TANTANGAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NTT SEBAGAI PROVINSI TERNAK
TANTANGAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DI NTT
Berdasarkan sebuah hasil analisis
yang dilakukan Dinas Peternakan NTT dengan mencermati pengembangan usaha
peternakan sapi di NTT dari aspek produksi, pelaku pemeliharaan ternak
(produsen) sebagian besar didominasi oleh peternak kecil dengan keterampilan
yang masih rendah (penguasaan tehnologi dan informasi peternakan yang kurang).
Sistem pemeliharaan didominasi oleh nonintensif maupun semi intensif dan
hanya sebagian kecil yang intensif, menyebabkan produktivitas menjadi tidak
optimal serta tingginya pemotongan ternak besar betina produktif dan sistem
pelayanan kesehatan hewan belum optimal. Beberapa aspek yang menyumbang
sulitnya program itu dapat dilaksanakan dengan baik antara lain:
BACA JUGA: MASALAH PENGEMBANGAN TERNAK DI NTT
1) Aspek konsumsi,
Dinas Peternakan NTT mencatat bahwa konsumsi protein
hewani masyarakat NTT masih berada di bawah norma gizi nasional atau masih
terdapat kesenjangan antara tingkat konsumsi masyarakat perkotaan dan
masyarakat pedesaan, sedangkan produsen utama adalah masyarakat pedesaan.
2) Aspek pengembangan dan penggunaan sarana produksi
Lahan sebagai basis ekologi pendukung pakan belum
dapat dimanfaatkan seluruhnya akibat penyebaran sumber air yang tidak merata. Sementara
itu, skspansi gulma “chromolena odorata” atau tanaman penggangu pakan semakin
luas, sehingga padang penggembalaan semakin menyempit, menyebabkan usaha
peningkatan produksi ternak di NTT menjadi terhambat.
3) Aspek Pembibitan ternak
Di sisi lain, kualitas bibit ternak juga menunjukkan
gejala penurunan, karena sistem seleksi dan penyingkiran ternak belum
dilaksanakan secara efektif. Petani peternak lebih memilih menjual ternak yang
berkualitas terbaik karena harganya lebih tinggi.
4) Kualitas atau kondisi ternak
Aspek pembibitan yang kurang bagus tentu berpengaruh
langsung pada kualitas ternak. Kualitas atau kondisi ternak yang dipasarkan pun
kurang memuaskan, fasilitas transportasi yang kurang memadai sehingga
menyebabkan penyusutan bobot badan dan kecelakaan atau kematian ternak selama
dalam proses pengangkutan, serta belum terintegrasinya usaha peternakan dari
hulu sampai hilir yang mengakibatkan kurang efisiennya mata rantai tata niaga
ternak.
5) Aspek ekonomi dan pemasaran
Masyarakat NTT pada umumnya memelihara ternak hanya
sebagai usaha sambilan dan dipelihara secara nonintensif atau semiintensif
sehingga tidak memberikan pendapatan “cash” yang optimal. Selain itu, petani
peternak tidak memiliki perencanaan pemasaran yang jelas untuk menjual hasilnya
secara periodik. Hasil penjualan ternak lebih bersifat untuk mengatasi
kebutuhan mendesak dalam keluarga.
6) Aspek perilaku petani
Dari aspek perilaku petani, sebagian besar masyarakat
di pedesaan yang berkaitan dengan usaha tani menunjukkan masih kuatnya
orientasi “food security” atau menjaga keamanan pangan. Pada keadaan seperti
ini ternak ditempatkan pada posisi sebagai tabungan dalam menghadapi risiko
kegagalan usaha tani utama.
7) Aspek kelembagaan peternakan,
Dari Aspek kelembagaan peternakan, NTT pun tampaknya
belum kuat jika dihadapkan pada tuntutan perkembangan pembangunan peternakan. Kelompok
tani yang tercatat cukup banyak, namun belum berperan nyata sebagai lembaga
kerja sama dalam bidang produksi atau budidaya, pengolahan maupun
pemasaran hasil ternak.
8) Aspek permodalan
Sementara dari aspek permodalan, rendahnya peran investor dalam usaha
pembibitan ternak, lamanya perputaran modal dan tingginya bunga kredit bank,
selain masalah kepemilikan lahan dan prasarana umum yang menjadi salah satu
kendala dalam penanaman modal di bidang usaha peternakan. Dengan demikian
pembangunan peternakan di NTT masih didominasi oleh dana pemerintah, sedangkan
dana swasta dan masyarakat belum begitu berperan.
Oleh sebab itu, maka Upaya
pemprov NTT untuk menjadikan NTT sebagai provinsi ternak sebagai langkah nyata
untuk mengembalikan kejayaan NTT sebagai gudang ternak nasional, juga tak
semudah membalikkan telapan tangan.