Peluang dan Tantangan “Provinsi Ternak”
Peluang dan Tantangan NTT sebagai Provinsi Ternak
Potensi daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mempunyai padang
penggembalaan untuk peternakan sapi, kuda, kerbau dan kambing seluas 832.228 Ha
telah membawa eksternalitas positif bagi daerah ini. Berkat dari itu, Provinsi NTT
tergolong dalam lima besar populasi sapi potong di Indonesia. Urutan ke-4 setelah
Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan.
Bahkan NTT mempunyai Populasi kerbau terbanyak di Indonesia. Karena itu, 4 Tekad
Pembangunan NTT dalam kebijakan stratergi Gubernur NTT, Frans Lebu Raya dari
periode pertama (RPJMD Prov. NTT 2009 – 2013) yaitu menjadikan NTT sebagai Provinsi Jagung, Provinsi
Cendana, Provinsi Koperasi dan Provinsi Ternak. Untuk itulah, Pemrov. NTT
melakukan pengembangan ternak besar di
Pulau Timor, Rote dan Sumba, dan pengembangan ternak kecil di pulau Flores,
Lembata, Alor, Solor, Adonara dan Sabu Raijua. Di sisi lain, pemerintah pusat menargetkan
menghasilkan satu juta ekor sapi dalam kurun waktu dua tahun ke depan. Sehingga
tiga sampai empat tahun berikutnya Indonesia bisa berswasembada sapi.
Peluang Pembangunan Peternakan di NTT
Penandatangan Nota Kesepahaman (Memorandum
of Understanding-MoU) tentang perjanjian kerja sama “ekspor-impor” sapi dan daging sapi antara Pemerintah Pemprov. NTT
dengan Pemprov. DKI Jakarta menjadi peluang
bagi NTT untuk meraih mimpi menjadi provinsi
ternak. Ini merupakan tindak lanjut dari kunjungan kerja mantan Gubernur
DKI Jakarta, Joko Widodo sebelum menjadi RI-1 ke NTT bulan April yang lalu. Hal
ini mengingat NTT salah satu provinsi yang berpotensi menjadi produsen daging
sapi dalam statistik nasional, sementara DKI Jakarta merupakan konsumen daging
sapi yang cukup tinggi di Indonesia. Kebutuhan daging sapi di Jakarta mencapai
150 ton/tahun. Lantaran DKI Jakarta tidak memiliki peternakan sapi, maka hampir
semua kebutuhan akan daging, diimpor dari daerah lain bahkan Australia. Oleh
sebab itu, dalam MoU yang diteken
oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahya Purnama (Ahok) dan Gubernur NTT, Frans
Lebu Raya, dan disaksikan oleh Presiden RI, Joko Widodo, salah satunya
berencana membangun balai karantina dan rumah pemotongan hewan di NTT. Setelah
dipotong, daging sapi yang sudah dikemas akan dipasarkan di Jakarta. Sekali
lagi ini adalah peluang emas bagi Pemrov. NTT untuk merealisasikan mimpi
menjadi propinsi Ternak. Tetapi pertanyaannya, apakah NTT mampu untuk memenuhi kebutuhan
daging sapi DKI Jakarta yang mencapai 150 ton/tahun dengan harga yang lebih
terjangkau dari daerah lain. Selama ini, NTT baru mengirim 60 ribu ekor sapi
hidup setiap tahun ke Jakarta dan Kalimantan untuk memenuhi kebutuhan daging.
Itu artinya masih jauh dari kebutuhan DKI Jakarta. Fakta lainnya adalah impor sapi
atau daging sapi dari NTT ke Jakarta lebih sulit dan mahal daripada dari
Australia.
BACA JUGA:
- PramugariCantik, Angel Boelan, Wakili NTT Ke Pemilihan Putri Indonesia 2020
- KronologiPenemuan Perempuan Asal Maumere, Aulista Dau Nurak Yang Terlantar Di KotaPalopo
Tantangan Pembangunan Peternakan di NTT
Sebagaimana disebutkan di atas, Propinsi Ternak adalah salah satu rencana
strategi gubernur Frans Lebu Raya sejak Periode pertama. Tetapi hingga periode
kedua ini (2013-2018), hampir enam tahun sudah Lebu Raya menjabat, propinsi
ternak belum ada tanda-tanda yang signifikan terealisasi. Itu artinya, ini
bukan pekerjaan mudah. Tantangan NTT untuk meraih impian sebagai propinsi
ternak selama ini antara lain adalah, rendahnya peran investor dalam usaha
peternakan terlebih dalam hal bibit unggul, sehingga produsen ternak masih
didominasi oleh peternak kecil yang belum memiliki keterampilan beternak yang baik
dengan modal seadanya, seperti penguasaan teknologi informasi tentang bagaimana
beternak dengan baik dan benar agar menghasilkan daging yang berkualitas. Berikut,
tingginya pemotongan ternak besar betina produktif dan juga pelayanan kesehatan
hewan belum optimal yang mengakibatkan kematian ternak sapi sangat yang tinggi.
Disamping itu, selama ini, petani lebih memilih menjual ternak yang berkualitas
terbaik karena harganya lebih tinggi. Masalah berikutnya pakan ternak belum tersedia
karena terkendala dengan sumber air untuk penanaman pakan. Kelompok tani di NTT tercatat cukup banyak, namun belum ada
modal sosial sehingga peran nyata sebagai lembaga kerjasama dalam bidang
produksi dan budidaya, pengolahan serta pemasaran hasil ternak tidak ada. Lain
lagi, sulitnya pemasaran dan distribusi manjadi faktor penyebab mahalnya daging
sapi asal NTT, bahkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro
Muqoddas pernah mengatakan bahwa KPK menemukan adanya indikasi keberadaan mafia
atau kartel sapi di Nusa Tenggara Timur.
BACA JUGA:
BACA JUGA:
Oleh sebab itu, pekerjaan penting pemerintah provinsi NTT adalah, membekali
para petani ternak dengan pengetahuan yang baik dalam beternak, mengaplikasikan
teknologi tepat guna untuk pengembangan bibit unggul, pakan ternak dan pengotimalan
kesehatan hewan, merevitalisasi lembaga-lembaga peternakan dari hilir ke hulu guna
menghasilkan ternak yang berkualitas dan membangun infrastruktur transportasi yang
berkaitan dengan pemasaran dan distribusi daging yang mudah dan murah. Dan satu
yang cukup penting adalah melarang penyembelihan induk ternak produktif. Perlu ada Perda larangan penyembelihan induk
ternak produktif seperti yang dilakukan oleh pemprov. Jawa Timur dan Bengkulu. Kedua
pemerintah daerah tersebut menerbitkan peraturan daerah yang melarang keras
penyembelihan sapi betina produktif.
BACA LAINNYA: