Untuk Setya Novanto (SN): TOLAK TAMBANG!!!! Masa Depan NTT ada di Laut
Dewasa ini, negara-negara di dunia
sedang gigih mengksplorasi hingga mengeksploitasi sumber-sumber potensial demi pertumbuhan
ekonomi ala barat yang diyakini akan berdampak positif pada pembangunan dan kesejahteraan
rakyat. Pertumbuhan ekonomi menjadi tolok ukur bagi kemajuan suatu negara. Karena
itu, cita-cita luhur semua negara di dunia adalah menggenjot laju pertumbuhan
ekonomi yang tidak jarang mengesampingkan aspek-aspek lingkungan dan sosial
budaya. Salah satu caranya adalah mengeksploitasi sumber daya alam melalui
sektor pertambangan tanpa memperdulikan eksternalitas negatif yang
ditimbulkannya. Krisis lingkungan hiduppun tak terelakkan.
Indonesia adalah salah satu korban
dari rezim tersebut. Tawaran dan arus investasi di bidang pertambangan dari
investor dalam dan luar negeri terus mengalir. Pertambangan memang merupakan
satu bidang pembangunan yang dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi suatu
negara, tetapi pertambangan juga adalah satu dari bidang usaha eksploitasi
sumber daya alam yang sangat tidak ramah lingkungan. Untuk itu, setiap
pemerintah negara, berusaha guna mengatur pertambangan ini, tetapi bagaimanapun
juga, tetap saja tidak mampu mengantisipasi dampak negatifnya. Misalnya dalam UU
Minerba Pasal (1) ayat (16) tersurat bahwa “pertambangan harus mengadakan studi
kelayakan yang adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh
informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan
ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak
lingkungan serta perencanaan pascatambang”. Kendati demikian, implementasi UU
tersebut tidak seindah kata-kata yang dirumuskan di dalamnya. Aspek yang paling
lemah dalam implementasi UU lingkungan di Indonesia adalah aspek penegakkan
hukumnya. Semua UU yang disahkan mengkehendaki adanya penegakkan hukum terhadap
penjahat-penjahat lingkungan hidup, tetapi pelaksanaannya sangat lemah.
Tolak Pertambangan di NTT
Akhir-akhir ini, media masa di NTT
sedang hangat oleh isu pertambangan yang kembali mengemuka. Kurang lebih diawali
oleh pernyataan niat SN, salah satu wakil rakyat NTT yang lolos ke Senayan
untuk membangun tambang di daerah ini. Tetapi disisi lain, banyak masyarakat NTT
terutama gereja secara lembaga, menolak niat sang legislator yang sudah lebih
dari dua periode menikmati kursi empuk di Senayan atas dukungan rakyat NTT. Tidak
kalah bersaing, beberapa media online dan para pencinta dunia maya pun ikut
menjadi bagian dalam menanggapi pernyataan SN yang menyudutkan gereja sebagai
penghambat masuknya investor ke NTT. Sikap gereja bukan tidak berdasar, sebab berkaca
pada pengalaman daerah lain bahwa pengusaha tambang adalah penjahat lingkungan
yang tidak dapat ditolerir. Misalnya isu krusial yang hingga saat ini belum
ditemukkan ujung penyelesaiannya adalah Lumpur Lapindo di Sidoarjo, yang telah
meluluhlantakkan hampir sebagian daratan Sidoarjo, Jawa Timur, yang kini
menjadi lautan Lumpur yang kita kenal dengan “LUSI” (lumpur sidoarjo).
Kemudian ganasnya perusahaan tambang asal Amerika Serikat PT. Freeport
Indonesia yang menggerus bumi Cendrawasih, di Papua. PT. Newmont Nusa Tenggara
yang menggerus habis isi perut bumi NTB dan bopeng-bopengnya Bangka Belitung
oleh mesin-mesin penggerus PT. Timah, belum lagi penebangan hutan liar (ilegal logging) dan pembakaran hutan di
Kalimantan, Sumatra dan Aceh oleh perusahaan nasional maupun asing demi kelapa
sawit, pencemaran limbah pabrik dan ribuan bahkan jutaan peristiwa yang
mengancam keberadaan dan ketahanan alam semesta ini yang hampir pasti alam
tidak lagi mampu menyesuaikan diri untuk
tetap bertahan. Selain itu, gereja dihadirkan dalam dunia dengan membawa pesan
bahwa alam semesta ini harus dijaga dan dipelihara untuk kemuliaan Sang
Pencipta dan kebaikan manusia. Itu pesan universal semua agama di dunia ini. Karena
itulah mengapa gereja berseberangan bersikap dengan niat SN.
Masa Depan NTT ada di
Laut
Isu kemaritiman menjadi membumi
sejak Presiden Joko Widodo menetapkan sektor kelautan sebagai sektor unggulan dalam
arah kebijakan pembangunan nasional. Hal ini terdorong oleh fakta bahwa kekayaan
laut Indonesia tersimpan sejak beribu-ribu tahun lamanya di pulau-pulau yang tersebar
di 34 propinsi yang bersatu dalam kerangka NKRI. Satu diantaranya adalah
propinsi NTT. NTT masuk dalam daftar daerah kemaritiman Nusantara, tetapi arah kebijakan
pemerintah saat ini belum menunjukkan NTT adalah daerah maritim. Kebijakan pertanian
lahan kering yang sejak dahulu menjadi perhatian utama, belum mampu menjawab
kebutuhan pembangunan. Karena NTT adalah daerah tropis yang mempunyai curah
hujan yang sedikit dan dalam waktu yang tidak lama antara bulan Januari hingga
April. Sebab itu, pertanian bukan sektor yang menjanjikan. Kebijakan di bidang
peternakan yang digelorakan oleh Gubernur Lebu Raya hingga periode kedua ini tidak
menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Sebab peternakan di NTT masih diselimuti
awan hitam seperti pakan ternak yang tidak tersedia, kesehatan ternak yang
buruk, aplikasi teknologi tepat guna belum terealisasi, pembibitan yang kurang
memadai, dan segudang persoalan lainnya.
Masa depan NTT ada di laut. Laut NTT
terbentang luas yang membatasi satu pulau dengan pulau yang lainnya. Panjang
garis pantai ±5.700 Km dan luas laut mencapai 15.141.773,10 Ha. NTT menyimpan
banyak potensi dan kekayaan dalam lautnya. Terbukti hasil produksi bidang kelautan
daerah NTT pada tahun 2013 adalah 1.805.184,79 ton. Hasil tersebut antara lain
terdiri dari, ikan Tuna, Kakap, Kerapu, Cakalang, Udang, Teripang, Rumput Laut,
dan Komoditas Laut Lainnya. Pada tahun 2012 terdapat 19.945 Rumah Tangga dan
Usaha Perikanan laut, tahun berikutnya yakni 2013 mengalami peningkatan yang
cukup signifikan, yaitu 37.415 rumah tangga usaha perikanan. Rumah tangga
tersebut memiliki beberapa kategori usaha, antara lain kategori usaha Tanpa
Perahu mengalami perkembangan yang sangat luar biasa yakni 2.891 usaha pada
tahun 2012, meningkat 163% pada tahun 2013 menjadi 7.609 usaha.
Sementara Kategori usaha kapal motor yang kurang dari 5GT pada tahun 2012 terdiri atas 1.305 usaha, pada tahun 2013 meningkat menjadi 4.744 usaha atau naik 112,07 persen dalam rentang waktu 2012 sampai 2013. Lain lagi dengan kategori usaha motor tempel, pada tahun 2012, terdiri dari 2.603 kategori usaha, kemudian satu tahun berikutnya bertambah menjadi 5.483 usaha perikanan atau meningkat 112,07 persen dalam waktu satu tahun. Kesemuanya itu, didukung oleh kawasan peruntukkan perikanan tangkap, perikanan budidaya dan pengolahan ikan tesebar diseluruh Kabupaten/Kota; Pengembangan kawasan perikanan (minapolitan)
untuk perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Kabupaten Sumba Timur, Sikka,
Lembata, Rote Ndao, Alor, Kota Kupang; dan pengembangan komuditas garam rakyat
di Kabupaten Sabu Raijua, Nagekeo, Flores Timur, Timor Tengah Utara, Kupang,
dan Alor. Dalam data BPS NTT 2012, terdapat 808 Desa/Kelurahan pantai,
1.105,438 jiwa penduduk pantai, 194,684 orang nelayan (±9,9% dari jumlah
Penduduk Desa Pantai). Oleh sebab itu, masa depan NTT bukan di dalam perut bumi
(tambang) tetapi di laut. Oleh karena itu, program Gerakan Masuk Laut (GEMALA) yang menggelora pada era Gubernur Piet
A. Tallo perlu dibangkitkan kembali.
Sementara Kategori usaha kapal motor yang kurang dari 5GT pada tahun 2012 terdiri atas 1.305 usaha, pada tahun 2013 meningkat menjadi 4.744 usaha atau naik 112,07 persen dalam rentang waktu 2012 sampai 2013. Lain lagi dengan kategori usaha motor tempel, pada tahun 2012, terdiri dari 2.603 kategori usaha, kemudian satu tahun berikutnya bertambah menjadi 5.483 usaha perikanan atau meningkat 112,07 persen dalam waktu satu tahun. Kesemuanya itu, didukung oleh kawasan peruntukkan perikanan tangkap, perikanan budidaya dan pengolahan ikan tesebar diseluruh Kabupaten/Kota; Pengembangan kawasan perikanan (minapolitan)