Melawan “Kepalsuan”
Melawan Kepalsuan
Sebagian “penghuni”
dunia pendidikan kita rupanya sedang sakit. Sakit jiwa dan juga moral. Pendidikan
kita sedang dilanda kegelapan akibat banyak mata yang tertutup akibat kelauan dunia. Yah,
kehidupan ini bagai putaran bumi mengintari matahari yang menyebabkan terjadi
siang-terang dan malam-gelap. Sekarang kini, kelihatannya, kita sedang berada
pada peradaban malam-gelap. Ini adalah Zaman Kaliyuga, Zaman Kegelapan. Seperti
berjalan di kegelapan, kita ini membutuhkan orang-orang-siang, atau dalam Injil
bilang, anak-anak terang untuk menerangi peradaban yang berada dalam gelap ini.
Tetapi, sayangnya, anak-anak terang itu, sangat sedikit jumlahnya dibanding
anak-anak malam-gelap. Bumi ini banyak yang hidup, tetapi hidup dalam
kegelapan. Lebih konyol lagi, hampir di semua bidang kehidupan, baik hukum,
ekonomi, pendidikan, kesehatan, apa lagi politik, dan bahkan agama, dikuasai
oleh orang-orang malam, atau anak-anak kegelapan. Yang palsu menutupi yang
asli. Sehingga semua rating-rating media yang mengupas kepalsuan, meninggi.
Bagaimana tidak, bidang pendidikan yang awalnya adalah sebuah
proses ilmiah dan bertahap untuk memanusiakan manusia, kini penuh dengan
kepalsuan dan rekayasa. Lebih celakanya lagi, kasus seperti ini sedang menjerat
para “gembala” (guru/rektor/wakil rakyat) kita. Faktanya masih segar diingatan
kita yang tidak sedang sakit amnesia, yaitu ijazah palsu. Rektor dan wakil
rakyat kita sendiri yang hidup dalam kepalsuan dan kebusukkan yang telah lama terbungkus.
Benar kata petuah kuno, “serapat apa pun
menutup sesuatu yang busuk, suatu saat akan tercium juga”.
Ijazah adalah surat tanda tamat belajar. Pada hakekatnya, tidak
ada seorangpun yang berhak mendapat ijazah bila tidak melakukan kewajibannya
untuk belajar sampai tamat. Ijazah juga adalah salah satu proses ilmiah untuk
mendapat pengkuan bahwa yang bersangkutan telah selesai melaksanakan
kewabijannya sebagai kaum terpelajar, sekalipun realitanya terkadang asimetris.
Selain itu, ijazah adalah bukti autentik yang keberadaannya tidak dapat
dibantah oleh siapa pun. Tetapi celakanya, untuk mendapat ijazah, banyak orang
tidak perlu susah-susah melakukan kewajiban belajar. Karena bisa mendapatkannya
secara instan yang penting punya duit. Seandainya para pelakunya sadar bahwa
ini bukanlah rimba yang berlaku hukum siapa yang kuat (kaya) dia yang menang, hal
itu tidak akan pernah terjadi. Semua punya kewajiban yang sama untuk ikut
proses belajar sebelum memperoleh ijazah. Sayangnya, sekali lagi mata mereka
sedang dibutakan oleh kelauan dunia yang fana ini.
Rupanya ada yang salah dalam
Pendidikan Kita!
Setidaknya, kasus ijazah palsu tersebut menunjukkan bahwa ada
yang salah dalam proses pendidikan kita. Orang tidak lagi mementingkan proses
belajar untuk mendapatkan ilmu, tetapi lebih berorientasi pada hasil akhir yang
diperoleh secara instan yaitu ijazah. Selain ijazah palsu, ujian nasional yang
selama ini seperti monster bagi para murid, sedang mengajarkan kepada kita juga,
bahwa pendidikan di negeri ini mementingkan hasil bukan proses. Banyak kejadian
pada saat ujian nasional, justru murid-murid berprestasilah tidak lulus ujian
lantaran tidak mencapai standar nilai ujian nasional. Lagi-lagi angka/nilai itu
menentukan hasil akhir. Dan sebaliknya, mereka yang biasa-biasa saja dapat
lulus karena faktor keberuntungan. Ditinjau dari sisi psikologi, orang tidak
lulus ujian, bukan karena ia kurang pintar, tetapi kemungkinan terburuk adalah karena
tertekan secara psikis, sebab pemerintah sendiri menciptakan ujian nasional bagaikan
monster yang menakutkan karena dapat menentukan keberlanjutan nasibnya, akan
terhenti sementara (tidak lulus) atau akan berlanjut (lulus) sehingga tidak maksimal
dalam mengerjakan soal-soal ujian. Belum lagi suasana saat ujian seperti
mencekam dan menakutkan. Dari fakta-fakta seperti ini, kita dapat premisnya, bahwa
ada yang perlu diluruskan dalam pendidikan kita. Di samping itu, saya menduga,
jangan-jangan anak-anak kita juga sudah “didoktrin”
sejak kecil bahwa sekolah itu hanya untuk mendapat nilai yang tinggi. Sampai
mahasiswa pun yang dikejar adalah IPK, bukan ilmu. Agar mendapat nilai tinggi,
maka ayah dan ibu, bapak dan ibu guru, menyuruh mereka menghafal pelajaran di
kelas. Saya tidak sedang menjelekkan siapapun disini, dan tidak bermaksud
menghafal itu tidak baik. Tetapi, maksud saya adalah, apalah gunanya menghafal
lima kali lima sama dengan dua puluh lima, kalau tidak tahu prosesnya.
Bukan Hasil tetapi Proses
Proses
lebih penting daripada hasil akhir. Proses adalah instrumen
esensial untuk mencapai baik-buruknya hasil akhir. Bagaimanapun
juga,
proses merupakan
mata rantai
untuk mencapai tujuan akhir. Tetapi akhir-akhir ini menjadi berbeda ceritanya,
karena waktu adalah uang, maka semua dituntut serba cepat dan instan, sehingga
seringkali orang melupakan yang namanya proses. Kalimat sederhana tetapi penuh
makna, “belajar tidak akan pernah bermakna tanpa suatu proses, karena belajar
yang baik adalah bagaimana proses mencapai kebenaran, bukan hasil akhir yang
benar yang kita dapatkan”. Ini menunjukkan bahwa hakikat hidup adalah proses
bukan hasil akhir.
Pendidikan adalah sebuah proses belajar-mengajar,
proses mentransfer ilmu dari guru ke murid dan bahkan sebaliknya. Sebab itu,
ijazah hanyalah hasil akhir dari sebuah proses yang panjang. Namun, fakta dalam
pendidikan kita berkata lain. Ini akibat masih banyaknya penganut paham atau
teori hasil bahwa sekolah itu untuk mendapat nilai berupa akumulasi angka di
atas kertas dan secarik kertas ijazah yang tidak bertahan pada air dan api.
Celakalah kita! Pendidikan tidak lagi mementingkan proses tetapi hasil akhir,
yaitu ijazah. Makanya yang penting punya ijazah, mau berilmu atau tidak, tidak
urus. Para penganut teori proses mengatakan bahwa, bila prosesnya baik, maka
hasil juga baik, dan begitu juga sebaliknya, proses buruk, hasilnya pasti
buruk. Artinya, yang paling penting dalam pendidikan adalah proses
(belajar-mengajar) bukan hasil akhir (ijazah). Karena itu, sekolah bukan untuk
mendapat ijazah, tetapi untuk memperoleh ilmu. Dari yang tidak ada, menjadi ada.
Dari yang tidak bisa, menjadi bisa.