Negara Rimba
Tahun baru, harapan baru, tetapi masih cerita lama.
Setidaknya dua peristiwa unik di bulan pertama tahun ini yang membuat para
aktivis kejahatan harus mengelus dada adalah, intimidasi terhadap polisi yang
menyita minuman keras milik HH di Kupang NTT (banyak media sebut HH sebagai
“bandar Miras”), yang berujung pada dikembalikannya miras yang telah disita dan
pencopotan Kapolda NTT dari jabatannya (opini media). Ironi lainnya adalah pernyataan
hakim pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan dalam keputusan yang menolak
gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada tersangka
pembakar hutan di Palembang dan Riau, “bakar
hutan tidak melanggar aturan, kan masih bisa ditamani lagi”. Analogi
sederhana dari kedua fakta di atas seperti ini: “Kalau mau jual miras, bebas
saja, kalau disita polisi, ancam saja polisinya, nanti dikembalikan. Kalau kita
bakar rumah orang, silahkan, karena dia masih bisa bangun rumah lagi. Sungguh-sungguh
sebuah ironi bodoh terencana yang lagi-lagi dipamerkan oleh para penegak hukum
dan pejabat publik di negeri ini. siapa yang berkuasa, dia kuat. Siapa kuat dia
menang, siapa menang, dia kaya. Tidak salah kalau negara ini seperti “negara rimba”.
Kembali kepada konteks mengapa penjualan miras
dilarang, karena miras memabukkan dan dapat berujung pada perbuatan menyimpang yang
mengganggu ketertiban umum. Salah satu fakta, baru saja terjadi di Kecamatan
Raijua, dimana salah seorang pemuda ditikam dibagian perut akibat pelaku mabuk
minuman keras. Pertanyaannya, apakah penjualan miras yang berijin itu tidak
memabukkan? Semua tahu jawabannya. Dengan demikian, maka penjualan miras
berijin atau tidak, itu hanya sebuah ilusi bisnis yang dibuat oleh para bandar
miras seperti HH dan koleganya. Bertautan dengan pembakaran hutan, yang
terpenting dari penegakkan hukum lingkungan hidup adalah kebakaran atau pembakaran
hutan dan lahan dapat menimbulkan dampak kerusakkan lingkungan. Bukan seperti
pernyataan hakim, hutan yang terbakar, bisa ditanami lagi, tetapi soal
pencemaran lingkungan hidup dan kehidupan manusia. Kebakaran itu, tidak hanya memusnahkan
ekosistem, tetapi juga kabut asap yang ditimbulkannya dapat merusak kehidupan. Selain
itu, kebakaran hutan itu mempertaruhkan nama baik negara dikancah
internasional. Namun, ironinya logika hakim terbalik.
Pengadilan atau Penzaliman?
Pengadilan, seharusnya sejalan dengan namanya, yaitu
tempat mencari keadilan tanpa membedakan kaum abangan, santri dan priyayi.
Tidak memandang status sosial, suku, ras dan agama. Namun, sayangnya, kini
pengadilan itu ibarat tempat penzaliman
bagi orang kecil dan kaum abangan. Maka genaplah realitas “hukum di Indonesia
itu, tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Kalau
mencoba mengulas balik kejadian yang telah lalu, bagaimana Nenek Minah yang
iseng memetik 3 buah Kakao di perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan (RSA)
menjadikannya sebagai pesakitan di ruang pengadilan. Dibui 1 bulan 15 hari
dengan masa percobaan 3 bulan. Mbah Harso Taruno (65) dipenjara
hanya karena persoalan sepele. Menyingkirkan kayu yang menutup lokasi
ladangnya. Kayu tersebut melintang dan Mbah Harso tidak tahu siapa yang
menebang, karena tidak kuat memikul Mbah Harso lalu memotong balok kayu menjadi
tiga bagian dan diletakkan di pinggir ladang. Lain lagi dengan nenek Asyani,
terdakwa tuduhan pencurian kayu jati milik Perhutani di Situbondo divonis hukuman
1 tahun dan denda Rp 500 juta subsider satu hari kurungan dengan percobaan 15
bulan oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur. Pasangan kakek Anjo Lasim (70) dan nenek
Jamilu Nani (75), warga Desa Tenggela, Kecamatan Tilango, Kabupaten dituduh mencuri
6 batang bambu. Kakek nenek itu pun dituntut 3 bulan penjara. Ironi hukum
lainnya, nenek Rasminah harus mendekam di penjara selama 4 bulan 10 hari karena
dituduh oleh majikannya mencuri sup buntut dan juga 6 buah piring. Seorang Kakek
kuli pasir di Probolinggo, Jawa Timur harus dipenjara selama 2 tahun dan denda
Rp 2 miliar atau subsider 1 bulan kurungan. Kejadian itu, menerangkan kepada
kita bahwa keadilan hanyalah angan-angan bagi kaum lemah. Pancasila-sila
kelima-hanyalah hafalan kuno yang tidak bermakna. Pejabat yang dipenjara bisa
berlenggang-lenggong kemana pun mereka ingin pergi. Bangun salon dan spa di
tahanan, makan di restoran mewah seperti Gayus Tambunan. Sungguh-sungguh UUD
sudah berubah menjadi Ujung-Ujungnya Duit oleh para pemburu rente dan orang-orang
tamak di negeri ini. Seakan tidak berhati nurani akibat kegelapan duniawi. Masihkah
mereka nyogok sampai di pintu neraka? Entahlah!!!
Masih adakah
Harapan?
Saya terkesan dengan kalimat-kalimat penguatan dari
pendeta Paulus Lee di GKI Gejayan Yogyakarta, “kalau anda punya harapan dan komitmen yang baru di tahun 2016 ini,
langkah pertama yang anda harus lakukan adalah ubahlah kebiasaan-kebiasaan lama
anda yang tidak sesuai dengan harapan baru anda. Ubahlah cara pandang anda
sesuai dengan komitmen dan harapan itu. Karena kebiasaan baik, dapat merubah
perilaku buruk”. Kita sedang berharap akan peneggakan hukum di negeri ini ada
perubahan ke arah yang lebih baik, namun fakta jauh terpanggang dari harapan. Artinya,
ada harapan baru, tetapi tidak diikuti oleh kebiasaan yang baik. Jadi mustahil
terjadi perubahan. Para penguasa hanya melakoni cerita lama yang terus berulang.
Keadilan hukum tidak lebih dari retorika politikus yang bersilat lidah guna
meninabobokan rakyat jelata dan semua demi uang dan materi yang fana. Dengan
demikian, maka selama rupiah dan koncoisme masih menginjak-injak kewibawaan
hukum, pesimistis akan supremasi hukum adalah wajar. Indonesia akan seperti “negara rimba”, siapa yang kuat, dia
menang. Siapa yang dekat dengan kekuasaan dan uang dia kaya raya”. Kaum lemah semakin ditindis oleh
mereka yang kuat dan berkuasa. Revolusi mental menjadi harapan baru, tetapi kalau
diantara para wakil kita di Senayan masih menjadi bandar miras, pejabat publik
berburu rente, dan penegak hukum di negeri ini masih banyak yang tamak, maka
slogan revolusi mental sia-sia belaka. Oleh karenanya, sekalipun hari menjadi
minggu, bulan berevolusi menjadi tahun, abad berganti abad, harapan tetaplah
harapan. Orang kaya membangun surganya sendiri, orang seperti Gayus Tambunan jalan-jalan
ke Bali walau sedang di penjara, Arthalyta Suryani penghuni rutan Pondok Bambu Jakarta
Timur diperlakukan istimewa dalam ruang
tahanan “VIP”, Novanto dan Reza Chalid hepi-hepi main golf dan naik private
jet, namun orang miskin di TTS, TTU dan daerah lainnya tetap jalan kaki
berkilo-kilo meter hanya untuk mencari air minum. Itulah sebuah ironi di “negara rimba”.