Tanah dan Air Milik Kita, Udara Milik Singapura: Benarkah Negara Kita Berdaulat?
Elkana Goro Leba
Ditengah duka-lara bangsa Indonesia
atas tragedi jatuhnya pesawat milik maskapai AirAsia, di Laut Karimata 28
desember 2014 lalu, banyak isu yang mulai mengemuka. Ada isu penerbangan
ilegal, ada juga isu pilot yang konsumsi morfin saat memiloti pesawat, awan cumulonimbus yang menyebabkan pesawat
jatuh dan sebagainya. Entah spekulasi atau fakta, kita tunggu saja. Tetapi satu
isu dari isu-isu tersebut yang perlu manjadi perhatian publik adalah tentang kedaulatan wilayah udara kita.
Tahukah anda, dalam ocehan-ocehan para pemimpin bangsa
sekarang ini bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara yang
berdaulat secara politik, berdikari (mandiri) secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya, masih
menyimpan 101 tanda tanya. Pasalnya, sejak bertahun-tahun kita miliki tanah dan
air di negeri ini, tetapi udara (kedirgantaraan)
kita masih milik negara lain. Itukah yang
disebut berdaulat? Mungkin masih banyak insan bangsa belum tahu tentang
itu. Tetapi faktanya, kedirgantaraan (udara) kita sebagian masih hak milik
Negeri Singa, Singapura. Bagaimana itu terjadi? Sejarahnya memang panjang.
Pada tahun 1996 melalui Kepres
(Presiden Soeharto) No. 7 tahun 1996 tentang Ratifikasi Perjanjian Fligth Information Region (FIR) terjadi agreement (perjanjian) antara Indonesia-Singapura,
bahwa sistem navigasi sebagian wilayah udara RI dikuasai Singapura selama 15
tahun. Perjanjian itu disebut dengan agreement
of Millitary Training Area-MTA (wilayah pelatihan militer), sehigga Fligth Information Region (FIR) dikontrol
Singapura. Artinya, wilayah udara milik Indonesia dipinjam untuk dijadikan area
latihan pesawat tempur Negeri Singa itu, sekaligus mengambil alih semua Air Traffic Control (ATC) sepanjang area
tersebut. Kemudian, alasan pinjam-meminjam itu dibungkus rapih dengan istilah “pendelegasian kewenangan pengelolaan udara”.
MTA itu dibagi dalam dua bagian.
MTA 1 atau area pelatihan militer pertama, dipatok dari sebelah Barat Daya Singapura.
Terbentang dari sisi timur Negeri Singa itu hingga wilayah Tanjung Pinang, Provinsi
Kepulauan Riau (Kepri). MTA 2, membentang dari sebelah timur Singpura, hingga Kepualauan
Natuna, Kepri. Bisa dibayangkan, pesawat sipil dan militer yang terbang dari Pekanbaru
ke Natuna saja harus ijin menara Air Traffic
Control (ATC) Hang Nadim, Singapura. Mereka tidak segan-segan mengusir
pesawat kita bila melalui udara itu tanpa ijin. Padahal MTA 1 dan 2 ini secara de facto dan de jure milik Indonesia.
Menurut berita, pengambilalihan
sudah diusahakan pada tahun 2007, tetapi karena alasan demi alasan dari negara
tetangga, Singapura dan Malaysia yang membangun kompromi dengan PBB, usaha itu gagal.
Sebab, katanya, Indonesia mengalami masalah dalam hal pengelolaan dan penetapan
titik koordinat udara yang ditetapkan oleh PBB. Pada tahun 2010, sudah
disetujui oleh PBB, namun, hingga saat ini, entah apa yang terjadi,
kenyataannya, pesawat sipil dan militer Indonesia masih harus ijin menara ATC
Singapura bila ingin melewati area tersebut. Masuk rumah kita sendiri koq pake ijin tetangga? Aneh bukan?
Dimana letak kedaulatan negara kita
sebagai bangsa yang besar? Padahal dalam perkembangan kedirgantaraan, dalam hubungannya dengan negara kita adalah negara
yang sangat luas tanah, air dan udaranya, Indonesia termasuk dalam 8 besar negara
terkuat di dunia. Bagaimana kita jadi the
one of super power kalau sektor udara kita masih diambil alih oleh negara
lain? Bisa dibayangkan, kedaulatan negara dipinjam negara lain selama bertahun-tahun.
Jadi, selama ini kita lihat latihan tempur tentara-tentara Singapura melewati
udara kita (MTA 1 & 2), kita hanya bisa melongo.
Lebih konyol lagi, pada tahun 2010, RRI Batam ditutup akibat mengganggu
jalur komunikasi penerbangan Singapura. Padahal komunikasi penerbangan Indonesia
aman-aman saja. Usut punya usut, ternyata komunikasi di area udara yang
dipinjamkan itulah yang menjadi persoalannya. Walah, sungguh memprihatinkan!!! Penyiaran radio saja diatur negara
lain.
Wilayah Udara
Sangat Penting
Mungkin kita masih ingat, ledakan
bom atom terbesar dalam peradaban dunia pada tanggal 6 dan 9 Agustus tahun 1945
pada penghujung perang dunia kedua (PD II), ketika tentara sekutu di bawah
pimpinan Amerika Serikat membumihanguskan
Kekaisaran Jepang sekaligus menjadikan
abu 140.000 orang di Hirosima dan 80.000 orang di Nagasaki atas perintah
presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman. Membuat Jepang menyerah tanpa syarat
pada tanggal 2 September 1945 dan secara resmi PD II berakhir. Peristiwa itu pula
membuka peluang bagi Indonesia untuk mencapai kemerdekaan segaligus kedaulatannya
sebagai bangsa yang bebas dari segala penjajahan. Itu adalah salah satu
peristiwa penting dari kecolongan Jepang dalam mengelola wilayah udaranya,
sehingga tentara sekutu masuk dan melakukan pengeboman. Disinilah pelajaran
penting yang harus menjadi literatur pemerintah saat ini bahwa wilayah udara
itu sangat penting. Sekuat apapun angkatan darat dan laut suatu negara, kalau
udaranya masih lemah, maka tidak ada apa-apanya. Begitu pula sebaliknya. Karenanya,
wilayah udara sangat penting untuk diperhatikan.
Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia saat ini harus mengembalikan kedaulatan
wilayah udara bangsa Indonesia. Sejak sekarang perlu menunjukkan kemampuan kita
untuk mengelola wilayah udara sesuai standar internasional. Benahi sistem
penerbangan. Berani menunjukkan taringnya kepada negara lain. Tidak ada
kompromi mengenai harga diri (keadulatan) bangsa. Pengambilalihan wilayah udara
dari Singapura jangan menunggu hingga tahun 2019. Itu artinya, kedaulatan udara
kita akan tercapai pada tahun 2019. Menurut Konvensi Chicago 1944 yang bahas mengenai
Konvensi Penerbangan Sipil Internasional,
kedaulatan wilayah udara suatu negara adalah sebuah keniscayaan, bukan pilihan.
Selama ini semua pesawat yang masuk ke wilayah hukum udara Indonesia tanpa ijin
hanya di denda 6.000 dollar AS (sekitar Rp. 70 juta). Dalam arti lain, bila ada
orang yang hendak dengan sengaja memasuki udara Indonesia tanpa ijin, tinggal
siapkan uang 6.000 dollar, sudah aman. Bayangkan, betapa lemahnya hukum wilayah
udara kita. Padahal, masuk wilayah udara negara lain tanpa ijin adalah sebuah
perbuatan menginjak-injak harga diri (kedaulatan) negara yang bersangkutan. Maka
dari itu, para pemimpin bangsa saat ini, wajib ambil kembali kadaulatan wilayah
udara dari Singapura. Nenek moyang kita memang pelaut tetapi anak
cucu kita adalah insan dirgantara.