Jalan Mulus Ditambal, Jalan Berlubang Dibiarkan
Infrastruktur
jalan dan jembatan adalah jantung utama sebuah daerah guna mendukung mobilitas
perekonomian sehari-hari masyarakat. Karena jalan dan jembatan dapat mengkoneksikan
banyak tempat atau daerah. Selain itu, kualitas infrastruktur jalan juga
mempengaruhi harga komoditi di suatu daerah. Oleh sebab itu, seringkali
pembangunan dan perbaikan jalan menyita perhatian pemerintah. Jalan dapat
diklasifikasi berdasarkan fungsi, administrasi pemerintahan dan kelasnya.
Berdasarkan fungsi, jalan terdiri atas, jalan arteri (melayani angkutan utama
jarak jauh), jalan kolektor (melayani angkutan jarak sedang), jalan lokal
(melayani angkutan jarak pendek atau angkutan setempat) serta jalan lingkungan
(melayani angkutan lingkungan dengan ciri jarak dekat dalam lingkungan).
Berdasarkan administrasi pemerintahan, jalan terdiri dari jalan nasional (jalan
arteri), jalan propinsi (jalan kolektor), jalan kabupaten (jalan lokal), jalan
kota (melayani angkutan pemukiman dalam kota dan antar pusat pelayanan lainnya)
serta jalan desa (jalan lingkungan). Sementara berdasarkan kelas, terdiri dari
jalan kelas I dan kelas II dengan izin muatan terberat 10 ton, kelas IIIA,
IIIB, dan IIIC izin muatan terberat 8 ton. Karena itu, kualitas jalan Nasional
(kelas I dan II) harus lebih baik dari jalan kelas III A, B dan C. Hal itu pula
di atur dalam PP Nomor 34 tahun 2008 tentang klasifikasi dan pembagian fungsi
jalan. Di NTT, kota Kupang khususnya, klasifikasi dan pembagian fungsi jalan
itupun demikian. Ada jalan negara, jalan propinsi dan jalan kabupaten/kota
serta jalan lingkungan.
Kualitas jalan
di NTT terutama jalan propinsi di kota Kupang, kini menjadi sorotan publik.
Pasalnya, banyak jalan yang rusak bukan karena termakan usia tetapi rusak
karena kualitas buruk. Ironisnya, sejumlah titik jalan yang rusak ini adalah
jalan propinsi. Berkali-kali diperbaiki dengan cara menambal sulam tetapi hanya
selang 3-4 bulan saja kembali menjadi kubangan lumpur ketika hujan mengguyuri.
Pada dasarnya, pemerintah punya niat baik untuk membangun dan memperbaiki jalan
tetapi kualitasnya yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Ini akibat tambal
sulam jalan hanya dilakukan “asal bapa
senang”. Jalan yang rusak ini, tidak jarang membuat macet lalu lintas dan
menimbulkan kecelakaan pengguna jalan.
Tidak ada Prioritas
Tambal sulam
jalan yang “masih mulus” adalah hal biasa, yaitu dengan maksud untuk menebalkan
sekaligus meningkatkan kualitas jalan. Tetapi, yang tidak biasa ketika
pemerintah menambal jalan yang mulus, tetapi membiarkan jalan yang rusak dan berlubang
serta bergelombang. Fenomena jalan berlubang di Kupang telah banyak menimbulkan
kecelakaan. Contohnya, Jalan Eltari
yang masih mulus, (tidak mulus-mulus amat juga, namun setidaknya agak lumayan
daripada yang lainnya) sekarang sedang ditambal, membuat saya sedikit heran. Mengapa
pemerintah justru lebih suka “memperbaiki
yang tidak rusak” dan “meninggalkan yang rusak”? Ibarat orang yang tidak
sakit namun diberi obat. Pemerintah seharusnya tahu dan paham yang namanya
prioritas, sehingga dengan demikian, mendahului memperbaiki jalan yang rusak,
berlubang dan bergelombang ketimbang “menyulam” jalan yang masih bagus. Selain
itu, dinas bina marga harus lebih proaktif dalam memonitor setiap proyek
infrastruktur yang dieksekusi untuk memantau kualitas pekerjaan jalan. Sebab,
banyak kontraktor nakal dan mata duitan yang mengerjakan proyek jalan tidak
sesuai dengan spesifikasi yang disepakati, yang ujung-ujungnya jalan di Kupang
ini menjadi kubangan lumpur setiap musim hujan tiba sekaligus mencelakakan para
pengguna jalan yang dipihak lain, setiap tahun membayar pajak tetapi pelayanan
pemerintah jauh dari harapan.
Disamping itu,
infrastruktur jalan di Kupang cukup memprihatinkan. Jalan akses ke pusat
pendidikan saja yang seharusnya mendapat perhatian oleh pemerintah,
ditinggalkan “berlumpur dan berdebu”. Salah satunya adalah jalan masuk menuju STIKES
MARANATHA. Sudah bertahun-tahun jalan akses ke sekolah tinggi kesehatan ini dikeluhkan
orang-orang yang lewat termasuk dosen dan mahasiswa. Dan menurut berita, di
sana juga ada rumah Anggota Dewan, yang sehari-hari merasakan dan menikmati
langsung bagaimana berjalan di atas batu dan berdebu, tetapi tidak bisa
memperjuangkan. Padahal ini adalah jalan ke pusat pendidikan.
Hak Pengguna Jalan dan Kewajiban Pemerintah
Sesungguhnya,
ada harapan baru yang datang dari Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Dalam ketentuan pidana Pasal 273 tertera
bahwa “Setiap penyelenggara Jalan yang
tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga
menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang
dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”. Ketetuan selanjutnya Pasal
273 tersebut yang dapat kita lihat adalah sanksi pidana untuk Penyelenggara
Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak, yaitu:
(1) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). (2) Dalam
hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain
meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta
rupiah). (3) Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan
yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling
banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
Mengenai penyelenggara
jalan, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sama sekali
tidak mendefinisikan Penyelenggara itu siapa. Tetapi Merujuk pada undang-undang republik indonesia
nomor 38 tahun 2004 tentang jalan,
pada pasal 15 dan 16 Penyelenggara
itu adalah: Pemerintah (Kementerian Pekerjaan Umum) yaitu Jalan Nasional, Pemerintah
Provinsi (Dinas Pekerjaan Umum) yaitu Jalan Provinsi, Pemerintah Kabupaten
(Dinas Pekerjaan Umum) yaitu Jalan Kabupaten dan Jalan Desa, Pemerintah Kota
(Dinas Pekerjaan Umum) yaitu Jalan Kota. Hak Korban kecelakaan jalan rusak diatur dalam Pasal 240 dan Pasal 241 UU No. 22
Tahun 2009 korban Lakalantas berhak mendapatkan
Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas
terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah; Ganti kerugian dari
pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas; dan santunan
Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.
Oleh sebab
itu, pemerintah di NTT harus lebih memprioritaskan hal-hal yang bersifat
“urgen” dari pada mengurus hal yang tidak urgen.