Konspirasi Jahat Membunuh KPK
Menengok sejarah penyelamatan uang negara di Indonesia, telah
banyak lembaga sejenis KPK yang dibentuk. Misalnya, Operasi Militer di tahun
1957, Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Operasi Tertib (Opstib) pada
tahun 1977, Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak pada tahun
1987, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999,
dan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) tahun 2005. Namun,
fakta membuktikan, itu tidak mampu menumpas koruptor. Eksistensi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2003 lalu yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi telah menjadi momok bagi para pencuri uang negara di negeri ini. KPK
seperti kucing yang siap menerkam tikus-tikus kantor itu. Karena itu, para
tikus ini pun tidak henti-hentinya ingin meracuni sang kucing dengan berbagai
jurus mematikan agar mereka bebas berkeliaran untuk merampok hak
generasi-generasi bangsa ini. Di sisi lain, kehadiran KPK tidak lain, tidak
bukan sebagai tanda ketidakmampuan Kepolisian dan kejaksaan agung dalam
memberantas korupsi di Indonesia. Selain itu, ini juga bukti bahwa kedua lembaga
besar negara ini tidak dapat dipercayai untuk menangkap maling-maling itu,
karena mereka juga banyak yang nyolong. Istilahnya, masak maling teriak maling!
setidaknya Beberapa koruptor kelas kakap yang diboyong KPK ke penjara,
misalnya, 50 anggota DPR, 6 Menteri/Pejabat Setingkat Menteri, 8 Gubernur, 1
Gubernur Bank Indonesia, 5 Wakil Gubernur, 29 Walikota dan Bupati, 7 Komisioner
KPU, Komisi Yudisial dan Pimpinan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 4
Hakim, 3 Jaksa di Kejaksaan Agung, 4 Duta Besar dan 4 Konsulat Jenderal,
seratus lebih pejabat pemerintah eselon I &II, 85 CEO, pemimpin
perusahaan milik negara (BUMN) dan pihak swasta yang terlibat korupsi.
Namun, KPK Nasib
lembaga anti rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi satu-satunya
lembaga harapan masyarakat Indonesia dan para aktivis korupsi yang berjuang menyelamatkan
uang negara dari grogotan tikus-tikus kantor kini bagai telur di ujung tanduk. Bagaimana
tidak, RUU KPK yang diinsiasi oleh partai-partai “konglomerat” di DPR bagai
konpirasi jahat yang akan membunuh KPK secara perlahan dan pasti. Konspirasi
jahat ini nampak dalam beberapa poin RUU KPK. Antara lain: pertama: Pembubaran KPK 12 tahun setelah draf RUU resmi diundangkan (Pasal 5).
Ini adalah pembunuhan berencana yang dilancarkan DPR terhadap KPK. Salah satu
alasan DPR adalah karena KPK adalah lembaga ad
hock (sementara). Sepertinya ada kekeliruan yang perlu diluruskan dari para
legislator itu tentang KPK sebagai lembaga ad
hock yang artinya “sementara”. Arti kata “ad hock”, bukanlah “sementara”
tetapi “maksud atau tujuan tertentu”.
Jika KPK lembaga dibentuk untuk sementara, bukan lembaga ad hock namanya, melainkan lembaga “ad interim yang artinya “maksud atau tujuan tertentu”.
Hal ini dapat dilihat dalam Black's Law
Dictionary, ad hoc artinya: formed for a particular purpose (Latin).
Sedang ad interim artinya: in the meantime, temporarily
(Latin). Jadi, istilah ad hoc yang dipahami publik termasuk senator
di senayan itu kurang tepat untuk disandangkan kepada KPK. Oleh karena itu, KPK
dibentuk bukan sebagai lembaga sementara (ad
hock), melainkan untuk tujuan atau maksud tertentu (ad interim) yaitu mencegah dan memberantas
korupsi. Karena KPK adalah untuk mencegah korupsi, maka sekalipun
Indonesia bersih dari korupsi, KPK tetap masih dibutuhkan. Sebab itu, tidak ada alasan
untuk membubarkannya. Berkaca pada Komisi
Pemberantasan Korupsi di Hong Kong yang bernama “Hong Kong Independent Commission
Against Corruption (ICAC)”. Lembaga ini didirikan sejak tahun 1974 dan
masih eksis hingga kini. ICAC sukses membuat Hongkok bersih dari korupsi.
Selain itu, seharusnya bukan KPK justru dibubarkan tetapi memasukkannya dalam konstitusi (UUD),
seperti Singapura (CPIB) yang dibentuk tahun 1952, KPK Malaysia (MACC) yang
dibentuk tahun 1967 dan KPK Argentina (1999). Kedua, KPK
harus minta izin pengadilan sebelum menyadap calon koruptor (Pasal 14
Ayat (1) huruf (a)). Selama ini, penyadapan adalah senjata ampuh KPK. Ini
membuat KPK bisa melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang membuat para
koruptor tidak bisa berkutik. Misalnya, OTT terhadap Akil Muchtar dan Anas Makmun serta Gary, anak buah OC Kaligis. Bila
harus ijin pengadilan, itu namanya juga konyol. Masakan KPK harus ijin kepada
lembaga yang banyak oknumnya juga adalah pencuri. Terbukti banyak hakim dan
jaksa yang terlibat penyuapan. Bila KPK harus ijin pengadilan, bukan tidak
mungkin mereka membocorkan informasi dan memeras para calon koruptor yang
diincar KPK. Di samping itu, bila DPR mendapati KPK melakukan penyadapan yang
melanggar privasi dan kode etik dalam berkomunikasi, seharusnya bukan mewajibkan
KPK ijin pengadilan sebelum penyadapan, tetapi membuat sebuah regulasi tentang
kode etik penyadapan yang ketat dan terkontrol agar KPK mempunyai pedoman yang
tepat. Ini artinya DPR frustrasi terhadap KPK karena takut disadap ketika
melakukan korupsi. Ketiga, Pelimpahan kasus ke Kejaksaan dan Kepolisian (Pasal 13), KPK tidak
memiliki penuntut (Pasal 53 ayat 1) karena itu, KPK tak
berwenang melakukan penuntutan (Pasal 7 huruf d). Setidak-tidaknya ini
berawal dari kekalahan KPK dalam praperadilan yang dilakukan Budi Gunawan, Ilham Arifin
dan Hadi Purnomo
beberapa waktu lalu. Sehingga banyak kalangan yang mengatakan bahwa KPK
menetapkan seseorang tidak berdasarkan bukti yang kuat. Tetapi pertanyaannya:
apakah peradilan ini benar-benar menguji alat bukti dari KPK? Kasus Ilham
Arifin misalnya, itu tidak benar-benar menguji alat bukti, baru memutuskan
praperadilan yang mengalahkan KPK. Ini Buktinya pengadilan tidak becus
dalam memberantas korupsi. Jadi, kekalahan KPK tidak murni karena KPK tidak kuat alat bukti,
tetapi karena pengadilan kurang menguji alat bukti dari KPK dalam menetapkan
seseorang menjadi tersangka. Selain itu, ketika pengadilan dan mabes polri yang
oknum-oknumnya banyak juga menjadi koruptor, belum lagi tingkat kepercayaan
masyarakat (public trust) terhadap polri saat ini sangat rendah, apakah menjamin
itu tidak diputarbalikkan. Kalau kedua lembaga tersebut mampu mencegah dan
memberantas korupsi, mengapa harus ada KPK?
Kecurigaan Publik dan DPR Suka Buat Gaduh
Kinerja DPR
saat ini dinilai sangat rendah. Salah satu indikatornya, dari 38 RUU yang harus
disahkan 2015 ini, baru 2 RUU yang berhasil disahkan. Publik curiga, DPR hanya
perjuangkan kepentingan pribadi dan partai. Kecurigaan buruk Publik terhadap
DPR, timbul sejak disahkannya UU MD3, yang tidak prorakyat, dan dilakukan dalam
waktu yang sangat singkat di saat perhatian pemerintah dan publik fokus dengan
pembentukan kabinet kerja Jokowi JK. Kini publik menjadi lebih tidak percaya
DPR dengan RUU KPK. Dari sudut pandang proses legislasi, RUU KPK tidak masuk
dalam prolegnas yang harus dibahas tahun 2015. Tetapi mengapa tiba-tiba masuk
dalam prolegnas? Padahal ada yang lebih urgen, seperti KUHP, UU antikrupsi, UU
MD3 tentang calon tunggal kepala daerah. Itulah yang membuat masyarakat semakin
curiga bahwa benar ada konpirasi busuk dari para legislator itu untuk membunuh KPK.
Selain itu, DPR memang tidak bosan membuat gaduh sejak mereka belum dilantik.
Lucunya, itu sama sekali tidak urgen dan bukan suara rakyat. Mulai dari gaduh
koalisi dan oposisi, merebut jabatan Ketua DPR
sampai muncul istilah “ketua DPR tandingan”, dana aspirasi 20 miliar per
anggota setiap tahun, kenaikan upah di saat ekonomi negara terpuruk, usulan
membangun gedung baru, “ziarah” ke luar negeri dan sekarang kontroversi RUU
KPK. Oleh sebab itu, ada benarnya kata orang, dari pada KPK yang dibubarkan, lebih
baik kita revisi UUD 1945 dan bubarkan DPR. Karena DPR sendiri adalah biang
korupsi.