Hari Perdamaian Dunia dan Konflik Para Elit
“Elkana
Goro Leba”
Hari Perdamaian Dunia
Setiap tanggal 21 September adalah hari yang ditetapkan
Majelis Umum PBB melalui Resolusi Nomor 55/282 pada Tahun 1991 sebagai Hari Perdamaian
Internasional (the International Day Of
Peace). Ini adalah hasil kebulatan tekad para pemimpin dunia yang
disuarakan sebagai Hari Tanpa Kekerasan dan Gencatan Senjata serta Perdamaian
Dunia. Penetapan Hari Perdamaian Dunia tersebut merupakan
sebuah himbauan dan ajakan bagi semua bangsa dan anggota masyarakat di muka
bumi ini untuk menghentikan segala bentuk permusuhan dan konflik.
Sesungguhnya, jauh sebelum tahun 1991, suara
tentang perdamaian sudah dikisahkan dalam cerita Legenda Burung Bangau Kertas oleh
gadis kecil Jepang berumur dua tahun, yakni Sadako Sasaki yang meninggal akibat radiasi bom
atom Amerika Serikat dan sekutunya yang meluluhlantakan Hiroshima pada tanggal
6 Agustus 1945. Kisah anak kacil itu menyerukkan perdamaian lewat 1.000 burung
Bangau kertas (Versi ini diambil dari
buku “Sadako and the Thousand Paper Cranes”) yang
dilipatnya bersama teman-temannya pada bulan November 1954-1955 ketika ia dalam
perawatan di rumah sakit karena diagnosa penyakit Leukemia akibat radiasi bom.
Melalui 1.000 Burung Bangau Kertas yang kemudian
dikubur bersama-sama dengan Sadako ketika ia meningal dunia meninggal di pagi
hari tanggal 25 Oktober 1955 pada umur 12 tahun adalah ingin menyampaikan satu
hal besar kepada dunia, yaitu: “Kore wa bokura no sakebi desu. Kore wa
watashitachi no inori desu. Sekai ni heiwa o kizuku tame no), yang kurang
lebih artinya: “Ini adalah seruan kami.
Ini adalah doa
kami. Untuk membangun kedamaian di dunia”. Cerita kuno itu memang tidak
populer tetapi mempunyai makna yang sangat besar bagi perdamaian dunia. Itulah sebabnya
Patung Sadako didirikan di Taman Perdamaian Seattle, Amerika
Serikat. Sadako telah menjadi simbol dampak Perang Nuklir. Itulah cerita kecil tentang
perdamaian yang mungkin terlupakan oleh dunia.
Ketika hari ini (21 September 2014) masyarakat
dunia menyerukan tentang perdamaian yang artinya tidak ada peperangan, tidak ada
permusuhan, tidak ada konflik di muka bumi ini, di masyarakat kita adalah
sebuah kerinduan untuk mendambakan kedamaian dan keamanan meskipun harapan itu
masih jauh berangan-angan.
Konflik Para Elit
Mungkin tidak berlebihan ketika orang bijak
berkata, bila anda ingin mendamaikan sekitarmu, berdamailah dahulu dengan diri sendiri
dan rumah tanggamu. Bila anda ingin mendamaikan negaramu, maka berdamailah dulu
dengan orang-orang di sekitarmu. Bila anda ingin mendamaikan dunia, alangkah
baiknya damaikan dulu negaramu. Hal ini menginstruksikan kepada kita bahwa
perdamaian pada hakekatnya dimulai dari diri sendiri, rumah tangga, masyarakat,
teman kerja hingga pada sebuah negara. Jangan bermimpi bisa menjadi duta damai
bila dengan diri sendiri saja tidak bisa berdamai. Berlebihan rasanya
menyerukan perdamaian kepada masyarakat sekitar bila kita tidak berdamai dengan
teman kerja.
Bila demikian perdamaian itu ada, Pertanyaannya adalah, apa
yang diperlihatkan oleh para elit kita sekarang ini? Teladan apa yang mereka buat untuk perdamaian daerah dan negara ini?
Para elit kita belum memperlihatkan teladan
perdamaian. Pada saat negeri ini, masyarakat kita, dirundung konflik, negara
tidak hadir. Para elit politik yang adalah representatif dari kehadiran negara
sibuk merebut kekuasaan dan jabatan. Memfitnah antara satu dengan yang lainnya.
Saling menjatuhkan. Merubah Undang-undang yang justru menimbulkan konflik. Parahnya
lagi, para elit ini menjadi akar terjadinya konflik dalam masyarakat. Mereka memanfaatkan
masyarakat untuk mencapai keinginan pribadi mereka.
Hal yang paling dominan adalah ketika Para Wakil
Rakyat yang katanya terhormat itu, saling
“membunuh” satu dengan yang lainnya. Partai-partai
koalisi dan partai-partai oposisi berebut untuk menjadi mana yang paling kuat
dalam pemerintahan. Tanggung jawab mereka untuk membela rakyatnya dikubur
dalam-dalam. Kemewahan gedung DPR-MPR di Senayan menjadi saksi bisu “perkelahian” antar elit. Gedung itu,
tidak lagi menjadi tempat dimana aspirasi rakyat disuarakan, tetapi aspirasi
partai politiklah yang berdengung. Entah rakyat mau mati atau hidup, seakan
mereka tak pernah gubris.
Kelompok
“Merah Putih” seakan ingin “menghancurkan” kelompok “Indonesia Raya” lewat segala cara yang
tidak didasari oleh kepentingan rakyat dan begitu juga sebaliknya. Negari ini seakan-akan
hanya miliki mereka yang di Senayan. Tidak ada lagi rakyat. Rakyat hanya ada
ketika masa-masa kampanye.
Hak-hak rakyat
di cabut. Itu terpampang dengan jelas dalam
perubahan UU Pemilihan Kepala Daerah. Rakyat tidak punya untuk menentukan
pemimpinnya, padahal negara ini, adalah negara domokrasi. Itu adalah penghinaan
terhadap demokrasi. Anggota DPR/DPRD yang katanya adalah wakil rakyat yang
seharusnya mempunyai kemampuan dan intelektual yang tinggi, masih patut
diragukan. Mereka hanya mampu dan berintelek untuk memperkaya diri sendiri,
mereka-rekakan uang negara untuk membangun istana di dunia yang fana ini,
bahkan hingga dalam penjara pun bisa membangun istana.
Oleh sebab
itu, apakah para wakil rakyat yang “Pintar
dan korup” itu telah menunjukkan perdamaian untuk negeri ini? sudahkah
mereka menjadi teladan dan duta damai untuk masyarakat kita?
Saya katakan “TIDAK”.
Mereka adalah “SUMBER KONFLIK” dalam negeri ini.
Anda bisa membaca cerita Legenda
Burung Bangau Kertas dengan mengklik link berikut: