Kemiskinan adalah Akar dari Perdagangan Manusia
Sejak dulu hingga sekarang, kasus-kasus Perdagangan
Manusia (Human Traffiking) seakan
menjadi suguhan hangat bagi masyarakat. Wajah media massa, baik cetak maupun
eletronik diwarnai oleh berita-berita tentang perbuatan yang tidak beradab ini.
Media juga tidak jarang mengupas tuntas tentang kasus-kasus itu, namun tidak ada
penyelesaiannya diranah hukum. Penegakkan hukum hanya seperti angin lalu. Manusia
yang seharusnya diperlakukan sebagai mahkluk yang mulia, memiliki harkat dan
martabat, serta perlu diperdayakan guna membangun bangsa dan negara ini, justru
menjadi lahan basah bagi orang-orang yang tidak berhati nurani. Anak-anak
perempuan dan laki-laki yang notabene masih dibawah umur menjadi sasaran empuk dalam
bisnis ini. Tetapi pada umumnya, para pelaku bisnis tidak sembarangan dalam merekrut
korban-korban mereka. Sebagian besar dari korban Human Traffiking merupakan anak-anak yang berasal dari keluarga
yang belum sejahtera. Keluarga yang hidup serba kekurangan dalam ekonomi dan
media informasi, berasal dari pelosok-pelosok desa dan daerah tertinggal diseluruh
tanah air. Keadaan yang serba kekurangan inilah yang menjadi pintu gerbang
masuknya para pebisnis yang tidak terpuji itu. Rayuan dan iming-iming upah
besar, kehidupan yang lebih baik dari pada kehidupan korban dikampung
halamannya menjadi senjata yang ampuh yang meluluhlantakan hati para calon
korban dan juga orangtua calon korban yang masih menyandang status keluarga
miskin.
Kemiskinan mempunyai makna dan dampak yang sangat kompleks
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kemiskinan tidak hanya berbicara
mengenai pemenuhan kebutuhan ekonomi semata, tetapi juga kemiskinan meliputi kurangnya
ilmu pengetahuan dan terbatasnya akses terhadap informasi bagi mereka yang
masih hidup jauh dari kriteria hidup layak. Kondisi yang demikian telah
menyebabkan malapetaka bagi banyak anak-anak bangsa ini baik yang terjadi di
dalam maupun luar negeri. Berniat mengadu nasib untuk memperbaiki hidup
keluarga, tetapi tak jarang mereka menemui jalan buntu sehingga berurusan
dengan penganiayaan dan penyiksaan di negeri orang atau bahkan di negeri
sendiri.
Kasus penyekapan puluhan Tenaga Kerja Wanita
(TKW) asal NTT di Batam, penampungan calon TKI ilegal yang para korban berasal
dari keluarga yang tidak mampu di NTT yang grebek di oleh Polda NTT belum lama
ini, Nuryati anak dibawah umur dair keluarga yang tidak mampu yang disiksa oleh
tiga orang majikan di Tangerang Selatan,
TKW Kokom Binti Bama di Arab Saudi, Nirmala Bonat yang disiram air keras oleh
majikannya, Erwiana Sulistyaningsih, seorang TKI asal Ngawi, Jawa Timur disiksa
majikannya merupakan sederet bukti bahwa mereka berniat mencari hidup yang
lebih layak daripada di kampung halamannya tetapi menjadi korban. Hampir seluruh
korban-korban itu adalah anak-anak di bawah umur dan atau wanita-wanita yang
berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi. Dan sekali lagi, kondisi
yang serba kekurangan itulah yang dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis manusia
ini dengan tawaran upah besar dan kehidupan yang lebih baik untuk menjaring
korbannya.
Oleh sebab itu, bila ingin berantas perdagangan
manusia, maka sepertinya yang pertama kali dilakukan pemerintah adalah bebaskan
rakyat Indonesia dari kemiskinan yang sudah menstruktur ini, baik secara
ekonomi maupun ilmu pengetahuan dan akses terhadap informasi. Akses tehadap
informasi penting karena banyak masyarakat yang ada di pelosok minim informasi
tentang kasus-kasus penganiayaan terhadap TKI yang terjadi, konsekuensi-konsekuensi
menjadi seorang tenaga kerja, tentang bagaimana menjadi seorang pekerja yang
baik karena harus mempunyai keterampilan dan keahlian. Kurangnya informasi ini memudahkan
para pelaku traffiking melakukan penipuan terhadap korban, misalnya memalsukan KTP
dan data administrasi lainnya dari para pekerja.
Ironis rasanya, pemerintah dengan bangganya mengatakan
bahwa TKI adalah pahlawan devisa negara, namun kita mengirim anak bangsa ini
untuk disiksa di negeri orang. Pemerintah harus benahi pendidikan dan
kesejahteraan di dalam negeri sebelum menjadi “pengekspor” tenaga kerja yang kurang berkualitas. Ujung-ujungnya
mereka manjadi pembantu rumah tangga yang meskipun upah labih besar daripada di
dalam negeri tetapi secara batiniah mereka tersiksa. Selain itu, pemerintah perlu
membuka lapangan kerja dengan upah yang layak di dalam negeri. Tidak sedikit
juga para TKI berkeja di luar negeri karena secara pengupahan lebih menjanjikan
daripada di dalam negeri.