Nasib Mereka Korban Dualisme PGRI NTT
Dalam
kehidupan ini, ada paham yang beranggapan bahwa terdapat dua prinsip yang
saling bertentangan (seperti ada kebaikan ada pula kejahatan, ada terang ada
gelap). Atau dengan kata lain terdapat keadaan bermuka dua, yaitu satu sama
lain saling bertentangan atau tidak sejalan. Itulah ini lebih dikenal dengan “dualisme”. Istilah ini menjadi lebih populer
di telinga kita ketika ada organisasi yang mempunyai dua pemimpin yang saling
bertentangan, bahkan saling menjatuhkan satu dengan yang lain untuk merebutkan
pucuk kepemimpinan tertinggi dalam organisasi yang bersangkutan. Misalnya
organisasi kepartaian, adanya dua pemimpin yang saling bertentangan. Contoh
konkritnya adalah adanya dualisme kepemimpinan di Partai Golkar, PKB, organisasi
olahraga di negeri ini pun seperti PSSI tidak luput dari kasus dua pemimpin
yang merebutkan jabatan tertinggi, sehingga timbul gesekkan-gesekkan dalam
internal organisasi.
Dualisme
kepemimpinan ini mewabah kemana-mana. Kini dunia pendidikan pun terjangkit oleh
penyakit amoral ini. Kasus yang segar diingatan kita adalah adanya “dualisme” kepemimpinan di tubuh
Organisasi Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Cabang Kupang, NTT.
Sudah lama kasus ini bergulir. Setelah sempat hilang beberapa saat, kini mengemuka
kembali ke permukaan. Mengemukanya kembali kasus ini, tidak terlepas dari isu
adanya pengguna ijazah palsu atau gelar bodong di negeri ini, termasuk rektor
Universitas PGRI NTT, Samuel Haning. Tidak hanya Haning, ada banyak orang yang menjadi
pengguna ijazah bodong ini. Tentu hal ini sangat disayangkan, karena merusak
citra pendidikan dan jiwa intelaktualistas anak bangsa. Tidak berlebihan bila
ini dikatakan “tindakan amoral” di
dunia pendidikan.
Kembali
ke topik. seperti umumnya, dualisme kepemimpinan selalu menyumbang masalah yang
berdampak negatif terhadap masa depan organisasi dan bahkan orang-orang yang
ada di luar organisasi. Karena orang-orang yang saling “merebut” jabatan dalam organisasi yang bersangkutan, akan saling “makan-memakan” satu dengan yang lainnya.
Bahkan semua unsur-unsur dalam oragnisasi (anggota organisasi) akan berada
dalam keadaan yang dilematis bagai telur di ujung tanduk, kepada siapa mereka mengarahkan
loyalitas. Dukung A, tetapi bila si A kalah dalam pertarungan, maka akan
memanen badai. Dukung B, bila si B tidak menang, tuaiannya kemalangan pula. Keadaan
itu, masih bisa ditolerir bila organisasi yang bersangkutan tidak bersangkut-paut
dengan kehidupan orang banyak. Dampak negatifnya hanya pada orang-orang atau
anggota-anggota organisasi. Tetapi, bila organisasi yang bersangkutan sedang
mengurus kehidupan orang banyak, maka disitulah terjangan badainya akan semakin
terasa.
Berkaca
dari itu, sambil mengingat bahwa PGRI NTT adalah organisasi yang bersentuhan
langsung dengan masa depan orang banyak, generasi-generasi penerus bangsa, maka
tidak diragukan lagi banyak orang yang akan menjadi korban. Para pemimpin (rektor
dan Yayasan PGRI Cabang Kupang) sedang berperang urat, bahkan saling “tikam-menikam” untuk merebut jabatan dan
kekuasaan yang fana, sementara para mahasiswa sedang dirundung perasaan dilema
dan ketidakpastian. Masing-masing mempunyai rektor. Rektor “bergelar doktor bodong” versi Sam Haning yang didukung oleh PGRI
pusat, terus mempertahankan kekuasaannya, dan tetap kokoh memeluk erat
jabatannya sebagai pemimpin tertinggi di PGRI NTT. Sementara itu, Yayasan PGRI
Cabang Kupang terus mengeksiskan dan mempertahankan dirinya dengan melantik rektor
dan para pengurus versinya sendiri. Polemik demi polemik terus menguras
perhatian kaum-kaum yang peduli dengan kondisi pendidikan di NTT. Di lain pihak,
kini para korban (mahasiswa dan dosen) perebutan kekuasaan dan keegoisan para
pemimpin di Unversitas ini harus memilih dan memutuskan kemana mereka mendayung
perahu masa depan. Mau ikut Yayasan PGRI Cabang Kupang dengan rektor versinya
atau ikut Rektor Sam Haning dengan bekingan PGRI pusat. Karena awalnya semua mahasiswa
ada di bawah pimpinan rektor Sam Haning, maka kini, bila mereka ingin ikut
yayasan PGRI cabang Kupang, maka mereka harus mendaftarkan ulang ke yayasan
sebagai mahasiswa dan bagian dari yayasan. Keadaan yang hanya dapat dipahami
oleh hati nurani adalah, bila Yayasan PGRI Cabang Kupang berhasil menggeser Sam
Haning, maka malanglah nasib korban (mahasiswa dan dosen) yang berada dibawah
Sam Haning. Tetapi bila terbalik, Sam Haning mampu menumbangkan Yayasan untuk mempertahankan
kekuasaannya, maka mahasiswa yang telah mendaftarkan diri sebagai bagian dari
Yayasan, siap-siap gigit jari. Bila itu yang terjadi, siapa yang mau
disalahkan, bukankah semua mereka hanya berpangku tangan sambil tertawa di atas
penderitaan mereka yang menjadi korban?
Jangan Ego: Ingat dan Renungkanlah Masa
Depan Mereka
Perseteruan
ini belum ada titik temu. Sebab itu, saat ini, Kementrian Pendidikan Tinggi,
Riset dan Teknolgi melarang PGRI NTT untuk menerima mahasiswa baru tahun ini. Terlihat
sepintas, ini langkah penting yang dilalui Menristek, tetapi bila dikaji lebih
dalam, dan mengingat PGRI adalah salah satu Kampus terbesar dengan peminat yang
banyak di wilayah NTT, maka pertanyaannya, kemanakah anak-anak kita yang lulus
SMA akan melanjutkan studi bila kampus besar seperti Undana, Unwira dan Unkris tidak
menerima mereka? Ini hanya hati kecil yang bisa menjawab. Selain itu, jeritan-jeritan
hati mereka yang sedang belajar dan kuliah di PGRI bahkan alumni, dengan
tekanan-tekanan tertentu dalam keadaan yang dilematis seperti, perlu didengar dan
dipahami. Para orangtua menyekolahkan anak-anak mereka, mencari uang biaya kuliah
dengan membanting tulang di daerah-daerah, tetapi kampus tempat mereka belajar menjadi
tempat “perang” para pemimpinnya. Contoh
yang paling konkrit adalah masa depan alumni yang diteguhkan (wisuda) bulan Mei
yang lalu. Para korban ini harus berlapang dada untuk menunggu ijazah yang
tidak jelas kapan akan diterima untuk mencari pekerjaan karena masih bermasalah
dengan logo, tanda tangan dan hal-hal teknis lainnya. Ini akibat dari orang-orang
yang tamak dan tidak berhati nurani, gila kekuasaan, harta dan jabatan.
Para pemimpin silahkan “saling membunuh” tetapi sebelum itu terjadi, seharusnya sebagai
orang yang memiliki intelektual, tidak melupakan mereka yang nasibnya kini
bagai telur di ujung tanduk. Hal seperti ini sesungguhnya tidak perlu terjadi,
bila tujuan utama para pemimpin bukan jabatan dan kekuasaan yang kata
pengkhotbah bersifat fana dan sia-sia belaka. Mereka sudah sewajibnya menyadari,
bahwa tugas mulia ini untuk melayani, mendidik, menghasilkan para penerus
bangsa ini menjadi manusia yang unggul dan berkarakter baik guna membangun
daerah ini yang sedang berada dalam lingkaran setan kemiskinan, kelaparan, gizi
buruk, perdagangan manusia, SDM rendah, penegakkan hukum yang mati suri, dan
berbagai kemelut lainnhya. Bukan malah mengajarkan mereka sikut-menyikut satu dengan
yang lain. Ini adalah keperihatinan yang sangat mendalam dalam dunia pendidikan
kita. Kapan kita mengurus hal-hal yang esensial yang berhubungan dengan kualitas
pendidikan dan SDM di daerah ini bila para pemimpin institusi pendidikan masih
berkutat pada perebutan kekuasaan, harta, uang dan jabatan. Oleh sebab itu, yang
dibutuhkan, bukanlah egoisme dan saling menyalahkan, tetapi bagaimana konflik
ini diresolusi, duduk bersama untuk
menemukan solusi masa depan. Semoga peristiwa ini menjadi pengalaman berharga
bagi kita dan tidak terulang kembali.