Korupsi: “Diantara Supremasi Hukum dan Keserakahan”
Elkana Goro Leba
Korupsi adalah penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara atau perusahaan untuk keuntungan pribadi, kelompok
atau orang lain. Orang yang melakukan korupsi dinamai Koruptor. Penyalahgunaan berasal
dari kata salah yang artinya melakukan sesuatu tidak sebagaimana mestinya atau
tidak sesuai dengan aturan hukum. Jadi, penyalahgunaan berarti proses, cara atau
perbuatan menyalahgunakan sesuatu. Dari defenisi sederhana tersebut, maka
apapun yang berhubungan dengan penyalahgunaan terhadap uang negara atau
organisasi tertentu, entah dalam jumlah besar atau kecil adalah korupsi.
Kehadiran KPK, Otonomi Daerah dan Otonomi Korupsi
Banyak yang bertanya-tanya, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sudah ada tetapi mengapa korupsi tidak terberantas bahkan semakin
merajalela dan masif dari pusat hingga ke daerah? Pertanyaan ini kurang lebih sama
dengan pertanyaan, dokter dan rumah sakit banyak, tetapi mengapa orang sakit
juga bertambah banyak? Jawaban sederhananya adalah bila dulu korupsi tidak
sebanyak ini, antara tidak ada atau tidak diketahui. Tidak ada, artinya
korupsi tidak terjadi, sedang tidak diketahui, artinya korupsi itu terjadi tetapi
tidak ada yang tahu kecuali koruptor itu sendiri dengan Tuhannya. Sama halnya
dengan orang sakit sedikit karena belum ada dokter dan rumah sakit yang
menjelaskan bahwa anda sedang sakit.
Pada era orde baru, korupsi relatif kecil (mungkin tidak
terungkap) tetapi bukan berarti tidak ada korupsi. Era orde baru adalah era
dimana kekuasaan pemerintahan berada di tangan satu aktor yang tunggal yaitu
Soeharto yang kemudian populer dengan pemerintahan yang sentralistik atau terpusat.
Apakah di era ini tidak ada korupsi? Jawabannya ada tetapi tidak diketahui dan
bersifat sentralistik mengikuti kekuasaan yang sentral atau terpusat. Berjalan
seiringan dengan lahirnya era reformasi, kemudian terbentuknya Undang-undang Otonomi
Daerah (UU Otda nomor 32 tahun 2004), yang memberikan wewenang kepada daerah
untuk mengatur daerahnya sendiri. Selain itu, UU Otda juga untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat di daerah. Maka kekuasaan pemerintahan tidak lagi sentralistik atau terpusat tetapi ter-desentralisasi. Desentralisasi artinya penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri
berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan
Republik Indonesia. Dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi
daerah. Sehingga kekuasaan dan pengambilan keputusan tidak lagi bertumpuk pada
seorang aktor (Presiden) tetapi juga pemerintah daerah (Pemda). Yang menjadi persoalan adalah tidak hanya kekuasaan
yang terdesetralisasi atau otonomi tetapi juga budaya korupsinya ikut
terdesentralisasi. Bila era orde baru korupsi hanya ada dipusat maka
sekarang dengan adanya UU Otda korupsi ada pula di daerah-daerah. Sehingga ibaratnya
selain “raja-raja besar” di pusat sudah
tercipta lagi “raja-raja kecil” di
daerah bersama dayang-dayangnya yang dengan membabibuta mengeruk uang negara dengan
berbagai macam “pendekatan” untuk
memperkaya diri sendiri dan kelompoknya (partai politik).
Fenomena melukiskan bahwa 325 kepala daerah dari kurang
labih, 33 Propinsi, 506 kabupaten/kota, 1 kabupaten administrasi, dan 5 kota
administrasi di Indonesia terjerat hukum. Itu baru Kepala daerahnya, belum lagi
anggota DPRD. Ibaratnya, banyak kepala daerah yang dari “Istana ke Bui” karena berurusan dengan KPK setelah habis masa
jabatannya. Antara lain adalah, Daniel Adoe (Mantan Walikota Kupang), Ratu Atut
(Gubernur Banten), Anas Maamun Yesaye Sombuk (Bupati
Biak), Rachmat Yasin (Bupati Bogor), Amran Batalipu
(Bupati Buol), Madjid Muaz (Mantan Bupati Tebo), Arifin Manap (Mantan Wali Kota
Jambi), Adriansyah (Bupati Tanah Laut), Burhan Abdurahman (Wali Kota Ternate),
Muhammad Kasuba, (Bupati Halmahera Selatan), Suwandi (Mantan Wakil Bupati
Mojokerto) dan sederet nama lainnya yang dijebloskan KPK ke jeruji besi karena
Korupsi. Itulah bukti bahwa dengan adanya
otonomi daerah, korupsi juga ikut terotonomi.
Korupsi: Aturan Tidak Tegas
atau Koruptor yang Serakah?
Pertanyaannya, apakah yang menyebabkan
korupsi itu terjadi? Apakah tidak
ada aturan hukum yang mengatur dan menegaskan bahwa korupsi adalah salah, dan
setiap orang yang melakukan korupsi akan dihukum? Banyak orang yang menjawab
aturan ada tetapi tidak tegas. Mungkin jawaban itu benar. Ketika banyak orang
yang berngiang-ngiang bahwa negara ini negara hukum, namun tidak tegas bahkan
hukum itu lebih rendah nilainya daripada uang, dan itulah yang menyebabkan
korupsi itu semakin menggila, ya, itu
benar tetapi tidak tepat. Sejatinya,
aturan hukum di negeri ini sudah sangat pantas untuk mengatur “lalu-lintas” korupsi. Aturan hukum sudah
berusaha untuk sedemikian rupa menutup atau mencegah perbuatan tidak terpuji
itu agar tidak terjadi lagi. Salah satunya adalah lahirnya UU Akuntabilitas
Publik (UU No 14 tahun 2008 tentang keterbukaan
informasi publik). Akuntabilitas berbicara tentang keterbukaan.
Keterbukaan, juga menyinggung tentang bagaimana rakyat/masyarakat dapat
mengakses atau mengetahui apa yang dilakukan pemerintah termasuk penggunaan
uang negara. Artinya para pejabat negara
harus dengan terbuka mempertanggungjawabkan (termasuk melaporkan) penggunaan
uang negara dengan seterang-terang atau sejelas-jelasnya kepada masyarakat. Bila
ada yang tidak wajar dalam penggunaan uang negara, maka siapa pun dapat meminta
klarifikasi atau penjelasan ulang dari pemerintah, bahka bisa menempuh jalur
hukum. Ini adalah salah satu aturan hukum yang berusaha untuk memutuskan mata
rantai korupsi. Tetapi semakin aturan itu dibuat, korupsi juga semakin tumbuh
subur.
Oleh sebab itu, bila sudah ada aturan hukum yang mengatur
itu, pantaslah bila kembali kita bertanya, mengapa
korupsi itu masih saja ada? Jawaban yang paling benar sekaligus tepat
adalah “Karena Keserakahan”. Bukan
karena hukum itu tidak tegas. Kesakahan berasal dari kata “serakah” yang sinonim (sama artinya) dengan rakus, loba, tamak, artinya selalu hendak memiliki sesuatu lebih dari
yang sudah dimiliki (tidak Puas dengan yang ada). Keserakahan itu berhubungan
erat dengan moral seseorang. Apa yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan,
kurang lebihnya adalah manifestasi dari moralnya. Jadi, bila moralnya bobrok
maka apa yang dia lakukan akan selalu melanggar aturan dan merugikan orang
lain. Benar adanya, korupsi itu tetap terjadi, bukan karena lemahnya aturan
tetapi juga karena “koruptor itu rakus”.
Bila itu yang terjadi, maka sia-sialah semua aturan dibuat karena moral para
pejabat kita yang “bobrok”. Sebaliknya,
tidak ada aturan pun, bila orang bekerja dengan tulus untuk melayani tidak akan
ada korupsi. Jadi, semua bermula dari “Moral”.
Karena semakin ketat aturan main maka semakin pandai pula para koruptor mencari
cara untuk melakukan korupsi. Dengan
demikian maka, terjawablah pertanyaan di atas bahwa “Korupsi Terjadi Tidak Hanya
Karena Ketidaktegasan Penerapan Hukum Tetapi Juga Karena Koruptor Itu Rakus”. Alangkah
baiknya jika negara tidak hanya sibuk membuat aturan tetapi juga harus
membenahi moral para pejabat publik yang konyol dan bobrok seperti sekarang
ini. Sebab KPK tidak akan dapat berbuat banyak untuk memberantas korupsi bila
moral pejabatnya bobrok. Karenanya reformasi birokrasi, sebaiknya tidak hanya
pada strukturnya tetapi juga mereformasi perilaku aktornya yang menduduki
struktur itu.
Jadi, gagasan pokok dari tulisan ini adalah “korupsi
terjadi karena memang para pejabat publik kita tidak bermoral, karena tidak
bermoral maka mereka rakus, karena rakus, maka setegas apapun hukum itu, tidak
akan membatasinya. Sebaliknya, orang yang bekerja dengan niat yang tulus untuk
melayani, maka tanpa aturan hukum pun tidak akan ada korupsi.
***Lebih mulia
seorang pemulung atau petani hidup hidup sederhana dari pada pajabat yang hidup
mewah karena hasil korupsi***