DAYA TAMPUNG SEKOLAH DAN LONJAKAN MURID BARU
DAYA
TAMPUNG SEKOLAH DAN LONJAKAN MURID BARU
Terbatasnya
Daya Tampung Sekolah negeri di Tengah Melonjaknya Siswa Baru. Pemerintah Jangan
Berpangku Tangan
(Menyelesaikan
masalah tambah masalah)
Oleh: Elkana Goro Leba, S. Sos
Sebagaimana lasimnya di seluruh
daerah di nusantara, setiap tahun ajaran baru juga dibarengi dengan penerimaan
siswa baru, baik di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP),
Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan (SMA/SMK) maupun Perguruan Tinggi (PT).
Di Kota Kupang, suasana penerimaan siswa baru adalah
pekerjaan yang tidak mudah bagi pihak sekolah dan orangtua calon murid. Hal ini
dikarenakan membludaknya murid baru dan setiap tahun terus bertambah sementara
daya tampung sekolah sangat terbatas. Keadaan yang demikian umumnya terjadi di
sekolah-sekolah negeri. Mengingat sebagian besar orangtua siswa masih sangat
mempercayai sekolah negeri sebagai tempat yang layak untuk tempat belajar bagi
anak-anak mereka yang tentu ditimbang dari berbagai aspek, baik dari segi
kualitas maupun biaya pendidikan, sekalipun banyak sekolah swasta yang
kualitasnya bersaing dengan sekolah negeri tetapi biasanya orangtua siswa
terbentur dalam hal biaya.
Antrian panjang di sekolah-sekolah ketika penerimaan
siswa baru di Kota Kupang adalah pemandangan biasa setiap tahunnya sekaligus
pemandangan yang mengindikasikan bahwa sebenarnya di sana sedang terjadi
masalah bagai benang kusut yang perlu diurai dan diluruskan, tetapi sepertinya
masalah yang sama terus berulang tahun bahkan kejadiannya semakin parah. Di pihak
lain, kondisi ini menggembirakan, sebab mencerminkan semakin tingginya tingkat
kedasaran orangtua akan pentingnya pendidikan bagi masa depan anak-anak mereka,
namun antusiasme orangtua untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang
mereka harapkan, diendus oleh terbatasnya daya tampung sekolah terutama sekolah
negeri di Kota Kupang. Keadaan ini semakin ruwet karena calon murid yang
mendaftar di sekolah-sekolah di Kota Kupang tidak hanya berasal dari dalam
kota, tetapi juga dari luar kota kupang. Sehingga menambah panjangnya antrian
di loket-loket pendaftaran. Ini juga menyebabkan orangtua murid terpaksa
melakukan kolusi dan nepotiesme dengan
mencari sahabat kenalan dan keluarga yang ada disekolah yang bersangkutan agar
anak-anak mereka mendapat kursi di sekolah itu. Bahkan tidak menutup
kemungkinan terjadi transaksi jual beli kursi. Sehingga hasil tes masuk
terkesan tidak murni dan hanya formalitas. Orangtua sebenarnya tahu hal ini
melanggar aturan, tetapi keadaanlah yang memaksa mereka untuk melakukannya. Pertanyaannya, siapa yang salah? Mengapa
warga masyarakat di luar kota kupang menyekolahkan anak mereka di dalam kota? Jawabannya
tidak lain salah pemerintah karena kualitas sekolah di dalam kota lebih baik
dari pada sekolah di luar kota kupang dan di sisi lain Kupang adalah
satu-satunya daerah yang berstatus kota sekaligus menjadi ibu propinsi NTT. Itu
pekerjaan yang wajib dituntaskan oleh pemerintah untuk melakukan pemerataan
kualitas pendidikan di daerah ini bahkan di seluruh wilayah propinsi Nusa
Tenggara Timur. Sebab sangat ironis ketika pemerintah mendengungkan wajib
belajar dua belas tahun tetapi tidak diikuti dengan pembangunan fasilitas
pendidikan. Pembangunan fasilitas pendidikan yang bermutu berhubungan erat
dengan daya tampung sekolah. Sementara, daya tampung, berhubungan dengan banyak
hal. Mulai dari gedung sekolah, ruang kelas hingga jumlah tenaga guru dan
fasilitas lainnya.
Pemerintah memang sudah berusaha untuk menyelesaikan
masalah ini, yaitu dengan membatasi waktu penerimaan murid baru dengan hanya
memberikan waktu 2-3 hari untuk orangtua mendaftarkan anak-anak mereka baik di
SMP maupun SMA. Tetapi langkah ini tidak menyelesaikan masalah, sehingga
masalah yang sama harus berulang tahun dalam dunia pendidikan di daerah ini.
Langkah pemerintah yang membatasi waktu pendaftaran bukannya menyelesaikan
masalah tetapi justru menambah masalah. Bagaimana tidak, dengan waktu yang
terbatas seperti itu, calon murid yang membludak ini tentu berburu tempat dalam
waktu 2-3 hari dengan berdesak-desakan di loket pendaftaran, apa lagi pendaftaran
bersifat manual (bukan online).
Apakah dengan membatasi waktu pendaftaran 2-3 hari
itu solusi terbaik? Tidak. justru itu solusi yang keliru. Menyelesaikan masalah
tambah masalah. Membatasi waktu
pendaftaran, sama halnya dengan menutup kesempatan bagi anak-anak untuk bersekolah.
Seharusnya, pemerintah bukan membatasi waktu pendaftaran tetapi membangun
fasilitas sekolah. Sebab ini berkaitan dengan daya tampung. Dengan membangun
fasilitas sekolah seperti sekolah baru, ruang kelas, dan tambahan jumlah guru
masalah ini akan terselesaikan. Selain itu, langkah lainnya adalah dengan
menyetarakan kualitas pendidikan di seluruh daerah di Propinsi NTT, sebab
dengan demikian, orangtua calon murid dari luar kota tidak lagi
berbondong-bondong untuk menyekolahkan anak mereka di kota kupang untuk mencari
sekolah yang berkualitas.
Jadi, solusi terbaik untuk
menyelesaikan masalah ini adalah bukan dengan membatasi waktu pendaftaran,
tetapi solusi pertama, merehab gedung
atau raung kelas yang lama. Sebab banyak sekolah yang mempunyai ruang kelas
yang tidak terpakai dan dijadikan gudang. Kedua,
membangun gedung baru. Alasan klasik pemerintah adalah sulitnya mendapat lahan
dan ijin bangunan serta mimimnya biaya. Alasan ini hanya tameng yang tidak berkekuatan.
Karena dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah seharusnya tidak ada alasan
yang demikian. Mengapa membangun sekolah dipersulit tetapi membangun mall dan kantor pemerintahan sangat
mudah? Mengapa beli mobil dinas pejabat dengan ratusan juta ada biaya, tetapi
biaya untuk bangun gedung sekolah tidak ada? Ini artinya pemerintah tidak
serius dengan masalah pendidikan di NTT.
Di samping itu, bila pemerintah tidak mampu menunjukkan taringnya sebagai pihak yang berkuasa untuk membangun sekolah di
kota, mengapa pemerintah tidak membangun sekolah yang bekualitas diluar kota
kupang untuk mengurangi urbanisasi murid dari desa ke kota sehingga mengurangi
padatnya murid di sekolah-sekolah di kota kupang? Ketiga, menambah jumlah tenaga pengajar. Pembangunan gedung baru,
tentu membutuhkan tenaga guru dan sarana lainnya. Alasan yang salama ini tenaga
pengajar yang kurang, lagi-lagi alasan yang tidak masuk akal. Sebab banyak
sarjana pendidikan guru (lulusan FKIP) yang menganggur di seluruh wilayah NTT. Mengapa
tenaga terdidik ini tidak dipakai untuk mencerdaskan anak-anak bangsa? Keempat, menyelenggarakan kelas paralel.
Solusi ini mungkin sudah diterapkan oleh beberapa sekolah. Namun perlu lebih
banyak sekolah yang menerapkannya, terutama sekolah-sekolah yang jumlah
siswanya padat dan berkualitas terbaik agar dapat menerima siswa baru dalam
jumlah yang banyak. Ini juga mungkin terbentur dengan tenaga pengajar tetapi
sekali lagi pemerintah dapat memanfaatkan lulusan pendidikan guru yang melimpah
di seluruh wailayah NTT yang banyak diantara mereka ini belum mendapat
pekerjaan yang layak dan sesuai keahlian. Kelima,
masalah lain yang terjadi ketika pendaftaran murid baru adalah desak-desakan
dan antrian pajang. Bahkan orangtua calon murid harus mengantri dari pagi-pagi
buta untuk mendaftarkan anak-anak mereka. Tentu ini sangat menyita waktu dan
tenaga. Lantas, apa solisunya?
Solusinya terapkan pendaftaran online.
Metode ini sangat efektif dan efisien untuk menjawab masalah tersebut di atas. Prihatin
memang, pada zaman global ini masih menggunakan metode manual. Apa lagi katanya
di wilayah ini mempunyai SMK yang punya jurusan Teknik Komputer dan Jaringan/Teknik
Informatika (TKJ/TI) dan juga Perguruan Tinggi (PT) ilmu komputer dan jaringannya.
Dikemanakan lulusan-lulusan dari sekolah dan kampus-kampus itu? Bahkan guru dan
dosen yang mempunyai keahlian di bidang TI seharusnya digerakkan bukan hanya untuk
mengajar semata tetapi juga keahlian mereka digunakan untuk menciptakan
metode-metode inovatif untuk menyelesaikan masalah ini sesuai dengan tuntutan
globalisasi.
Oleh sebab itu, letak persoalannya
ada pada keseriusan pemerintah untuk mengurus pendidikan di daerah ini. Uang
negara jangan dikorupsi. Uang Negara jangan hanya digunakan untuk membeli mobil
dinas para pejabat. Tetapi gunakanlah untuk pembangunan. Kita kaya sumber daya tetapi miskin
pemanfaatan. Kita banyak kebijakan tetapi kurang implementasinya. Bila
anak-anak tidak mendapat tempat yang
layak dan berkualitas untuk menuntut ilmu, dikemanakan mereka? Hanya pemerintah
yang bisa menjawab. Karenanya Pemerintah Jangan Berpangku Tangan.