Panggung Para PoliTikus: “Musim Tanding-tandingan”
Akhir-akhir ini, sejak Pileg dan Pilpres hingga
kini, kita ibarat ada dan sedang menyaksikan sebuah pertunjukkan drama di atas
panggung “sandiwara”, namun para
pemainnya bukanlah para aktris dan aktor ataupun seniman binaan sanggar seni atau
sekolah akting Hollywood sebagaimana umumnya. Pemainnya adalah “seniman-seniman hebat” binaan partai politik di negeri ini. Mereka ibarat para
aktor dan aktris yang sedang bersandiwara untuk menghibur para penonton
(rakyat) dengan sepenggal cerita yang bertema “kursi dan kekuasaan” dan negara ini adalah panggungnya. Dalam
artikel ini, saya namai “musim tanding-tandingan”.
Kata “tanding”
kurang lebih maknanya adalah “berlawanan”,
sehingga bertanding, artinya berkaitan dengan “berlomba, beradu tenaga”. Sebelum dan setelah Pemilihan Legislatif
(pileg) istilah ini terus menjadi topik-topik menarik di halaman media masa. Sebelum
pileg masing-masing calon secara individu bertanding dan berlomba untuk mempengaruhi
rakyat dengan janji-janji manis yang hingga saat ini entah kemana janji itu, tetapi
setelah Pileg pertandingan itu tidak lagi dilakukan secara individual, namun dalam
kelompok. Ibaratnya setelah pileg, para “PoliTikus” itu sudah membentuk sebuah “klub” untuk adu tenaga guna memenangkan
pertandingan.
Musim
tanding-tandingan diawali setelah para wakil rakyat memilih dan membentuk alat
kelengkapan dewan salah satunya ketua DPR. Ketika itu muncul “gerakkan” dari kubu Koalisi Indonesia
Hebat (KIH), penguasa di eksekutif, yang notabene kalah jumlah di DPR untuk membentuk
Ketua DPR tandingan di Senayan untuk menyaingi Ketua DPR terpilih Setya Novanto
yang berasal dari Koalisi Merah Putih (KMP), koalisi pengauasa di perlemen. Entah
disebabkan oleh sakit hati karena tidak kebagian kursi dan kekuasaan atau lagi-lagi
bersandiwara hanya mereka dan Yang Maha Kuasa yang tahu. Setelah itu, Istilah
tandingan seperti lagi-lagi merasuki otak dan hati masyarakat di Negeri ini, tidak
hanya DPR yang membuat tandingan tetapi juga sebagian rakyat Jakarta yang
kemudian dinamai “Gerakkan Masyarakat
Jakarta (GMJ)” yang telah memilih gubernnur tandingan untuk menandingi
Kepemimpinan Guberbur DKI Jakarta Basuki Cahya Purnama atau Ahok. Bahkan
gerakkan ini bersifat Rasis karena mengungkit isu sara, dan pemfitnahan serta pelecehan
terahdap agama orang lain, tetapi pemerintah diam saja. Ironis memang, di
negara yang Pancasila dan Berbhineka Tunggal Ika ini terjadi hal seperti itu
tetapi dibiarkan oleh pemerintah. Tanding-tandingan, tidak berhenti di situ, kini
Partai Golongan Karya (Golkar) juga keciprat istilah tandingan ini. Agung
Laksono, dkk menyelanggarakan Munas tandingan sebagai perlawanan atas keterpilihan
Aburizal Bakrie (ARB) sebagai Ketua Umum Golkar dalam Munas di Nusa Dua Bali. Munas
tandingan ini pun menghasilkan kesepakatan untuk mendukung Perpu Pilkada
Langsung yang awalnya Golkar bersikeras berseberangan dengan Perpu yang
dikeluarkan diakhir Kepemimpinan Presiden SBY tersebut, sekaligus berlawanan
arah dengan kesepakatan ARB, dkk.
Istilah tandingan ini
seakan menjadi sebuah slogan perjuangan di kalangan Para Wakil kita saat ini. Sebuah
slogan yang melambangkan kekuatan untuk berjuang melawan musuh, tetapi anehnya musuh
itu adalah kawan mereka sendiri. Pertanyaannya adalah “kapan para wakil rakyat “terhormat” itu bekerja untuk rakyatnya?”. Rakyat
terus bertanya tetapi tidak tahu kemana mereka harus mengadu. Wajar saja, para
wakil mereka yang sebenarnya adalah tempat mengadu, sudah berpolitik “tidak waras”, maka mau kemana lagi
mereka. DPR saling tanding-tandingan, sudah begitu, DPR (legislatif) tidak
hanya saling serang diantara mereka, tetapi lebih konyol dan bobrok lagi ketika
DPR seakan berupaya menjenggal setiap keputusan dan kebijakkan pemerintah
(eksekutif). Ketika Presiden mengambil kebijakan untuk menaikan Harga BBM, kubu
KMP berniat menyatakan Hak Interpelasi. Padahal belum pernah ada dalam sejarah
bangsa ini bila eksekutif menaikkan harga BBM yang jelas-jelas kebijakan yang
mengedepankan masa depan bangsa dalam Jangka panjang, DPR mengajukkan hak
Interpelasi. Bukankah itu sebuah
penjenggalan? Memang, benar efek buruk Kenaikkan harga BBM akan terasa
dalam jangka pendek, tetapi hidup ini bukan untuk hari ini saja, namun juga
kita berpikir untuk hari esok, dan itulah inti dari kenaikkan harga BBM ini
sebenarnya. Bila pemerintah yang salah (salah menurut DPR, belum tentu salah
menurut rakyat) DPR cepat-cepat memanggil para menteri untuk menggelar rapat
dengar pendapat, tetapi DPR sendiri seperti orang hilang ingatan, tidak tahu diri
bahwa mereka sendiri lagi tidak sehat. Bisanya mengkritik tetapi diri sendiri
tidak diperhatikan, apakah sudah benar atau tidak. Sungguh seperti Filosofi “anjing yang menggogong”. Taunya kritik
(gonggong) orang lain, tetapi tidak tahu dirinya sedang bermasalah.
Rakyat saat ini diam bukan karena mereka tidak tau
apa-apa, bukan karena mereka bodoh, tetapi mereka sedang bingung kepada siapa lagi
mereka harus berteriak minta tolong, bila para wakilnya sudah seperti kacang
lupa kulit. Sebelum pemilihan, mereka mengobral janji, tetapi setelah terpilih,
lupa semuanya. Suara rakyat tidak lagi menjadi dasar dalam pengambilan
keputusan, semua hanya untuk partai dan kepentingan pribadi. Rakyat ibarat sedang
menonton sebuah pertandingan sepak bola antara DPR (KMP) dengan Pemerintah (KIH),
tetapi sayangnya rakyat terlebih dahulu meninggalkan stadion karena mereka
sudah tahu bahwa DPR (KMP) yang akan menang, karena pertandingan yang tidak
seimbang, KIH (pemerintah) kalah jumlahnya. Sesungguhnya, rakyat membutuhkan
pertandingan yang adil dan seimbang dan pertandingan itu adalah untuk
memperjuangkan kepentingan mereka. Namun, realitasnya semua atas nama Partai,
atas nama pribadi.
Bila realitas itu yang terjadi di negeri ini, para
wakil kita sudah menutup mata pada penderitaan rakyatnya yang masih hidup
miskin, mengais sampah untuk bertahan hidup, tetapi para wakilnya berfoya-foya.
Menulikan telinga terhadap suara anak-anak bangsa yang membutuhkan sekolah yang
haknya telah dirampas dan dirampok oleh para koruptor, tidak salah bila saya berkata
“sia-sia rakyat memilih para wakilnya. Menghabiskan uang triliunan Rupiah untuk
memilih mereka. Sia-sia rakyat memberikan mereka mobil mewah tetapi hanya untuk
jalan-jalan, rakyat membangun gedung yang mewah untuk kerja tetapi hanya
dijadikan panggung sandiwara, gaji berpuluh-puluh juta perbulan tetapi tidak tahu
diri bahwa itu uang rakyatnya, bahkan rumah mewah, sekalipun banyak yang harus
hidup di hotel pordeo karena ketahuan korupsi, dan segala kelengkapan untuk
menjamin kesejahteraan mereka para wakil yang
“terhormat”. Sia-sia semuanya.
Jadi, apa yang kita harapkan dari mereka-mereka ini? sampai kapan kita harus
diam? Tetapi setumpuk harapan hanyalah kepada Tuhan, mendoakan mereka agar
kembali ke Jalan yang benar.
(dimuat di Opini Timor Express, edisi 10 Desember 2014)