Dilematis Kabijakan Menaikkan Harga BBM Bersubsidi
Dampak Positif bagi Pihak yang Pro Terhadap Kebijakan
Kenaikkan Harga BBM
Kebijakan tentang kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) memang
sangat kontroversial, ada pro dan kontra. Bagi mereka yang pro, kebijakan tersebut dinilai dapat menyelamatkan
fiskal nasional atau APBN. Dari tahun ke tahun, porsi untuk subsidi BBM menjadi
paling banyak dari semua pos belanja pemerintah. Kuota BBM bersubsidi juga seperti
hal yang sangat sulit direncanakan, subsidi BBM seakan tidak dapat diprediksi
oleh pemerintah, sehingga antara APBN dan APBN-P serta Realisasi di lapangan selalu
melenceng jauh angkanya, dan trus merangkak naik dari tahun ke tahun.
Misalnya keadaan empat tahun
terakhir, pada tahun 2010, Subsidi BBM dalam APBN adalah sebesar Rp.26,3
triliun, namun kanyataan atau realisasinya berkata lain, yakni naik menjadi Rp.82,4 triliun atau naik 213 persen dari APBN
yang ditetapkan. Sementara pada tahun 2011, dalam APBN-P 2011, subsidi
BBM sebesar Rp.122,0 triliun yang
sebelumnya dalam APBN hanya Rp.95,9 triliun. Namun berdasarkan Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan,
reliasasinya lebih
tinggi, yakni Rp.165,2 atau sebesar
sebesar
72 persen dari APBN. Sementara dalam APBN tahun 2012 subsidi
untuk BBM adalah sebesar Rp.124 triliun dan
realisasi menjadi Rp.212 triliun. Berbeda lagi
dengan tahun 2013,
realisasi subsidi BBM tahun 2013 sekitar Rp.210 triliun, naik
signifikan bila dibandingka dengan yang tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
2009-2014, dimana subsidi
BBM untuk 2013 hanya sebesar Rp.51,1
triliun. Sementara itu, dalam APBN-P
2014, beban subsidi energi sudah membengkak menjadi Rp.453,3 triliun, terbagi
untuk subsidi BBM Rp.
350,3 triliun dan listrik Rp.
103 triliun. Sedangkan untuk RAPBN tahun 2015 pemerintah
mengalokasikan untuk Subsidi BBM sebesar Rp. 246,49 triliun.
Dari sisi impor minyak dan
kuota BBM nasional. Dalam APBN-2013 misalanya, kuota BBM bersubsidi ditargetkan sebesar 46 juta
Kiloliter. Dengan tren konsumsi beberapa bulan sebelumnya, maka diperkirakan
kebutuhan BBM bersubsidi akan melebihi kuota yang telah ditetapkan dalam
APBN-2013. Periode Januari
hingga Maret 2013 saja misalnya, realisasi konsumsi BBM bersubsidi telah
mencapai 10,74 juta Kiloliter atau 6 persen melebihi target kuota yang telah
ditentukan. Tingginya permintaan minyak domestik telah mendorong impor minyak
mentah dalam beberapa waktu terakhir. BPS merilis impor minyak mentah bulan Maret 2013 misalnya mencapai
1,23 miliar dollar AS atau naik 65,57 persen dibanding Februari 2013 yang
nilainya sebesar 744 juta dollar AS.
Membesarnya
defisit fiskal sebagai imbas dari lonjakan konsumsi BBM bersubsidi dipandang dapat
mengancam kesehatan fiskal. Konsumsi BBM
bersubsidi selama ini juga dipandang tidak tepat sasaran. Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa, proporsi BBM bersubsidi dinikmati oleh pemilik mobil 53 persen,
pemilik motor 47 persen, masyarakat di Jawa dan
Bali 59 persen, dan angkutan darat 89 persen.
Tercatat 25 persen rumah tangga berpenghasilan tertinggi menikmati 77 persen
subsidi BBM dibandingkan 25 persen rumah tangga berpenghasilan terendah yang
hanya menikmati 15 persen subsidi BBM. Penggunaan BBM
bersubsidi bersifat konsumsi yang terkompensasi (compensated consumption). Berapa pun konsumsi BBM bersubsidi, tak
peduli oleh siapa dan untuk keperluan apa, pemerintah pasti menyubsidinya. Dana ratusan Triliun rupiah
digelontorkan pemerintah hanya untuk memenuhi kebutuhan BBM orang-orang yang
bukan kategori miskin. Keadaan tersebut, cukup memprihatinkan bagi APBN. Belum
lagi fluktuasi nilai tukar rupiah
terhadap dollar yang dapat mengganggu perekonomian naional. Sehinggga banyak
pihak menialai bahawa kenaikan
anggaran subsidi energi, terutama BBM, disebabkan beberapa hal, di antaranya
pelemahan nilai tukar rupiah karena sebagian BBM masih diimpor, kenaikan
konsumsi BBM domestik karena meningkatnya jumlah kendaraan, serta kegagalan
target lifting minyak dan gas. Sebab besaran
Alokasi dan Realisasi Anggaran Subsidi BBM Sangat Bergantung Kepada Harga
Minyak Dunia dan Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar.
Oleh karena itu kenaikan harga
BBM bersubsidi merupakan suatu keniscayaan, mengingat kondisi fiskal tak lagi
memungkinkan pemerintah mempertahankan harga subsidi BBM seperti sekarang ini.
Kebijakan ini diambil mengingat lonjakan konsumsi BBM bersubsidi dalam beberapa
waktu terakhir terus meningkat dan berdampak pada terganggunya kesehatan
fiskal.
Dengan menaikkan harga BBM secara
terbatas dan terukur, alokasi anggaran subsidi dapat dialihkan bagi pembangunan
infrastruktur dasar, kesehatan dan pendidikan serta berbagai program
peningkatan kesejahteran kelompok masyarakat miskin sebagai pengejawantahan
aspek keadilan dan pembangunan inklusif.
Dampak Negatif yang Menjadi Pertimbangan Pihak yang Kontra
Terhadap Kebijakan Kenaikkan Harga BBM
Meskipun demikian, ada juga yang kontra terhadap kebijakan
menaikkan harga BBM. Sehingga pemerintah berada dalam posisi yang dilematis. Misalnya,
bila ditinjau dari efek negatifnya, kenaikan harga BBM
bersubsidi akan memberikan tambahan inflasi. Sebab setiap kenaikan BBM subsidi
10 persen saja akan menyebabkan bertambahnya inflasi satu persen. Jika inflasi tahun ini
diperkirakan sebesar 5,3
persen maka inflasi akhir tahun diperkirakan akan naik ke level 7,3 persen karena
kenaikkan harga BBM bersubsidi.
Dampak
inflasi terbesar akan terjadi di dua bulan awal sejak kenaikan BBM, yaitu
November dan Desember 2014. Karena berada pada masa-masa dimana masyarakat dan pasar
dalam tahap adaptasi terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi.
Dampak langsung yang sangat dirasakan dalam waktu singkat
adalah harga kebutuhan pokok yang terus melambung tinggi apa lagi menjelang tahun
baru dan pembayaran uang sekolah. Bahkan harga kebutuhan pokok ini sudah naik ketika pemerintah baru ancang-ancang untuk
menaikkan harga BBM bersubsidi. Inilah yang sangat dirasakan oleh masyarakat ekonomi
lemah. Misalnya, karena BBM berhubungan lasngsung dengan transportasi maka efek
pertama dalah naiknya ongkos transportasi
seperti tarif
angkutan umum. Hal lain yang mengakibatkan ongkos transportasi naik adalah naiknya harga suku cadang kendaraan,
dengan demikian maka tentu harga-harga
barang kebutuhan pokok dan berbagai bahan kebutuhan lainnya ikut naik
karena ongkos angkutannya dan biaya produksi yang mahal. Sehingga keadaan ini akan
mempersulit masyarakat ekonomi rendah. Karena harga barang di pasaran mahal, tentu
menurunkan
daya beli masyarakat. Bahkan untuk kebutuhan makanan dan pemenuhan gizi pun akan
menjadi kendala bagi masyarakat lapisan bawah, sehingga terjadi penurunan pemenuhan gizi bagi
anak-anak, hal inilah yang dapat meningkatkan jumlah anak rawan gizi, karena
misalnya harga susu untuk anak-anak sudah mahal bagi masyarakat kurang mampu. Karena
masyarakat kurang mampu tidak dapat memenuhi kebutuhan maka bukan tidak mungkin
akan ada bertambahnya
jumlah orang yang stress. Tetapi, guna tetap menjaga daya beli kelompok masyarakat
miskin diperlukan bentuk kompensasi untuk tetap menjaga daya beli masyarakat, melalui percepatan
dan perluasan sejumlah perlindungan sosial paska kebijakan menaikkan harga BBM
bersubsidi.
Dampak lainnya adalah bertambahnya jumlah pengangguran,
biaya produksi usaha akan meningkat memberatkan pengusaha, sehingga dikhawatirkan
terjadi PHK. Meskipun tidak ada PHK, Kenaikkan harga BBM akan mempengaruhi kebijakan
rekruitmen perusahaan untuk merekrut karyawan baru, karena perusahaan akan
lebih memilih meningkatkan kemampuan karyarawan yang sudah ada daripada
menerima karyawan baru untuk menekan pengeluaran rutin perusahaan, sehingga hal
ini akan menambah tingginya angka pengangguran. Dampak lainnya adalah bertambahnya jumlah UKM yang
gulung tikar. Akibatnya mereka semakin
terpukul dari penambahan beban biaya produksi dan distribusi, sehingga UKM
yang tidak bisa betahan akan gulung tikar.
Kendati demikian, siapapun yang menjadi Pemimpin pemerintahan di Indonesia tentu tidak
bermaksud untuk menyengsarakan rakyatnya. Belajar dari pengalaman masa lalu,
tentunya pemerintah telah memperhitungkan secara cermat dampak yang akan
terjadi bagi masyarakat miskin akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Oleh
karena itu, mekanisme yang tepat terkait apapun bentuk kompensasi yang akan
diberikan harus dipersiapkan secara matang. Pemerintah harus mampu menjamin
pengendalian harga kebutuhan pokok masyarakat dan ketersediaan produksi yang
memadai. Apapun kebijakan pemerintah yang akan diambil pasti berdampak pada
perekonomian nasional. Semoga efek ini hanya bersifat sementara dan kita segera pulih kembali.
Aspek-aspek pengalihan subsidi dan konsekuensinya bagi kebijakan
fiskal
Pengalihan
subsidi BBM oleh pemerintahan Jokowi-JK menjadi kontroversi di ruang publik. Di satu sisi,
kebijakan tersebut sulit diterima karena akan diikuti dengan kenaikan harga kebutuhan
pokok karena
tingginya biaya produksi dan distribusi. Namun, di sisi lain, kebijakan pengalihan subsidi BBM dapat
diterima karena
penggunaan dana subsidi selain untuk mendukung kebijakan fiskal dalam menjaga
pemerataan terhadap akses ekonomi dan pembangunan, juga penting untuk menjaga kelompok masyarakat kurang mampu agar tetap memiliki
akses terhadap pelayanan publik, pendidikan, kesehatan dan pembangunan
infrastruktur.
Aspek-aspek
kebijakan fiskal yang menjadi konsekuensi dari kenaikan harga BBM bersubsidi
Pengalihan ini dinilai dapat menghemat Rp.120 triliun untuk tahun 2015. Artinya akan menambah ruang fiskal nasional yang cukup
besar untuk pembangunan
sektor-sektor produktif, seperti irigasi, infrastruktur jalan, kesehatan,
pendidikan, pangan, serta peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan, yang jauh lebih produktif agar menunjang kepentingan
rakyat miskin. Beberapa program pembangunan infrastruktur yang disiapkan pemerintah antara
lain pembangunan 1.000km jalan tol, 2.650 km jalan
baru, 3.258 km rel kereta api, 30 waduk baru, satu juta hektare jaringan
irigasi, 24 pelabuhan baru, 15 bandara baru, 16 kawasan industri, dan
pembangunan dua kilang minyak. Subsidi sektor pendidikan dan kesehatan diyakini
akan mampu meningkatkan kualitas SDM, mendorong meningkatnya daya saing dan
produktivitas, serta menjamin pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Selain itu, guna mewujudkan
kemandirian pangan, pemerintah berjanji
akan mengalihkan dana subsidi Bahan
Bakar Minyak (BBM)
senilai Rp.23,8 triliun untuk pembangunan waduk dan
irigasi yanag
dalam rencana dimulai pada bulan Februari 2015. Presiden Joko Widodo juga
mengatakan, anggaran untuk pembangunan waduk berkisar Rp.8,2 triliun, yang akan dikerjakan
oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera). Sedangkan
sisanya Rp 15,6 triliun untuk irigasi yang akan dikerjakan oleh Kementerian
Pertanian. Dana pengalihan subsidi BBM ini dikonsentrasikan untuk mewujudkan
kemandirian pangan, khususnya sistem irigasi. Pemerintahan Joko Widodo dalam
janji kampanyenya berkomitmen membangun 25-30 bendungan baru dalam lima tahun,
diantaranya di Aceh, Banten, Sulawesi Utara, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat.
Dalam lima tahun terakhir, Belanja
infrastruktur maksimal Rp.580-Rp.600 triliun, dan kesehatan berkisar pada Rp.250 triliun. Selain itu, APBN sering mengalami defisit, sehingga harus hutang luar
negeri. Dengan demikian, maka pengalihan subsidi BBM akan dapat mencegah defisit
APBN, menambah ruang fiskal untuk pembangunan yang lebih produktif ketimbang
konsumtif seperti Subsidi BBM, bidang usaha kreatif, infrastruktur, pendidikan,
kesehatan dan pelayanan publik dan perlindungan social bagi masyarakat yang kurang mampu.
Apakah yang harus dilakukan
dengan rencana untuk mengurangi dampak inflasi terhadap masyarakat
berpendapatan rendah? Dampak inflasi yang paling
dirasakan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah atau kurang mampu adalah turunnya daya beli masyarakat karena melambungnya harga-harga barang di pasaran terutama barang-barang
kebutuhan pokok masyarakat. Inflasi juga menyebabkan
orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat
inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang, mengakibatkan berkurangnya
investasi.
Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana
dari bank yang
diperoleh dari tabungan masyarakat.
Mengingat
akan hal di atas, sebagai antisipasi
dampak yang ditimbulkan kenaikan harga BBM bersubsidi, maka pemerintah mengalihkan
dana subsidi BBM dalam bentuk kompenisasi kepada masyarakat yang kurang mampu,
agar tetap menjaga daya beli masyarakat tetap tinggi. Kompenisasi tersebut
telah diluncurkan oleh presiden Joko Widodo yang dikemas dalam program Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan
Kartu Indonesia Sehat (KIS), atau
dikenal dengan “Kartu Sakti Jokowi”. Dua
bulan pertama, pemerintah siapkan sekitar Rp.5 Triliun yang alokasikan dari
APBN-P 2014 untuk kurang lebih 15 juta keluarga kurang mampu. Kompenisasi ini banyak pihak menilai
lebih tepat sasaran daripada Subsidi BBM. Tidak seperti subsidi BBM yang salah
sasaran.