Jangan Lacuri Bumi Cendana
Tuhan menciptakan Tanah Timor dengan kekayaan yang tak
terhingga. Walaupun alamnya keras, gersang, curah hujan rendah yang menganak
kekeringan, tetapi alamnya sungguh eksotik nan menarik. Di sana-sini ada wangi Cendana.
Ada mangan, pasir besi, nikel dan bahkan emas. Kira-kira itulah yang telah
menarik perhatian para pengusaha tambang untuk mengeruk isi perut Tanah Timor
yang dulu khas dengan wangi Cendana. Bagai gadis desa yang polos dan menjaga
keperawanannya, sejak lama potensi itu tersimpan rapih tak tersentuh dalam
perut Bumi Cendana. Tetapi kini gadis desa itu tak lagi perawan karena dilacuri
oleh para mafia dari kota. Merekalah para
pengusaha tambang yang sedang dan akan terus mengikis habis kekayaan di Tanah Kerajaan
Amanatun ini. Bilamana isi buminya habis, investor tambang itu bakal pergi
meninggalkan bopeng-bopeng bekas galian tambang sambil berkata “Emang gue pikirin?! Itu bukan urusan gue!”.
Investor tambang bak dewi fortuna yang datang dengan iming-iming keuntungan dan
kesejahteraan semu. Para pengawal (Pemerintah daerah) pun bertekuk lutut di
depan mata para penjahat lingkungan ini. Tidak bisa berkutik sedikit pun karena
mata terbelalak oleh lembaran rupiah mengatasnamakan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dan pertumbuhan ekonomi, tetapi mengesampingkan kelestarian lingkungan.
Karena bila PAD meningkat, maka rekening oknum penguasa di daerah pun ikut
gendut. Belum lagi hasil dari “nyogok sini, nyogok sana, peras sini, peras sana” untuk memuluskan
Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Mereka lupa atau sengaja membangkang bahwa Tuhan
menitipkan alam semesta ini untuk dijaga dan dirawat demi keberlangsungan hidup
manusia di bumi, yang mana suatu saat nanti, ketika ajal menjemput akan ada
pertanggunganjawab menurut perbuatannya masing-masing. Mereka tidak lagi peduli
dengan kehidupan anak-cucu di masa mendatang.
Sebagai rakyat NTT yang merasa iba dengan masyarakat
sekitar lokasi tambang, termasuk Gereja Tuhan dan pegiat lingkungan lainnya yang
sedang berjuang atas nama keadilan dan hak-hak mereka yang telah “disodomi”
oleh investor tambang, batin saya masih terbekas oleh pernyataan oknum Anggota
Dewan, yang sedang melenggang jadi ketua DPR di Senayan (katanya dia wakili
rakyat NTT) yang mengecam Gereja Tuhan akibat menentang masuknya investor
tambang ke NTT. Sungguh ironis, para pemimpin kita yang mengerti dan paham aturan
dunia dan akhirat, bertindak konyol seperti orang kurang waras demi meraup
untung dari eksploitasi lingkungan hidup. Pasti mata hati mereka sudah dibutakan
oleh rupiah dan harta yang fana.
Tambang Rawan Konflik
Pemerintah daerah seharusnya membuka mata
lebar-lebar, sebab pengalaman di daerah lain mengajarkan, dimana ada tambang,
di situ juga ada potensi konflik horizontal. Buktinya, kasus pembunuhan aktivis
lingkungan, Salim Kancil di Lumajang, Jawa Timur, Penembakan warga di
Motoling Picuan, Minahasa, konflik tambang emas Gunung Botak, Kecamatan Waeapo,
Pulau Buru, Maluku, dan masih banyak lagi pengalaman di daerah lain yang harus
dipetik. Tindakan yang kerap dipertontonkan
para investor tambang adalah menerobos tanah penduduk sekitar tambang secara
brutal. Tindakan seperti ini akan memancing kemarahan warga, maka timbullah
perang. Dalam kasus ini, mengingat orang Timor yang identik dengan kepemilikan
tanah ulayat, menjadi embrio konflik yang sebentar lagi meledak seperti bom
waktu.
Selain
itu, pertambangan tidak membawa berkah bagi masyarakat di daerah yang
bersangkutan. Janji kesejahteraan oleh para penjahat lingkungan itu hanya sebatas
kata-kata indah yang mengelabui. Kita belajar dari Papua pemilik Freeport, NTB yang
empunya Newmont Nusa Tenggara, sebagian daerah Kalimatan dan Sumatra yang
mempunyai tambang batubara tetapi rakyatnya tetap hidup serba kekurangan. Para pengusaha
tambang selalu menjanjikan lowongan kerja untuk tenaga kerja lokal. Memang
benar ada lowongan kerja, tetapi paling-paling jadi kuli dan satpam. Tenaga
kerja lokal jadi security itu, ibarat dogi yang menjaga rumah pemilik tambang. Sekaligus
seperti senjata pamungkas untuk melindungi para pejahat lingkungan ini dari gangguan
masyarakat sekitar yang merasa tanah mereka dicaplok secara brutal dan hak-hak
mereka dilecehkan. Faktanya baru saja terjadi. Pegiat lingkungan Romo Yohanes
Kristo Tara dan salah satu anggota DPRD TTS hampir menjadi korban amukan Satuan
Pengamanan (Satpam) PT. Soe Makmur Resources (SMR) di Desa Supul, Kecamatan
Kuatnanan, Kabupaten TTS beberapa hari lalu. Ini fakta membuktikan bahwa Tambang
itu adalah sumber konflik dan pekerja lokal hanya jadi penjaga rumah pengusaha
tambang. Karena itu, mari mencegah, jangan tunggu jatuh korban baru pemerintah mulai
kebablasan dan saling melempar kesalahan.
Kembalikan Wangi Cendana
Bila
pertambangan menebas semua tumbuhan dan batuan termasuk isi perut bumi yang ada
dalamnya, beda dengan cendana yang menghijaukan dan menjadikan lingkungan indah
nan asri serta wangi. Menanam anakan cendana, ibarat melakukan reboisasi untuk menjaga
lingkungan alam. Beda dengan tambang yang justru mencerai-beraikan lingkungan
hidup. Cendana memang mebutuhkan proses yang panjang untuk dipanen, tetapi menjanjikan
masa depan indah nan cerah. Tambang memang instan hasilnya, namun masa depan lingkungan
pasti suram. Hasil Penelitian tentang
perbenihan, pembibitan dan penanaman cendana menggunakan tehnologi tepat guna dan mutakhir yang dilakukan oleh berbagai
kalangan yang melibatkan berbagai kampus ternama di NTT tidak tahu ke mana
rimbanya. Tidak ada tindak lanjut yang konkrit dari pemerintah daerah. Hati
mereka masih jatuh terkapar pada para penjahat lingkungan demi pembangunan yang
semu. Padahal Cendana adalah milik penduduk asli di Tanah Timor. Namun,
pemerintah lebih memilih merusak lingkungan dengan tambang daripada mengembalikan
wangi cendana di Kerajaan Amanatun. Kini
pilihan hanya dua, rawat tanah timor dan kembalikan wangi cendana, atau lacuri
tanah Timor dengan eksploitasi isi perutnya dan masa depan kita hancur.