Dilematis Implementasi Peraturan Daerah (Perda) Penertiban Ternak di Sabu Raijua
Kabupaten Sabu Raijua (Sarai) adalah salah satu daerah otonomi baru di
Nusa Tenggara Timur yang terbentuk tahun 2008 berdasarkan UU nomor 52 tahun
2008 tanggal 28 Nevember 2008. Bagian Timur dan Selatan berbatasan dengan
Samudra Hindia, Utara dan Barat batasan Laut Sawu. Luas wilayah 46.084,50, luas
Laut 136,954,74, Panjang garis pantai kurang lebih 134.356,66 meter, dengan 2
buah pulau yang berpenghuni (P. Rijua, P. Sabu), dua buah pulau tidak
berpenghuni (P. Dana dan P. Kelara). Kabupaten Sarai beriklim tropis, yakni 3-4
bulan, bulan basah, 7-8 bulan, bulan kering, termasuk iklim semi arid. Sehingga masyarakat Sabu Raijua
bermata pencaharain sebagai petani juga merangkap sebagai peternak. Bupati Marthen Dira Tome dan wakilnya
Nikodemus Rihi Heke sebagai bupati dan wakil bupati perdana yang memerintah di
Sarai mulai merencanakan berbagai program pembangunan dengan semangat
pembangunan menjadikan Sabu Raijua Kabupaten yang Inovatif, Maju dan
Bermartabat sekaligus sebagai visi mereka.
Sebagai daerah otonom, kabupaten ini wajib memiliki peraturan daerah
untuk mengatur jalannya pemerintahan dan interaksi warga Sarai. Salah satu dari
Peraturan Daerah itu adalah Perda Penertiban ternak. Yaitu Perda nomor 13 tahun
2011 Tentang Penertiban Ternak Dalam Wilayah Kabupaten Sabu Raijua yang sudah
di sahkan oleh DPRD dan siap diimpletasikan. Perda ini di latar belakangi oleh kebiasaan masyarakat dengan melepas
ternak dan peliharaan mereka tanpa dijaga sehingga merusak tanaman yang
ditananam. Selain itu, keamanan lalulintas di jalan raya juga menjadi
pertimbangan sebab banyak hewan yang berkeliaran di jalan-jalan. Beberapa jenis
ternak yang terdapat di sana ada ternak besar seperti Kerbau, Sapi, Kuda,
ternak kecil seperti Babi, Kambing, Domba dan hewan peliharaan lainnya
(Kelinci) serta unggas sperti Ayam,
Itik, Angsa dan Burung. Dengan hadirnya perda ini maka peternak dilarang
melepas, menelantarkan dan membiarkan ternaknya berkeliaran hidup bebas. Bila
itu dilanggar maka konkuensinya diancam
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp
50.000.000. (lima puluh juta rupiah). Begitulah ketentuan dalam Pasal 6 Ayat
(1) Pasal 7 dan Pasal 8 perda yang bersangkutan.
Namun,
perda ini menuai pro dan kontra yang dilematis di lapangan. Sebab banyak warga
yang tidak menerima keberadaannya. Berangkat dari penolakan warga itu, maka ada
beberapa hal yang seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah Sarai sebelum
perda itu diimplementasikan.
Pertama, keadaan sosial budaya yang
berhubungan dengan kesadaran dan kesiapan mental warga untuk menerima perubahan
dari perda ini. Kebiasaan masyarakat Sabu Raijua, bila pada musim panas (iklim
kering) ternak-ternak mereka hanya lepas begitu saja, namun pada saat musim
hujan (iklim basah) berarti juga musim tanam, ternak mereka ada yang
digembalakan ada juga yang diikat. Diikat bila jumlahnya sedikit dan digembalakan
bila jumlahnya banyak. Sebab, satu peternak bisa mempunyai kambing dan domba
hingga ratusan ekor, sementara ternak besar seperti kerbau dan kuda hingga
berpuluh-puluh ekor per orang. Dalam kondisi yang demikian bisa dibayangkan ternak
sebanyak itu, harus diikat atau dikandangkan sementara pakan ternak belum
tersedia. Kedua, mata pencaharian
(pekerjaan) warga. Pada umumnya mata pencaharian masyarakat Sabu Raijua adalah
berladang (bukan berkebun). Tetapi berladang ini tergantung dari kapan tibanya
musim tanam (musim hujan), namun pada saat yang sama, mereka juga peternak. Ketiga,
ketersediaan pakan ternak. Hampir diseluruh wilayah di NTT, persoalan pakan
menjadi masalah utama yang dihadapi pemerintah dan peternak. Pertanyaan penting
di sini adalah, bila para peternak mengandangkan atau ikat ternak mereka, berarti
harus ada pakan. Namun persoalannya adalah tidak ada pakan yang tersedia. Karena
itu, hal seperti ini harus menjadi agenda kebijakan pemerintah di masa depan.