Rakyat NTT dalam “Lingkaran Setan”
Bagi
orang-orang yang tahu, mengerti dan peduli dengan keadaan rakyat NTT saat ini,
mungkin hanya bisa mengelus dada dan meneteskan air mata. Sudah lebih dari setengah
abad, propinsi ini berdiri, dengan cita-cita luhur untuk mensejahterakan rakyat
(alih-alih mau sejahtera, makan saja susah), Tetapi Kemiskinan, Kelaparan, anak-anak
gizi buruk, pelayanan birokrasi dan kesehatan serta pendidikan yang buruk,
kualitas SDM yang rendah, perdagangan manusia merajalela, penegakkan hukum yang
mati suri, infrastruktur jalan, kesehatan dan pendidikan yang buruk, dana
bansos “dimakan tikus” semuanya lengkap
dan ada di sini, di “negeri” ini. Yah,
sudah tidak ada kata-kata lagi yang dapat menggambarkan betapa runyamnya “negeri ini”. Bobrok, jelek, jorok,
sepertinya kata-kata itu masih lebih baik dari keadaan kini. Rasanya, sudah
tidak ada kalimat yang bisa dirangkai untuk menjelaskan bagaimana para “pengurus” daerah ini bekerja. Sekalipun
emosi bergejolak dalam dada, tetapi mau teriak minta tolong, apakah ada yang
mau mendengar? Mau marah dan memaki, tetapi kepada siapa? Mau tetap diam, namun
takut mati dalam kekonyolan? Mau mencari
kesalahan, sepertinya bukan saat yang tepat lagi.
Mereka, “para
pengurus” daerah ini sedang asik menikmati hidup dengan makanan yang melimpah,
uang di rekening yang gendut, rumah dan mobil mewah, anak-anak mereka menikmati
sekolah yang berkualitas di pusat-pusat kota, sedang anak orang miskin di
pinggiran, “sekolah bersama kambing di dalam kelas”, para istri pejabat keluar
masuk tempat perbelanjaan mewah, sedang istri petani sedang mengais rejeki dari
balik tanah gersang, yang lain lagi sedang sibuk dengan urusan “proyek siluman”,
sibuk mencuri uang rakyat, para pejabat sibuk dengan “perjalanan dinas” terbang
ke sana ke mari, wakilnya ribut dengan gaji ke-13, para mantan kepala daerah
masuk keluar rumah tahanan karena menjadi “tikus
berdasi” di kala menjabat, kantor gubernur terbakar atau sengaja “dibakar” (yang
kasusnya sudah terbenam entah kemana) supaya ada proyek untuk bangun gedung
baru. Hal-hal itu semua membuat mereka, lupa diri, mata hanya tertuju pada
harta, hati nurani seperti sudah tak berfungsi, seakan lupa dan menutup mata bahwa
rakyatnya sedang berteriak kelaparan dan anak-anak “perut kembung” karena
busung lapar, pelayanan kesehatan dan pendidikan buruk bahkan jorok di
desa-desa di pinggiran NTT.
Ini adalah
lingkaran setan yang sedang melilit daerah ini. Setiap tahun ada triliunan
rupiah digelontorkan untuk pembangunan, tetapi NTT tidak bergeser dari urutan 30-an
propinsi termiskin di Indonesia. Kualitas pendidikan dan tingkat partisipasi
sekolah pun demikian. Infrastruktur jalan rusak dan berlubang dimana-mana, hari
ini tambal, besok jadi kubangan lumpur lagi, tidak berlubang pun jalannya pasti
“bergelombang”, nyawa pengguna jalan terancam, padahal mereka membayar pajak, lampu
jalan tidak ada, gelap gulita, ruang publik dibangun hotel mewah, wisata
terbenkalai, dan seterusnya.