Perjalanan karier politik Jokowi dari Solo Hingga Istana: Ayo, Siap-siap Jadi Jokowi Berikutnya
Perjalanan karier politik Jokowi: “Jokowi dari Walikota menuju RI-1. Dari Surakarta hingga Istana Merdeka di utara Monas”
Setelah
melewati proses ”menukiknya”
perjalanan pemilu presiden yang melelahkan, merepotkan, memboroskan bahkan
mungkin sempat mencederai persatuan dan kesatuan kakak dengan adik, suami
dengan istri, suadara dengan saudari, sahabat dengan teman karena berbeda
pilihan (mari kita lupakan itu “salam 3 jari – SILA KE-3 “PERSATUAN INDONESIA”)
akhirnya Jokowi-JK “be the winner to be
president” yang dipilih oleh enam puluh
delapan juta, tiga ratus empat puluh tiga ribu, empat ratus dua puluh empat pemilih
atau 52,89% DPT nasional. Selisih tujuh juta, empat ratus delapan puluh satu
ribu, tujuh belas pemilih atau 5,78% dari rivalnya Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta) yang dipilih oleh pemilih sebanyak enam puluh juta, delapan ratus enam puluh dua ribu, empat ratus tujuh
atau 47,11% dari DPT nasional.
Keterpilihan
Joko Widodo (Jokowi) Menjadi presiden yang notabene orang nomor wahid di Negeri
ini, mengisahkan kepada dunia bahwa menjadi RI-1 untuk menunggangi mobil mewah
RI-1 yang dikelir baja anti peluru dan pesawat kepresidenan berjenis Boeing
Bussines Jet 2 Green yang baru dibeli seharga US$ 91,2 juta
atau sekitar Rp 820 miliar dengan Nama Teknis Boeing 737-800
BBJ-2, serta mendiami dan mencatat namanya di istana negara sepertinya bukan hal
yang mustahil. Anggapan kebanyakan orang presiden itu hanya ketua umum partai
politik atau elit-elit nasional, terbantahlah sudah. Sebab, Jokowi bukanlah
ketua umum Partai, mau dibilang elit nasional, juga tidak. Bila menitik
perjalanan Jokowi dari Surakarta menuju Istana sepertinya semua orang bisa,
hanya kadang kita terbentur oleh persoalan kecil mau atau tidak mau.
Apa yang menarik dari Jokowi?
Salah
satu hal yang menarik untuk ditelaah adalah proses munculnya Joko Widodo sampai
akhirnya menjadi Presiden. Sepanjang sejarah Indonesia setelah merdeka, Jokowi
adalah presiden Indonesia pertama yang membangun karir dari lembaga eksekutif. Sebab
sebelumnya, Jokowi ialah Wali Kota di Pemerintah Kota Surakarta, bahkan dua
kali terpilih sebagai wali kota sampai sukses menjadi orang nomor satu Kota Metropolitan,
DKI Jakarta. Belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, ada presiden yang
membangun karirnya melalui suatu proses seperti itu.
Presiden
perdana Indonesia Soekarno, tidak
sama dengan Jokowi. Soekarno tidak pernah berkarir di birokrasi pemerintah
kolonial karena dia sangat menentang kejahanaman Belanda saat itu. Soeharto? Soeharto juga tidak. Sebab
sebelum menjadi presiden Soeharto membangun tangga karirnya dari militer. Presiden
ketiga Indonesia, BJ Habibie juga
tidak seperti Jokowi. Karirnya dimulai dari asisten khusus Ibnu Sutowo di
Pertamina. Dari situ, berturut-turut, Habibie menjadi Direktur Industri Pesawat
Terbang Nasional (IPTN), Menteri Riset dan Teknologi, Wakil Presiden dan
akhirnya menjadi presiden. Gus Dur atau
Abdurrahman Wahid beda lagi. Dia
bahkan tidak pernah menjadi bagian dari lembaga eksekutif sama sekali. Perjalanan
karirnya berawal dari lembaga-lembaga kultural seperti Nahdlatul Ulama (NU),
LSM dan kelompok-kelompok penekan seperti Forum Demokrasi (Fordem). Megawati? Tidak. Mentor dan pelindung
Jokowi, menitik karirnya sebagai anggota partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Setelah "hengkang karena terbuang" dari PDI karena infiltrasi dan
pemaksaan kehendak yang dilakukan Soeharto ke tubuh PDI, karir Mega melesat
pasca reformasi dengan mendirikan PDIP. Setelah kurang-lebih 2 tahun menjadi
wakil presiden mendampingi Abdurrahman Wahid, Putri Soekarno ini menjadi
presiden sejak Juli 2001 sampai Oktober 2004. Sementara Susilo Bambang Yudhoyono? Pula tidak. SBY menjadi presiden merupakan
kombinasi antara Soeharto dan Habibie. Karirnya dimulai dari dunia militer
(seperti Soeharto) lalu hijrah ke pemerintahan melalui kursi menteri pada
pemerintahan Gus Dur dan Megawati (seperti Habibie). Hanya saja SBY tidak perlu
menjadi wakil presiden seperti Habibie dan Megawati untuk merebut kursi R-1 di
Istana negara.
Disamping
itu, bila kita kembali mengingat perjalanan percalonan presiden dan wakil
presiden pada tahun 2004 dan 2009 yang gagal menduduki istana, seperti halnya Wiranto, Amien Rais, Hamzah Haz, dan
Megawati serta Jusuf Kalla, tidak ada juga yang seperti Jokowi prosesnya. Lima capres yang dikalahkan SBY pada Pilpres
2004 dan 2009 dan Capres-cawapres Pilpres 2014 rival Jokowi, Prabowo Subianto
dan Hatta Rajasa juga tidak ada yang
karirnya seperti Jokowi. Pada Pilpres 2009, selain Megawati, SBY juga
mengalahkan Jusuf Kalla. Seperti yang lain, Jusuf Kalla juga tidak meniti karir
seperti Jokowi.
Oleh
sebab itu, semua orang yang pernah mencatat namanya dalam jajaran mantan presiden
RI dan bahkan baris calon presiden yang pernah bertarung dalam pemilu sepanjang
sejarah Indonesia, Jokowi punya keunikan
tersendiri dalam hal proses mengawali karirnya. Hanya Jokowi yang pernah meniti
karir di jabatan eksekutif dari Daerah Tingkat II (Walikota Surakarta) , Tingkat
I (Gubernur DKI Jakarta). Hingga RI-1 (Presiden).
“Metode
Jokowi”
Jokowi
dari Walikota menuju RI-1. Dari Surakarta hingga menduduki Istana Merdeka di
utara Monas. Itulah kira-kira metode yang ditempuh oleh Presiden terpilih Joko
Widodo untuk membuka alternatif baru bagi kita, khususnya para politisi muda
yang punya kapabilitas. Daripada langsung bertarung di Kota Metropilis seperti
Jakarta yang tentu memaksa kita merogoh gocek karena butuh daya dan dana untuk
menjadi Gubernur yang luar biasa mahalnya, mungkin alangkah lebih baik dan
sedikit murah untuk merangkak karir dari level eksekutif terbawah yang dipilih
lewat pemilu, yaitu menjadi pemimpin di Pemerintah Tingkat I atau II, seperti
Walikota atau Bupati, Layaknya Ahok (Guberbur DKI sebelumnya wakil) dan Risma
(Walikota Surabaya) dan kedua nama ini sepertinya akan menjadi pilihan Indonesia
selanjutnya sepanjang tidak ada aral yang merintangi kepemimpinan mereka
sepanjang 5-10 tahun ke depan. Bisa saja kita. Jadi, metode Jokowi, bertarung
di daerah dengan kerja yang nyata untuk menarik perhatian media dan publik
kemudian merebut kursi RI-1. Itulah “metode
Jokowi”.
Siap-siap Jadi Jokowi
Berikutnya
Jika
ingin mengaplikasikan “metode Jokowi”
seperti di atas, kurang lebih anak tangga yang harus dilalui seperti ini. Pertama, bertarunglah di pimilihan
kepala daerah, kedua, bertarunglah di
daerah-daerah atau kota-kota besar yang populer dan dekat dengan media, tiga, menangkan pertarungan itu, empat, mengabdilah dengan sebaik mungkin
sehingga menghasilkan perubahan yang
berarti dan nyata, lima, paling
penting adalah, begitu terpilih, langsung bentuk tim komunikasi atau “marketing” yang terus-menerus
mengkampanyekan gerak-gerik dan perubahan-perubahan serta mendongkrak
popularitas yang sudah dilakukan dengan cara yang elegan, cerdik (mungkin
dengan sedikit rekayasa tidak masalah), dan sadar serta jangan lupa bersahabat
kariblah dengan media. Media dapat menghancurkan anda bila bersebarangan
dengannya dan media juga dapat membuat orang terpesona dengan anda bila
bersahabat dengannya. Karena, media adalah poros baru masyarakat rasional pada zaman
global ini. Metode Jokowi ini, yang sampai batas tertentu juga dilakukan oleh
Risma, Ahok dan beberapa kepala daerah lain seperti Ridwan Kamil di Bandung, juga
akan manjadi model baru yang ampuh bagi kepemimpinan di Indonesia ke depan.
Inilah cara yang paling diterima akal sehat, wajar dan sampai batas tertentu
benar-benar melatih, mendidik dan menguji kepemimpinan seseorang dari waktu ke
waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, hingga suatu saat bangsa
ini, daerah ini, tidak lagi dinahkodai oleh kapten yang salah sehingga
menenggelamkan harapan para penumpang, anak-anak bangsa dari Sabang sampai
Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rota dalam Bingkai NKRI.
Sebab
menjadi pemimpin di lembaga eksekutif seperti bupati, walikota atau gubernur sangat
berbeda “rasanya” dengan menjadi
menteri, ketua/pembina partai, duta besar, atau anggota legislatif. Sebab
dengan menjadi bupati/walikota, seorang pemimpin benar-benar diuji oleh
persoalan-persoalan konkrit, persoalan yang runyah, pelik, kadang hal kecil
jadi besar, diterpa, ditolak, dan dipaksa untuk selalu siap berinteraksi dengan
warganya dalam setiap keadaan. Atau siap tanam kepala seperti pernyataan
Walikota Kupang dalam masalah Bendungan Kolhua beberapa waktu yang lalu. Di daerah,
persoalan semacam tata kota, jalan rusak, listrik yang terkadang hidup segan
mati tak mau, banjir, macet, kemiskinan, gelandangan dan PKL, akan muncul
sebagai masalah yang lebih rutin dihadapi dan mesti diselesaikan dengan
cara-cara yang konkrit tanpa retorika dan jangan lupa, media menjadi kunci
sukses anda.
Akhirnya,
Semoga metode Jokowi ini menginspirasi para politisi muda yang belum apa-apa
sudah bermimpi jadi presiden, belum apa-apa bermimpi jadi DPR, tidak punya
apa-apa calon DPR untuk mendapatkan “apa-apa”.
Jika memang punya kualitas dan kapasitas, rebutlah kepemimpinan tanah kelahiran
kita. Perbaiki dan benahi kota, dengan kerja yang terancang dengan baik dan
dieksekusi dengan konsistensi dan persistensi yang tinggi. Jika pun akhirnya
tidak menjadi presiden, setidaknya kita akan dikenang oleh warga masyarakat
kita sebagai pemimpin yang terbukti sudah bekerja dengan sebaik-baiknya dan semampu-mampunya.
Bukankah tanpa menjadi presiden, Ali Sadikin akan tetap dikenang oleh kita
semua sebagai pemimpin yang hebat? Gajah meninggalkan gadingnya, manusia
meninggalkan nama.
Sumber
dan Referensi: https://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/agar-bisa-menjadi-jokowi-berikutnya-114807962.html