini. Biasanya perlakuan ini terjadi
pada anak tunggal dan atau anak bungsu dan anak angkat. Perlakuan itu juga merupakan
wujud dari kasih sayang orantua terhadap anak, tetapi kadang kurang tepat pada
prakteknya. Pada umumnya, orangtua yang overprotective seperti ini, anak-anak
mereka minta apapun, pasti dikasih atau dibelikan. Anak minta laptop atau
gadget, dibelikan, padahal usia anak belum cukup untuk menggunakan alat-alat
seperti itu. Ketika menjadi remaja, anak minta motor atau mobil, ayah dan ibu
belikan, padahal usia belum pantas. Sekali lagi hal ini, karena ada rasa takut
anak akan memberontak terhadap orangtua. Kebiasaan orangtua untuk mengikuti
semua keinginan anak sejak kecil, akan membuat anak menjadi karakter yang keras
kepala, tidak kompromi sekalipun dalam posisi salah dan tidak demokratis serta
cenderung tidak hargai pendapat orang lain. Melindungi anak, memang tidak
salah, tetapi perlindungan yang berlebihan, tidak jarang menyebabkan anak
menjadi pribadi yang tidak mandiri, kurang percaya diri, takut untuk
berekspresi, takut mencoba hal yang baru, tidak berani pada tantangan, sulit
bersosialisasi dengan lingkungan, dan berbagai akibat negative lainnya. Dalam keluarga
ekonomi menengah ke bawah, contoh konkrit anak tidak mandiri adalah tidak bisa
mencuci piring makan dan pakaian sendiri, tidak bisa memasak sendiri. Ketiga
hal yang mungkin sepele, tetapi itu sangat terasa ketika suatu saat anak-anak terpaksa harus jauh dari
orangtua seperti merantau ke tempat yang jauh untuk sekolah. Karena itu, orangtua
harus dapat memahami keadaan ini. Kedua
adalah membiarkan anak terlalu bebas dalam pergaulan. Terkadang karena orangtua
sibuk dengan pekerjaan dan berbagai rutinitas hari-hari, lalu anak-anak
dibiarkan hidup dengan dirinya sendiri. Dia mencari jati diri dan kenyamanan di
luar rumah, bereksplorasi dalam pergaulan yang kurang tepat dengan teman-temannya,
sehingga sampai salah memilih jalan hidup. Inilah yang menjerumuskan anak pada
pergaulan bebas yang tidak terkontrol. Masuk dalam lorong gelap seks bebas,
prostitusi, narkoba, miras dan pergaulan negative lainnya.
Oleh sebab itu, ayah dan ibu harus mampu sejak dini mengenali dan
memilih pendidikan anak yang membuat anak menjadi pribadi yang berkarakter baik.
Melindungi jangan berlebihan, membebaskan anak tetapi melepaskannya. Jadi,
memegang tidak terlalu erat, membebaskan, tetapi tidak terlepas.