Teroris, Begal dan Koruptor
Artikel
ini bukan untuk membela para teroris, namun hanya ingin melihat sisi lain dari
kejadian yang lampau, karena kita semua pun rentan terhadap status “teroris”. Kita
patut berduka atas kejadian berdarah di Sarinah. Kurang lebih tujuh orang anak
bangsa meregang nyawa dengan sia-sia (delapan dengan WNA). Tetapi orang hanya
berbelasungkawa atas meninggalnya para korban (dua orang) yang bukan teroris
dan tidak berlaku bagi para pelaku bomber. Kita semua sepakat, bahwa teroris
adalah penjahat yang patut menerima seperti apa yang telah mereka dapatkan seperti
di Sarinah. Pantas dicaci kami, disumpah dan dibunuh tanpa ampun, bila perlu
disiksa dan dibakar hidup-hidup seperti begal
motor. Karena itu, orang-orang menolak kehadiran mereka, bahkan “tanahpun
seakan mengaharamkan” jazad mereka sehingga warga menolak jenazah mereka untuk
dikubur di pekuburan umum. Tetapi belum tentu yang sepakat itu menyadari, bahwa
mereka (teroris) itu juga adalah korban kejahatan. Mereka adalah korban
penafsiran “jalan menuju Surga” yang
telah dicuci otaknya (brain wash).
Teroris Sarinah Juga Korban Kejahatan
Teroris Sarinah Juga Korban Kejahatan
Disadari
atau tidak, semua orang yang berbuat kejahatan di dunia ini adalah korban.
Minimal korban akibat salah paham tentang apa yang dia lihat, alami dan miliki.
Misalnya, merampok atau mencuri karena alasan kepepet ekonomi adalah korban
kemiskinan ekonomi, para artis yang jadi PSK adalah korban hedonisme, para
pemerkosa dan tukang selingkuh, juga adalah korban hawa nafsu dan keinginan
daging, para pengguna narkoba, adalah korban atau orang sakit, sehingga BNN memperlakukan
mereka dengan cara menyembuhkan bukan saja dengan menghukum mereka. Para
teroris juga kurang lebih sama, mereka adalah korban penafsiran (yang salah)
dari kitab suci yang mengajarkan jalan
menuju Surga. Para bomber bunuh
diri dijuluki sebagai “calon pengantin”. Teman dekat Noordin M. Top, Abu Wildan
mengatakan bahwa, istilah tersebut sesuai dengan keyakinan si bomber.
"Karena dia akan meninggal dunia, kalau merasakan akan syahid, mungkin
diterima di sisi Allah, otomatis masuk Surga Firdaus dan mereka akan disediakan
bidadari-bidadari cantik di Surga” (tvOne, Selasa 11 Agustus 2009). Karena
itulah mereka tidak terima disebut sebagai penjahat. Karena mereka telah
menjadi korban pencucian otak. Mungkin, sebelum otak mereka dicuci dan menjadi
teroris, punya pandangan yang sama seperti kita, bahwa teroris itu adalah
penjahat. Karena mereka korban, perlakuan yang sama seperti dengan para
pengguna narkoba sebagai orang sakit (korban) yang bukan saja dihukum tetapi juga
disembuhkan dan direhabilitasi, patut dipertimbangkan untuk diberlakukan kepada
teroris. BNN memperlakukan para pengguna narkoba seperti orang sakit yang harus
disembuhkan, agar suatu saat mereka keluar dari rehabilitasi, tidak mengulangi perbuatannya
lagi. Kurang lebih hal ini juga sama dengan teroris yang menjadi korban
pencucian otak. Hal ini penting, sebab banyak narapidana terorisme ketika
bebas, menjadi teroris lagi. Misalnya, Santoso, pemimpin teroris (kelompok
Santoso) di Sulawesi, Bahrun Naim yang disebut-sebut sebagai
orang paling dicari Polri karena dianggap bertanggungjawab terhadap Bom di
Sarinah. Mereka adalah mantan-mantan narapidana terorisme yang keluar dan
kembali menjadi teroris. Jadi, sama halnya dengan pengguna narkoba, para
teroris tidak hanya dihukum, tetapi juga harus direhabilitasi “otak” dan pandangan
mereka tentang “jalan menuju sorga”.
Disinilah peran penting para pemuka agama.
Kita Semua Rentan
Kita
harus menyadari, bahwa misi orang-orang yang menamakan diri “jihadis” itu tidak
tebang pilih. Dari anak-anak hingga orangtua, orang berpendidikan tinggi atau
rendah, menjadi sasaran empuk. Setidaknya, kesadaran itu penting, agar kita
selalu waspada terhadap aliran sesat, sambil memperkuat pemahaman kita tentang
jalan-janal Tuhan yang sesuai dengan ajaran kitab suci. Lihat saja, Ustadz Abu
Bakar Ba’asyir, pemuka agama yang pasti paham benar penafsiran Alquran dan juga
paling disegani, divonis menjadi penyumbang dana pelatihan para teroris di
Aceh, atau dokter Rica, karena aliran Gafatar di Jogja, berpendidikan tinggi
dan rajin Sholat, juga jadi sasaran. Itu artinya, mereka tidak pandang bulu,
siapa pun kita, terancam oleh aliran “terorisme”. Hanya saja, kita mungkin
belum bertemu dan merasakan bagaimana para “jihadis” itu “menghipnotis” dan
mencuci otak kita. Oleh sebab itu, dengan cara kita menyadari bahwa kita juga
rentan terhadap aksi para jihadis itu, maka kita dapat membekali diri secara
benar berdasarkan ajaran agama masing-masing.
Teroris, Begal dan Koruptor
Kita
boleh mengumpat para teroris dan bakar hidup-hidup para begal. Sebab mereka membuat
resah masyarakat karena perbuatan mereka nyata, mematikan dan langsung
berdampak buruk pada kehidupan sosial masyarakat, tetapi apa gerangan dengan
para koruptor? Sedikit perbandingan: “Kejahatan
para teroris dan begal, nyata, singkat namun, mematikan. Dalam tiga jam saja, teroris
langsung ditumpas oleh Polisi. Semua aman, pedagang berseliwerang dan Starbuck
langsung direhab, tetapi kejahatan para koruptor, tersembunyi, bahkan tidak
disadari, namun dapat menyandra mu seumur hidup atau juga dapat membunuh mu secara
elegan”. Faktanya, mengapa bangsa ini sudah 70 tahun, tetapi kemiskinan melilit,
kesenjangan antara Indonesia barat dan timur bagai langit dan bumi, masyarakat
di pelosok cari air untuk minum saja sulit (alam yang disalahkan), anak-anak
mau sekolah susah, gedung sekolah roboh? Itu semua karena kejahatan para
koruptor. Jadi, apakah para teroris dan begal saja yang patut ditembak mati,
dan dibakar hidup-hidup? Jawabannya tidak!!! Koruptor juga patut ditembak mati
atau digantung dan gorok lehernya. Sebab, memang teroris dan begal membuat
ketakutan dan kegelisahan serta ketidaknyamanan (mungkin) hanya sesaat, tetapi lebih
jahat para koruptor karena dapat menyandra kita seumur hidup dalam kemiskinan
dan kelaparan. Mereka membuat bangsa ini seperti bangsa yang miskin selama 70
tahun, padahal kita kaya SDA. Masyarakat mati karena lapar, menderita sakit
seumur hidup karena miskin dan tidak punya biaya untuk berobat, gelisah karena
pikir besok mau makan apa, anak-anak gantung diri karena orangtua tidak punya
uang untuk membeli sepatu. Retorika dan janji palsu para pejabat yang korupsi membuat
kenyamanan yang semu yang sejatinya tidak nyaman dan gelisah, tenang padahal sesungguhnya
bergejolak, dan diam sebab ketika pilkada dan pileg, mulut dan hati nurani kita hanya sejajar dengan
nilai pecahan lima puluh ribu rupiah. Karena itu, maka koruptor juga tidak ada
bedanya dengan teroris, bahkan lebih jahat karena dapat menyiksa kita seumur
hidup.