Fenomena dan Realitas dalam Kebijakan Jokowi untuk Lelang Jabatan Camat, Lurah dan Kepala Sekolah di DKI
Fenomena: “Birokasi yang KKN dan
Lambat menyebabkan pelayanan publik menjadi buruk”
Buruknya pelayanan publik
yang diselenggarakan oleh birokrasi pemerintah saat ini adalah fenomena yang terkadang
membuat banyak orang jenuh. Rasa-rasanya tidak mau lagi berhubungan dengan
birokrasi. Namun, apa mau dikata sebagai warga yang hidup dan
beriteraksi dalam sebuah masyrakat, bangsa dan negara, tentu semua orang
membutuhkan pelayanan dari negara dimana ia tinggal baik menetap maupun hanya
sekedar singgah untuk sementara waktu. Pelayanan itu dilakoni oleh Lembaga
Pemerintah atau Organisasi Publik yang disebut dengan “birokrasi”. Orang-orang yang bekerja dan melayani di organisasi ini
dinamakan “birokrat atau pegawai”.
Pada
hakekatnya, tugas dan fungsi utama mereka yang bekerja di lembaga ini adalah
untuk “melayani” warga negara yang membutuhkan
dan semua orang pasti membutuhkan birokrasi. Misalnya, untuk mengurus KTP, Akta
Kelahiran, dan berbagai jenis urusan administrasi lainnya. Karena itu, wajib
hukumnya para birokrat itu, melayani warga negara dengan profesional dan hasil
yang memuaskan. Namun, sering kali pelayanan itu tidak seperti yang diharapkan.
Sebab, berhadapan dengan pelayanan publik yang seharusnya melayani dengan baik,
namun kadang mengekecewakan. Pelayanan publik sering kali hanya menjadi sebuah
rutinitas kerja para pegawai yang seharusnya melayani dengan baik demi
kepentingan semua unsur, golongan maupun komunitas masyarakat.
BACA JUGA: KAKEK JOKOWI KADES SELAMA 30 TAHUN
- Jokowi Adalah Presiden Paling Banyak Difitnah Dan Dihina Sepanjang Sejarah Indonesia
- Surat Dari Wanita Tukang Kue Untuk Para Pembenci Jokowi
Sebuah kenyataan, pelayanan di
tingkat birokrasi pemerintahan yang yang paling bawah seperti kelurahan. Di sana
terlihat betapa buruknya kinerja layanan yang jauh dari harapan masyarakat. Para
Pelayan publik memandang sebuah jabatan ataupun bagian kerja adalah sebuah
rutinitas, melayani kebutuhan masyarakat tanpa adanya profesionalisme ataupun service
yang baik, bahkan jauh dari harapan masyarakat sebagai customer. Fakta lain adalah mulai dari jam kerja yang
molor, bahkan setiap hari pasti ada yang tidak masuk karena alasan yang tidak
jelas hingga tata cara kerja yang seolah-olah tidak adanya target dan administrative
yang tidak baik menjadikan semua permasalahan harus ditanggung oleh masyarakat
yang mau tidak mau harus menyerah kepada mereka, melihat betapa santainya
pegawai kelurahan dan buruknya dalam pelayanan, misalnya dalam pembuatan KTP dan
administrasi lainnya yang seharusnya dapat diselesaikan dalam waktu hitungan
jam tetapi bisa berhari-hari, bahkan bisa bulan karena alasan kecil seperti cap
atau tanda tangan pejabat struktural, blanko surat yang tidak tersedia, dan
segala jenis alasan yang sulit kecil dipahami dengan logika.
BACA TERKAIT:
Sungguh ironis memang, ketika sebagai
warga negara yang wajib mendapatkan pelayanan terbaik dari negara (yang hadir
melalui birokrasi) namun tidak ada pelayanan yang memuaskan, sementara warga
negara sendiri sudah memenuhi kewajibannya, seperti mengurus KTP, Akta Kelahiran
dan membayar pajak, mentaati peraturan pemerintah hingga berbelanja apapun
sudah dikenakan pungutan atau pajak. Dari sini jelas tidak adanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban. Oleh sebab itu, seharusnya pemerintah menyadari dan
melaksanakan dengan sepenuhnya arti pelayanan bagi masyarakat, mulai dari
hal-hal yang kecil hingga besar dimana pelayan publik wajib berorientasi pada
“the real service” (pelayanan yang sesungguhnya).
BACA JUGA:
Diskusi di ruang publik
mengemukakan bahwa salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan birokrasi
adalah pejabat struktural yang kurang berkompeten dan tidak profesional. Jabatan
Struktural, yaitu jabatan yang secara tegas ada dalam struktur
organisasi. Kedudukan jabatan struktural bertingkat-tingkat dari tingkat yang
terendah (eselon IV/b) hingga yang tertinggi (eselon I/a). Pengangkatan pejabat
struktural selama ini, terkesan tertutup sehingga memunculkan stigma adanya
praktek Kolusi di dalamnya. Hal inilah yang kemudian menjadi biang korupsi
dalam birokrasi publik. Stigma yang merebak di publik adalah adanya
pengangkatan pejabat struktural yang didorong oleh politik balas jasa para
kepala daerah setelah terpilih. Fenomena gusur-menggusur jabatan setiap kali
pergantian kepala daerah adalah diskusi yang lasim di media massa. Pada
dasarnya, hal ini bukanlah persoalan bila dilakukan atas dasar niat baik untuk
mencapai pelayanan publik yang memuaskan, tetapi yang menjadi masalah adalah
karena hal tersebut dilakukan atas dasar Kolusi bahkan balas dendam terhadap
pendukung kepala daerah yang kalah di pertarungan pemilui kepala daerah, meskipun
hal itu tidak mengemuka ke permukaan tetapi sebenarnya itulah yang terjadi di
balik layar. Karena pengangkatan didorong oleh niat membalas jasa, maka
pengangkatan pejabat tidak mempertimbangkan kriteria administrasi dan
kompetensi. Dengan demikian, jarang atau bahkan tidak ditemukan pejabat yang
menduduki jabatan tertentu yang benar-benar berkompeten dan ahli dalam
bidangnya. Padahal jabatan struktural sangat strategi untuk melakukan perbaikan
terhadap pelayanan publik yang selama ini jauh dari harapan.
Oleh sebab itu, dikemudian hari,
maka muncul ide “reformasi birokrasi”
yang hingga saat ini masih menjadi agenda penting pemerintah, terutama Kementerian Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tetapi belum membuahkan hasil yang signifikan.
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tetapi belum membuahkan hasil yang signifikan.
BACA JUGA:
Realitas: “Jokowi Lelang Jabatan Camat, Lurah dan Kepala Sekolah”
Fenomena di atas telah menyumbang
berbagai persoalan pelik dalam pelayanan publik di tanah air. Sebagai reaksi
dari fenomena tersebut, maka berbagai upayapun mulai dikobarkan oleh pemerintah,
terutama merebaknya diskusi tentang Refomasi birokrasi dan pelaksaannya dari
pusat hingga ke daerah. Upaya inipun terlihat dalam Kebijakan lelang jabatan
untuk Camat dan Lurah serta kepala
sekolah di Ibukota Jakarta yang diusung Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki C.
Purnama (Ahok) , Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta belakangan ini mulai mengemuka
ke ranah publik dan turut meramaikan diskusi di media massa. Langkah ini adalah semangat reformasi birokrasi untuk memutuskan
mata rantai atau setidak-tidaknya meminimalisir praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di
balik pengangkatan para Camat, Lurah dan Kepala Sekolah untuk merekruitmen
pejabat publik yang berkompeten dan profesional di bidangnya. Sebab, dengan
jalan yang demikian, maka akan mencapai “meryt
system atau the right man on the right
place”. Artinya menempatkan orang pada posisi atau jabatan yang sesuai
dengan keahlian yang dimilikinya. Dan tidak lupa mempertimbangkan kesinambungan
karier PNS yang bersangkutan
Kenyataan selama ini, budaya
birokrasi kita masih mengindikasikan adanya keterkaitan emosional dan ekonomis
tertentu dalam mendudukkan seseorang dalam jabatan. Keterkaitan emosional
seperti adanya kedekatan secara kekerabatan, organisasi kemasyarakatan maupun
organisasi kemahasiswaan sehingga seseorang mendapat kesempatan untuk
dipromosikan dalam jabatan. Keterkaitan secara ekonomis terkait dengan jual
beli jabatan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik tertentu. Camat
dan Lurah yang dipilih selama ini dan diseleksi berdasarkan “interpretasi” Kepala daerah atau
kriteria internal birokrasi yang ditunggangi dengan kepetingan yang mengesampingkan
aspek kompetensi. Atau dalam istilah Jokowi “Pengangkatan yang Suka-suka
Gubernurnya”.
BACA JUGA:
Lelang Jabatan berarti
menginstruksikan adanya seleksi secara terbuka bagi pejabat struktural. Menpan
RB mengatakan dengan promosi secara terbuka, kita akan mendapatkan pejabat
struktural yang profesional, memiliki kompetensi tinggi, berkinerja baik,
berintegritas, dan sesuai harapan organisasi.
Undang Undang Nomor 43 Tahun 1999
Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian juga sudah mengatur tentang persyaratan pengisian jabatan bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pada pasal 17 ayat 2 disebutkan bahwa Pengangkatan
Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan. berdasarkan prinsip
profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat
yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras atau golongan.
Melalui lelang jebatan itu,
Gubernur DKI, Joko Widodo berhasil menjaring dan telah melantik ratusan pejabat
sekaligus yakni kepala SMA 117 orang, kepala sekolah SMK 63 orang, Kepala
Kantor Regional V Badan Kepegawaian Negara 1 orang, Kepala Unit Layanan
Pengadaan 1 orang, camat 1 orang, Wakil Camat 2 orang, lurah 27 orang, Kepala
Seksi 10 orang dan Kepala Puskesmas Kecamatan 44 orang. (Tempo.co, Jum'at, 15
Februari 2013).