Tujuan BI menaikan tingkat suku bunga (BI Rate)
1.
Apa tujuan
BI untuk menaikan tingkat suku bunga (BI Rate) setelah kenaikan harga BBM saat
ini?
Kenaikan harga BBM 18 November 2014 lalu ternyata tidak hanya berdampak
pada, harga Sembilan Kebutuhan Pokok
(Sembako) dan biaya transportasi atau bahkan UMR Provinsi, tetapi juga berdampak
pada kebijakan Bank Sentral Indonesia, yaitu Bank Indonesia (BI). Pengaruh yang
dimaksud terlihat dalam “Keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia
(BI) untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin dari
7,5 persen menjadi 7,75 persen”. (Kompas,
18 November 2014).
Adapun Tujuan BI menaikan
Suku bunga acuan adalah “Mengendalikan inflasi”.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Gubernur BI Agus Martowardojo. Menurutnya,
kenaikan BI Rate akan menekan terjadinya inflasi yang diakibatkan oleh harga bahan kebutuhan
pokok mulai naik. Pada dasarnya, kenaikan harga barang memang sangat
berpengaruh terhadap kenaikan inflasi. Misalnya, kenaikan harga cabe, kedelai,
lain-lain. Selain itu, naik turunnya inflasi secara makro juga terpengaruh oleh
inflasi yang terjadi di tingkat mikro yaitu di daerah-daerah yang disebabkan
oleh harga BBM yang naik, atau bencana alam. Oleh sebab itu, Tim Pengendalian
Inflasi Daerah (TPID) harus mampu membaca dan meramalkan apa yang hendak
terjadi di pasar tingkat mikro, sehingga inflasi tingkat makro pun dapat dikendalikan.
Di pihak lain, kebijakan menaikan BI rate tidak cukup kuat untuk mengendalikan
inflasi, karenanya, “BI yang melakukan kebijakan moneter, termasuk
kebijakan suku bunga, harus dibarengi dengan kebijakan pemerintah dalam menjaga
pasokan bahan pangan yang kerap bergejolak” (Liputan 6
2.
Apakah
pengaruh BI rate terhadap transaksi berjalan di Indonesia? tunjukkan juga
pengaruhnya terhadap iklim investasi dan penyerapan tenaga kerja dalam jangka
pendek. Jelaskan contoh-contoh konkret!
Selain berpengaruh terhadap inflasi, BI rate juga akan
berdampak terhadap transaksi berjalan. Dalam mengendalikan transaksi berjalan ini,
BI juga harus memperhatikan tingkat suku bunga. Isu utama BI saat ini adalah
mengendalikan defisit transaksi berjalan.
Namun, BI rate, bukanlah
aspek utama yang berpengaruh terhadap transaksi
berjalan, sebab sektor energi juga sangat mempengaruhi transaksi berjalan. Jadi,
langkah mengendalikan defisit transaksi berjalan, tidak bisa hanya dilakukan BI
semata, tetapi pemerintah juga harus memiliki kebijakan yang jelas di sektor
energi. Misalnya defisit transaksi berjalan bersumber
dari impor migas yang masih tinggi. Jikadefisit transaksi berjalan masih tetap
terjadi dengan sumber yang sama, yakni migas, maka BI rate tidak berdampak
terlalu besar terhadap defisit transaksi berjalan.
Kenaikan BI rate akan berdampak negatif terhadap Iklim investasi apabila Perbankan ikut menaikkan suku bunganya.
Kenaikan BI Rate akan berdampak terhadap perekonomian dan sektor riil.
Pertumbuhan ekonomi akan melambat. Karenanya, bila perbankan ikut menaikan suku
bunga maka akan berpengaruh negatif terhadap iklim investasi.
Contoh:
Salah satu sektor
investasi yang akan akan terganggu adalah Para
Pengembang. Seperti dilansir oleh Liputan 6, 19 November 2014, “Para
pengembang yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) mengeluhkan
tumpukan beban bertubi-tubi akibat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dan kenaikan
harga BBM. Kondisi ini bisa mengganggu penjualan rumah. Sebab, dengan kenaikan suku
bunga bank, maka para pengembang pun harus menaikan harga perumahan, hal itu
pasti permintaan terhadap rumah akan ikut turun. Saat ini suku bunga Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) berkisar 12 persen-14 persen.” Namun, bila perbankan
tidak ikut menaikan suku bungaunya, maka tentu tidak mengganggu investasi. Oleh
sebab itu, para pengembang berharap, perbankan tidak ikut menaikan suku
bunganya meskipun BI sudah menaikan Suku Bunga Acuan.
Dampak Buruk Terhadap UKM
Kenaikan BI Rate akan
mengakibatkan kenaikan suku bunga perbankan. Bank bisa menaikkan suku bunga
simpanan ataupun pinjaman. Kenaikan suku bunga simpanan akan mendorong
masyarakat menunda kegiatan konsumsi karena memilih menyimpan dana di bank.
Kenaikan suku bunga simpanan akan meningkatkan biaya dana bank. Jika tidak ingin UKM tertekan, bank harus
menaikkan suku bunga pinjaman. Tetapi langkah perbankan menaikkan suku bunga
pinjaman, akan berhadapan dengan risiko kredit bermasalah. Menaikkan
suku bunga pinjaman, berdampak negatif terhadap sektor riil terutama Usaha
Kecil dan Menengah (UKM). Karena terbatasnya dana dan tingginya suku bunga
kredit perbankan untuk para pelaku usaha kelompok ini dalam keberlangsungan
usaha mereka. Selain itu, bila perbankan ikut menaikan suku bunga, maka Kredit
Usaha Kecil Menengah akan stagnan. Sebab, Efek kenaikan suku bunga akan menyebabkan
penurunan akses masyarakat terhadap kredit di perbankan, sebaliknya penurunan
suku bunga akan mendorong akses masyarakat terhadap perbankan.
Seharusnya perbankan
tidak ikut menaikan suku bunga, sehingga ekonomi akan tumbuh dengan baik
dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
kemiskinan. Faktanya, BI Rate tetap bertengger tinggi 7,5% selama 13 bulan
terakhir dan bulan ini dinaikkan lagi menjadi 7,75%. Intinya adalah bila suku bunga
naik, kreditor akan enggan pinjam uang dari bank untuk investasi. Itulah
sebabnya, seperti dilansir Liputan 6, 19 November 2014, “Ketua Umum Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi berharap kenaikan BI Rate, tidak
diikuti oleh perbankan.”
Jadi, semua tergantung
perbankan, kalau ikut menaikan suku bunga, maka dampak negatif terhadap
investasi, tetapi sepanjang perbankan tidak ikut menaikan suku bunga, tidak
berpengaruh apa-apa terhadap investasi.
Bila para Pelaku UKM
enggan untuk meminjam uang dari bank, maka uang yang beredar akan ikut turun. Hal
itu dapat dilihat dalam grafik berikut: