Paradigma Pembangunan, Indeks Kebahagiaan dan Kesejahteraan Rakyat
Artikel yang di tulis oleh Suchaini di beranda Kompasiana tanggal 7
Juli 2014 dengan judul “Kontroversi Indeks Kebahagiaan” (http://media.kompasiana.
com/mainstream-media/2014/07/07/uang-menghantarkan-kebahagiaan-671509.html) menyoroti tentang indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia yang keluarkan Badan
Pusat Sratistik (BPS). Dimana pada tahun
2013, indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia sebesar 65,11 pada skala 0
–100. Itu artinya orang Indonesia berada di dikategori sedang dalam hal kebahagiaan. Hal itu
diukur dari kombinasi antara 10 dimensi
kehidupan, yakni (1) pekerjaan, (2) pendapatan rumah tangga, (3) kondisi
rumah dan aset, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) keharmonisan keluarga, (7)
hubungan sosial, (8) ketersediaan waktu luang, (9) kondisi lingkungan, dan (10)
kondisi keamanan. Pertanyaannya adalah apakah indeks kebahagiaan yang dirilis
BPS itu menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia sejahtera? Belum tentu. “Menurut
peneliti UGM kebahagiaan yang dirilis oleh BPS tidak serta merta menggambarkan
kesejahteraan masyarakat. Sebab BPS tidak mengikut sertakan konsep keadilan,
seperti keterjangkauan masyarakat dengan pendidikan dasar, keterlayanan
masyarakat dalam mengakses fasilitas kesehatan dasar” (dikutip dari artikel Suchaini di kompasiana).
Berdasarkan dimensi-dimensi yang digunakan BPS guna
mengukur indeks kebahagiaan sangat dipengaruhi oleh pembangunan ekonomi. Misalnya,
pekerjaan, pendapatan, kondisi rumah dan aset, pendidikan dan kesehatan. Kelima
dimensi ini berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi suatu negara. Sebab
aspek-aspek pembangunan ekonomi sendiri membahas tetang bagaimana menyediakan
lapangan pekerjaan bagi seseorang, mengukur pendapatan sebagai indikator
pembangunan ekonomi, kondisi rumah dan aset juga jelas-jelas adalah hasil dari
pembangunan ekonomi. Tidak hanya itu, pendidikan dan kesehatan pun menjadi bagian
indikator guna mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi. Selain itu, dimensi
seperti keharmonisan keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu
luang, kondisi lingkungan, dan kondisi keamanan pun bila diusut lebih dalam,
semuanya adalah akibat dari pembangunan ekonomi. Misalkan, keharmonisan
keluarga moderen selalu indentik dengan keterpenuhan kebutuhan ekonomi keluarga
yang bersangkutan. Individu atau keluarga yang sejahtera dan mapan secara ekonomi,
cenderung mudah memenuhi kebutuhannya. Termasuk kebutuhan untuk menyenangkan
diri sendiri dan keluarganya. Meskipun itu dapat dibantah, tetapi tren yang
terjadi di lapangan seperti itu. Karena banyak orang yang mencari
kesenangan-kesenangan yang bersifat material untuk mendapatkan kebahagiaan
pribadi. Itulah yang dikejar oleh banyak orang yang hidup di zaman modern ini. Tetapi
di lain sisi, kebutuhan ekonomi bukanlah segalanya. Namun tidak salah juga
ketika kebutuhan ekonomi menjadi alasan dari rasa kebahagiaan seseorang.
A.
PARADIGMA
PEMBANGUNAN MANUSIA: Pendidikan dan Indeks
Kebahagiaan
Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) dikembangkan oleh
pemenang nobel India Amartya Sen, dkk pada 1990. Sejak itu indeks ini dipakai
oleh Program pembangunan PBB pada laporan IPM tahunannya. IPM
mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan
manusia, yaitu hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan
hidup saat kelahiran, pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis
pada orang dewasa dan kombinasi pendidikan dasar, menengah dan atas. Dimensi lainnya adalah standard
kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari produk domestik bruto
per kapita dalam paritasi daya beli. IPM digunakan untuk
mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang
atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan
ekonomi terhadap kualitas hidup. IPM Indonesia
terus meningkat dari tahun ke tahun, meskipun peningkatan itu tidak signifikan.
Tren
IPM Indonesia 4 tahun terakhir
Tahun
|
IPM
|
2009
|
0,593
|
2010
|
0,600
|
2011
|
0,617
|
2013
|
0,629
|
Dari tabel di atas, Indonesia berada dalam kategori
negara dengan pembangunan manusia sedang dan angka IPM dari tahun ke tahun
cenderung meningkat, sekalipun tidak terlalu signifikan.
Paradigma
pembangunan manusia adalah paradigman yang menempatkan manusia sebagai unsur
penting dalam pembangunan. Manusia menjadi penentu arah pembangunan. Selain itu, paradigma
ini juga pendekatan pembangunan ini sangat peduli dengan lingkungan hidup yang mengedepankan
pembangunan yang berkelanjutan. Pendekatan ini juga menempatkan keadilan dan
kesetaraan sebagai sebuah keniscayaan. Misal, pentingnya peran perempuan dalam
pembangunan, menjunjung tinggi pembangunan yang partisipatif atau pengambilan
keputusan melalui proses musyawarah oleh rakyat.
Aspek
penting dalam pembangunan manusia adalah pendidikan. Dalam data yang
diterbitkan BPS menceritakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka
semakin tinggi indeks kebahagiaannya. Dimana penduduk yang pendidikannya tidak
lulus SD indeks kebahagiaannya di bawah 62. Semantara Indeks kebahagiaan
tertinggi adalah yang tingkat pendidikannya S2 dan S3 yakni indeksnya 75,58.
Mengacu
pada hasil survei BPS di atas, maka penduduk Indonesia sangat membanggakan tingkat
pendidikan yang dimiliki. Sebab, pembangunan manusia melalui pendidikan dapat
meningkatkan kebahagiaan seseorang. Dengan pendidikan yang dimilikinya bisa
saja memudahkannya untuk mendapat pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik.
B.
PARADIGMA
PERTUMBUHAN EKONOMI: Pendapatan dan
Indeks Kebahagiaan
Paradigma pertumbuhan
ekonomi adalah suatu paradigma pembangunan yang menekankan pada kapitalisme dan
industrialisasi ala barat. Karena menekaknan pada pertumbuhan ekonomi, maka salah
satu aspek penting dalam paradigma ini adalah pendapatan perkapita penduduk dan
Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Pendapatan perkapita dan PDB akan
menjadi indikator dalam mengukur pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan.
Menurut data terbitan Badan
Pusat Statistik (BPS) RI tanggal 2 Juni 2014,
tingkat pendapatan seseorang, tidak hanya mengukur pertumbuhan ekonomi, tetapi
juga berkontribusi pada indeks kebahagiaan orang yang bersangkutan.
Berdasarkan data di
atas, tidak dapat dipungkiri bahwa tingginya tingkat pendapatan yang adalah
tujuan dari paradigma pertumbuhan ekonomi turut membawa kebahagiaan bagi masyarakat
Indonesia. Dimana semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi pula
indeks kebahagiaannya. Itulah sebabnya, indeks
kebahagiaan seseorang sangat dipengaruhi oleh pandapatannya. Pendapatannya
kecil atau rendah indeks kebahagiaannya juga rendah pendapatan banyak atau
tinggi, indeks kebahagiaan ikut meningkat. Penghasilan berhubungan erat dengan
material. Karenanya, kebahagiaan sebagian besar keluaraga-keluarga di Indonesia
adalah cenderung kebahagiaan material.
C.
PARADIGMA MODERNISASI: Tempat Tinggal dan Indeks Kebahagiaan
Beberapa ahli memberikan batasan
modernisasi. Soerjono Soekanto
dalam bukunya, Sosiologi: Suatu Pengantar,
mengatakan bahwa modernisasi adalah
suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu
perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. Semantara Widjojo Nitisastro menyatakan bahwa,
modernisasi adalah suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang
tradisional atau pramodern dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke
arah pola-pola ekonomis dan politis.
Istilah modernisasi sendiri adalah
hasil aplikasi dari Paradigma Pembangunan
Modernisasi. Paradigma ini penuh dengan konsep westernisasi dan modernisme atau
sering disebbut juga dengan konsep “pembangunan
ala barat” dan membawa nilai kehidupan yang bersifat materialistis.
Modernisasi identik dengan perkotaan, kemewahan dan kemegahan. Masyarakat
perkotaan (modern) itu, punya rumah yang bagus, punya kendaraan pribadi yang
mahal dan mewah, punya penghasilan yang relatif tetap dan tinggi. Artinya,
secara material, masyarakat yang tinggal
perkotaan lebih berkecukupan dari pada di desa. Dari sisi indeks kebahagiaan,
BPS menyatakan bahwa orang Indonesia yang hidup di perkotaan mempunyai indeks
kebahagiaan yang lebih tinggi dibanding dengan penduduk yang tinggal di
pedesaan.
Orang yang tinggal di
kota adalah orang yang hidupnya serba modern. Sementara orang yang hidup di
desa cenderung tradisional. Artinya, modernisasi (perkotaan) ikut menentukan kebahagiaan
seseorang. Selain itu, dengan mengacu pada data yang dirilis BPS juga, orang
yang mempunyai anggota keluarga 1 sampai
dengan 4, lebih bahagia dari pada keluarga yang mempunyai anggota lebih dari 4
orang.
Pada umumnya, penduduk perkotaan memiliki anggota keluarga yang
lebih sedikit dari pada keluarga di pedesaan. Jadi, orang diperkotaan yang
serba modern lebih bahagia dari pada orang di desa yang masih cenderung
tradisional.
D.
BASIC NEEDS: Tempat
Tinggal dan Indeks Kebahagiaan
Pendekatan
pembangunan Kebutuhan Dasar (Basic Needs)
adalah suatu pendekatan
yang memfokuskan perhatian pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Pendekatan
ini kemudian dikenal dengan nama Basic Needs Approach (BNA). Menurut Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organization (ILO) kebutuhan dasar tidak hanya kebutuhan dasar berupa
materi, tetapi juga kebutuhan untuk mengakses pelayanan mendasar. ILO
menyetakan bahwa kebutuhan dasar manusia yang berlaku secara universal adalah konsumsi
dasar personal yakni sandang, pangan, papan, akses ke pelayanan dasar, berupa
kebutukan akan air bersih, pendidikan sanitasi, dan kesehatan, akses ke
pekerjaan yang diupah, kebutuhan kualitatif seperti lingkungan yg sehat dan
aman, dan kemampuan untuk turut serta dalam pengambilan keputusan dalam
pembangunan.
Dengan
mendasari diri pada pendekatan Basic
Needs dan kembali melihat data BPS tentang indeks kebahagiaan yang
dipengaruhi oleh klasifikasi kewilayahan atau tempat di mana
penduduk Indonesia tinggal, di sana disebutkan bahwa penduduk yang tinggal di
wilayah perkotaan lebih bahagia dibanding penduduk yang tinggal di wilayah
pedesaan, maka kebahagiaan penduduk atau masyarakat pedesaan adalah kebahagiaan
karena basic needs atau kebutuhan dasar mereka telah
terpenuhi. Berbeda dengan kebahagiaan masyarakat perkotaan, yang menaruh
kebahagiaan tidak hanya pada apa yang menjadi kebutuhan tetapi pada apa yang menjadi keinginan. Terkadang masyarakat perkotaan tidak bahagia karena tidak
dapat memenuhi keinginan. Sedangkan masyarakat pedesaan, dengan memiliki rumah
atau tempat tinggal yang sederhana, makan dan minum secukupnya, anak-anak pergi
ke sekolah dengan berjalan kaki, bekerja sawah dan ladang saja sudah merasa
bahagia. Penduduk perkotaan tidak cukup bahagia dengan memiliki kebutuhan dasar
seperti rumah sederhana, makanan dan kendaraan pribadi hanya satu, anak-anak tidak
bahagia bila berpergian dengan berjalan kaki ke sekolah. Artinya masih sangat
tergantung pada apa yang menjadi keinginan bukan kebutuhan dasar atau Basic Needs. Sementara kebahagiaan penduduk
desa hanya cukup pada kebutuhan dasar. Artinya masyarakat pedesaan sudah
bahagia bila sudah memiliki rumah, makanan apa adanya, pakaian, air untuk minum
dan mandi, sekalipun itu kurang bersih kalau menurut orang kota. Mereka menerima
keadaan itu dengan penuh kepasrahan. Inilah yang disebut oleh Suchaini di akhir artikelnya dengan istilah sikap “nrimo ing pandum” Jadi, kebahagiaan masyarakat pedesaan
adalah “kebahagiaan tanpa materi”.