Seruan Moral untuk Pilkada Sarai
Berjalan seiring dengan hendak
dimulainya perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Sabu Raijua
(Sarai) suhu politik pun mulai memanas. Pasangan-pasangan Calon yang ingin dan
tetap menjadi nomor satu di Sarai yang telah dan akan mendeklarasikan diri,
satu demi satu mulai menggalang dukungan, baik lewat media cetak, elektronik
maupun media sosial. Setali tiga uang, seperti biasanya pilkada di Indonesia,
wajah-wajah Pasangan calon mulai terpampang dimana-mana. Sedikit komparasi dengan
gaya sosialisasi diri para kandidat pemimpin di Jepang. Di sana, sangat
sederhana dalam mensosialisasikan diri dan kampanye. Penyampaiannya cukup
dengan menggunakan pengeras suara portable di pinggir-pinggir jalan, atau
perempatan jalan, tidak ada special place,
apalagi dangdutan seperti di Indonesia yang mahal dan glamour.
Kembali ke topik, model komunikasi
politik Aristotelas mengatakan bahwa terdapat tiga bagian dasar dari komunikasi
yaitu, speaker (pembicara), message (pesan) dan listener (pendengar). Proses tersebut terjadi ketika speaker
menyampaikan message kepada listener dengan tujuan untuk mempengaruhi
atau mengubah prilaku mereka. Inti dari model ini adalah persuasi dan pengaruh
yang hendak dicapai oleh seseorang yang dipercayai oleh publik. Dari sudut
pandang komunikasi tersebut, maka yang sedang terjadi di Sarai saat ini adalah
proses penyampaian message oleh para
balon yang bergerak sebagai speaker untuk
mempengaruhi masyarakat Sarai sebagai listener.
Sesungguhnya tidak ada masalah ketika itu hanya retorika yang membawa pesan
tanpa menyudutkan pihak lain. Yang perlu menjadi perhatian adalah fenomena
komunikasi politik di Sarai saat ini. Tidak dapat dielakkan, bahwa terdapat
pendukung para calon yang mencoba mempertahankan pilihan dengan cara yang
kurang relevan dengan komunikasi politik yang profesional. Biasanya,
pihak-pihak seperti ini akan selalu berangkat dari masa lalu “lawannya”. Semua masa lalu buruk, bahkan
yang baik pun diburukkan untuk menjadi senjata untuk menyalahkan dan
menyudutkan serta melemahkan “lawan politik”. Komunikasi politik seperti ini,
sangat potensial akan terjadinya konflik horizantal. Sebab, pihak-pihak yang
merasa disudutkan akan melawan dan akan terjadi saling “serang” dan menimbulkan
propaganda. Hal inilah yang harus di hindari sekaligus menjadi tanggungjawab
para pasangan calon dan juga para supporter. Sebab, itu bukan komunikasi
politik yang baik dan profesional.
Komunikasi politik yang baik dan
profesional adalah calon atau para pendukung berusaha mempengaruhi konstituen, dalam hal
ini masyarakat Sarai, dengan menunjukkan atau memperlihatkan kredibilitas,
integritas, senergitas, keprofesionalan, kemampuan dan pengaruh calon yang
bersangkutan, tanpa harus memprovokasi, menyudutkan, melemahkan, menyalahkan dan
menyerang lawan politiknya. Model komunikasi politik seperti ini adalah salah
satu wadah sekaligus tanggungjawab kita bersama untuk memberikan pendidikan
demokrasi kepada khalayak ramai dalam hal ini masyarakat Sarai. Oleh karena
itu, semua pihak terlebih para Pasangan calon, partisipan, tokoh agama dan
tokoh masyarakat sama-sama bahu-membahu untuk menekan terjadinya
pontensi-ptensi konflik horizontal yang dapat menecederai nilai-nilai
kekeluargaan, kebersamaan, persaudaraan dan persekutuan masyarakat Sabu Raijua
yang selama ini terbina dengan baik, yang pada notabenenya Sarai baru memulai
fondasi pembangunan karena termasuk Kabupaten bungsu di NTT. Sehingga siapa pun
yang terpilih, akan menjadi Bupati kita bersama yang bekerja tanpa membedakan
suku, ras dan agama, serta dapat melupakan siapa yang mendukung dan siapa yang
tidak mendukung pada saat pilkada masih berlangsung. Karena kebesaran dan
kerendahan hati seorang pemimpin adalah yang kalah menerima kekalahan dan yang
menang bertanggungjawab terhadap kemenangan, juga yang dapat merangkul yang
jauh terasa dekat, menjadikan lawan sebagai kawan dan kekuatan untuk melaju
bersama.
Ketika masyarakat di Sarai hanyut
oleh perbedaan pendapat dan terlena dengan pasangan calon idaman dalam pilkada nanti, pasti banyak gesekan
sosial yang mengganggu hubungan sahabat dengan teman, suadara dengan saudari,
atasan dengan bawahan, bahkan tidak menutup kemungkinan orangtua dengan
anak-anak demi mempertahankan pilihannya masing-masing. Sangat logis dalam era
demokrasi karena disitulah seninya. Rezim demokrasi memang membawa perbedaan di
antara kesamaan. Kita berbeda dalam berpendapat, bebas menyampaikan aspirasi
tanpa melanggar nilai-nilai etika dan moral. Tetapi pesan mulia Bhineka Tunggal
Ika menyuarakan kepada kita bahwa, sekalipun kita berbeda tetapi kita satu
tujuan yaitu untuk membangun Sabu-Raijua menjadi lebih baik.
Kami Rindukan Perubahan
Kabupaten Sarai baru berumur
kurang lebih lima tahun. Ibarat anak manusia yang baru masuk taman kanak-kanak.
Langkah demi langkah sedang diusahakan oleh pemerintah saat ini untuk
mewujudkan perubahan. Banyak para “penonton” yang pro, juga kontra terhadap
kinerja Bupati Marthen Dira Tome dan wakilnya Nikodemus Rihi Heke sebagai
“bintang lapangan” dalam pembangunan di Sarai. Pihak yang pro bilang mereka
berhasil membuat perubahan dengan indiktornya sendiri, tetapi pihak yang kontra
juga mempunyai indikator masing-masing sehingga mereka bilang belum berhasil.
Entah berhasil atau tidak berhasil, kita semua punya mata untuk melihat dan
telinga mendengar apa yang terjadi di sana. Kita juga kadang seperti penonton
yang merasa lebih hebat dari pemain. Tetapi di lain pihak para pemain juga
harus belajar teori sebelum praktek dan itulah yang dimiliki oleh para
penonton. Artinya, baik yang pro maupun kontra adalah sama-sama menjadi kekuatan
untuk kita terus berjalan. Sebab yang kontra kadang membuka mata kita terhadap
apa yang belum kita lihat karena terlena dengan pujian mereka yang pro terhadap
kita. Itulah bumbu-bumbu yang menambah nikmatnya sebuah kepemimpinan.
Bertalian dengan perubahan, siapa
yang siap menjadi pemimpin wajib hukumnya membuat perubahan ke arah yang lebih
baik. Jangan jadi pemimpin kalau tidak mampu membuat perubahan. Sebab ini bukan
ajang untuk coba-coba. Karena itu, yang kami rindukan bukan perdebatan
panjang, tetapi relevansi kata dengan tindakan. Kami tidak butuh
pemimpin yang bertopeng ketika masih jadi calon tetapi topengnya dibuka ketika menjadi
pemimpin. Jangan menjadi bupati titipan para pengusaha untuk menggerus sumber
daya alam di Sarai. Pemimpin yang kami dambakan adalah yang mengharamkan KKN
dan menyayangi rakyat tanpa pandang bulu. Jadi bupati bukan peluang untuk memperkaya
diri dan balas dendam serta ditunggangi dengan hawa nafsu dunia, tetapi yang bekerja
keras bagi anak-anak yang putus sekolah, fasilitas pendidikan yang jelek, pelayanan
kesehatan yang buruk, lingkaran setan kemiskinan yang melilit orangtua kami, dan
pembangunan infrastruktur yang terbengkalai. Bukan juga retorika dari balik
meja, tetapi simpati yang melahirkan empati untuk bekerja keras yang kami butuhkan.
Bukan soal banyak dan bobotnya program kerja, tetapi realisasi yang kami
butuhkan. Kami benci pemimpin yang sombong, arogan, anti kritik, dengki,
lalai, suka bohong, numpang populer. Sebab, yang kami butuhkan adalah pemimpin
yang merendahkan diri menjadi pelayan bagi warganya.