Menggugat Birokrat Priyayi
Hingga
kini, stigma miris masyarakat bahwa birokrasi itu penuh aturan yang berbelit-belit,
kaku, prosesnya panjang, lamban, membosankan dan menyebalkan, belum juga sirna. Setidaknya ini
marupakan bagian integral dari kultur birokrasi kolonial yang telah meniggalkan
getah pahit dalam kultur birokrasi Indonesia, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau birokrat yang bermental priyayi. Sekedar untuk diketahui, sesungguhnya,
birokrasi hanyalah wadah bagi orang-orang yang bekerja untuk melayani publik.
Sebab, secara etimologis, birokrasi berasal dari kata “bureau (Biro)” berarti “meja” dan “Kratein (cracy)” yang artinya
“pemerintahan”, yang jika disintesakan berarti “Pemerintahan Meja”. Meja dalam hal ini kemudian dikonotasikan dengan
kantor. Itulah yang dimaksudkan Max Weber seorang ahli sosiologi Jerman sekaligus orang yang memperkenalkan istilah birokrasi.
Weber mengartikan birokrasi sebagai “struktur organisasi pemerintahan,
melalui kantor-kantor yang dibentuknya sehingga pemerintah dapat menjalankan
roda pemerintahan yang memiliki ciri-ciri harus mengikuti tata prosedur
pembagian tanggung jawab, adanya jenjang (hirarki), serta adanya sistem yang mengatur
semua sumber-sumber”. Orang-orang yang kerja dikantor pemerintah atau birokrasi
disebut dengan “birokrat atau PNS”. Merujuk
pada arti sederhana di atas, maka yang lamban
dan berbelit-belit, kaku dan membosankan serta menyebalkan itu,
sesungguhnya bukan birokrasi tetapi orang-orang yang bekerja di sana, yaitu birokrat atau PNS.
Namun,
dalam arti yang lebih luas, istilah birokrasi tidak terbatas pada kantor
pemerintah saja, tetapi juga di semua organisasi termasuk organisasi swasta dan
BUMN. Karena di pihak lain, birokrasi berkaitan dengan suatu sistem. Dalam
sistem itu ada administrasi dan garis komando. Seperti direktur (organisasi
swasta) hingga karyawan atau bawahan. Dan kesemuanya itu, berlangsung dalam
suatu sistem yang namanya birokrasi. Namun, dalam artikel ini saya batasi dalam
hal birokrasi pemerintah.
PNS Bermental Priyayi
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz pada tahun 1960-an,
dalam
kelas sosial masyarakat Jawa, terdapat tiga golongan, yaitu, priayi, santri dan abangan. Golongan Priyayi adalah keturunan bangsawan atau
berdarah biru. Kelompok santri
mengacu pada orang yang memiliki pengetahuan dan mengamalkan agama. Abangan
adalah mereka yang bukan priyayi dan juga bukan santri. Karenanya golongan Priyayi
mempunyai kelas tertinggi dalam masyarakat Jawa, sebab golongan ini adalah
keturunan dari keluarga kerajaan (Dua
kata Bahasa Jawa:”pri (para)”
dan “yayi (adik)” artinya
"para adik". Yang dimaksud adalah “para adik raja). Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengemukakan bahwa priyayi adalah orang yang termasuk lapisan
masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat. Kultur inilah yang masih
mewabahi birokrat/PNS kita. Seperti yang telah tersurat di atas, yang lamban dan
menyebalkan serta membosankan itu adalah para PNS atau birokrat. Fenomena kekinian adalah masih banyak birokrat yang
menganggap dirinya “raja”, sehingga
yang terjadi adalah “sang raja” maunya
dilayani, bukan melayani, maunya disapa, bukan menyapa, maunya dihormati, tidak
menghormati, maunya disenyumin, bukan tersenyum dahulu, tidak ramah, tetapi mau
diramahin. Itulah yang namanya “PNS bermental
priyayi”. Secara sadar atau tidak, mental menganggap diri “keturunan darah biru” ini telah
berlangsung secara masif dari generasi ke generasi dalam sistem birokrasi kita
yang digerakkan oleh para birokrat atau PNS.
Revolusi mental: PNS adalah Pelayan
Salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengurai
benang kusut dalam kultur birokrasi yang lamban, berbelit dan menyebalkan oleh
karena ulah para PNS bermental priyayi tadi, adalah, melalui Revolusi mental diseruankan oleh
Preseiden RI, Joko Widodo dalam upacara peringatan hari Korpri beberapa waktu
lalu, “PNS/Birokrat harus tahu diri”,
bahwa mereka adalah “PELAYAN PUBLIK”.
Kalau mereka pelayan maka masyarakat atau publik yang datang untuk mengurus
admnistrasi di birokrasi adalah “PELANGGAN”.
Bila itu yang terjadi, maka seharusnya terbalik, yang “priyayi” adalah
Pelanggan/masyarakat, bukan lagi PNS, (dalam hal ini saling menghargai dan
menghormati satu dengan yang lainnya). Konsep ini kurang lebih kita temukan di birokrasi
Perbankan. Prinsip dasar dalam standar operasional bank adalah “semua pelanggan adalah raja”, tanpa
pandang bulu, siapa pun kita. Karena itu, pelayanan di bank, sekalipun mungkin
prosesnya panjang, tetapi tidak membosankan dan menyebalkan karena kita datang,
pasti disapa, ditanya apa yang mereka bisa bantu, dilayani dengan ramah dan
senyum oleh para pelayannya. Beda jauh terpanggang api dengan pelayanan di
birokrasi pemerintah. Di samping itu, pemahaman tentang “birokrat adalah pelayan masyarakat”, kurang lebih ini bagian
solusi yang dibawa oleh konsep good
governance (tata kelola pemerintah yang baik).
Kurang lebih 17 belas
tahun sudah reformasi birokrasi berjalan, tetapi tanda-tanda signifikan munculnya
tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance: salah satu konsep dalam
reformasi birokrasi) belum juga terwujud. Cita-cita reformasi birokrasi menurut
good governance antara lain adalah terciptanya
pemerintahan (birokrat) yang responsif, berdaya tanggap, wawasan ke
depan, profesional, penegakkan hukum, transparan, akuntabilitas, efisien
dan efektif dalam menggunakan sumber daya. Dengan membaca
realita, pertanyaan besarnya adalah, apakah para birokrat, terutama birokrat di
NTT sudah profesional dalam menjalankan tugas, efisien - berdaya guna: tepat dan tidak membuang-buang
waktu, tenaga, biaya serta mampu menjalankan tugas dng tepat dan cermat, dan
efektif - berhasil guna: dapat
membawa hasil yang baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mempunyai wawasan yang luas, pengalaman dan cara
kerja yang ter-update dan memikirkan ke
depan, sudahkah birokrat kita mempunyai daya tanggap dan responsif terhadap
kebutuhan masyarakat yang semakin hari semakin kompleks, transparan dan bertanggungjawab
dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kedisiplinan dalam melayani pelanggan
(masyarakat), hukum ditegakkan tanpa pandang bulu? Bila itu semua sudah terwujud,
KKN tidak lagi ada, NTT bebas Politik
Sukuisme dan “politik dagang sapi”. Bila
itu semua sudah terwujud, maka baru era birokrat
priyayi berakhhir dan reformasi
birokrasi berhasil. Tetapi sayangnya, hal-hal itu masih sebatas angan-angan dan
retorika belaka yang kini sedang berharap cemas akan terealisasi lewat slogan
revolusi mental.