REFORMASI BIROKRASI INDONESIA
REFORMASI BIROKRASI INDONESIA
Birokrasi
dikenalkan oleh de Gourney saat pemerintahan Yunani
klasik, selain
tipe pemerintahan yg lainnya monarkhi,
arsitokrasi dan
demokrasi
Secara
etimologis: bureau dan cracy
Kata Bureau
menunjuk pada tempat para pejabat bekerja (meja)
Kata cracy yang
berarti mengatur (to rule)
Setiap org
memerlukan seperangkat aturan / tatanan administrasi
(Verwaitungsordung)
– Max Weber
A. BIROKRASI INDONESIA
DARI MASA KE MASA
Birokrasi
di Indonesia awalnya sebagaimana
diperkenalkan oleh budaya Eropa di mulai dari masa-masa kolonial antara lain
dengan masa cultuurstelsel,
masa desentralisasi dan emansipasi, masa pemerintah pusat (centraal bestuur), masa Binnenlands Bestuur
dan ambtskostuum binnenlands bestuur,
masa pendudukan bala tentara Jepang dan kemudian masa dimana setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945
pemerintahan Indonesia
melalui Kasman
Singodimedjo ketua KNIP pada 25 September 1945
mengumumkan bahwa presiden Indonesia
memutuskan bagi keseluruhan pegawai-pegawai pemerintahan terdahulu dari segala
jabatan dan tingkatan ditetapkan menjadi pegawai pemerintahan Indonesia
1. Birokrasi Indonesia Pada Masa Kolonial
Kekuatan kolonial di kepulauan Indonesia mempunyai
kepentingan bagaimana mengendalikan seluruh wilayah dengan mempertimbangkan
jarak, daratan dan wilayah antar negeri yang sangat besar agar tidak
menyulitkan dalam melakukan eksplorasi sumber-sumber daya, selain dari itu perlu
adanya partisipasi pasif, partisipasi aktif dari bumiputera sangat diperlukan,
kolaborasi dalam partisipasi aktif ini tentunya dengan tidak boleh mengorbankan
kekuasaan dan pengaruh kolonialisme.
Pemerintahan kolonial dikontrol secara terpusat di
Batavia (sekarang Jakarta) melakukan administrasi secara
keseluruhan dan bertindak atas nama kerajaan Belanda
(dengan jabatan setingkat menteri koloni) yang umum dikenal sebagai gubernur
jenderal yang dibantu oleh dewan Hindia Belanda (raad van Nederlands-Indië),
sekretariat umum (algemene secretarie), departemen administrasi umum
(departementen van algemeen bestuur) dan pemerintahan daerah (het binnenlands
bestuur} dengan birokrasi Eropa yang ruang lingkup kerja terbatas bagi bangsa Eropa
sedangkan bagi bumiputera selalu berada di bawah pengarahan langsung dari
pemerintahan lokal Inlandsche Bestuur (pangreh praja) yang mencakup bagian besar dari
dahulu yang disebut dengan wilayah Hindia
Belanda, pemerintahan sendiri
seperti raja, pangeran dengan melalui kesepakatan politik dengan pemerintah
kolonial namun ada pula daerah yang dikuasai secara langsung dimana
pemerintahan kolonial ikut membentuk birokrasi yang berdampingan dengan
birokrasi pemerintahan lokal seperti yang terlihat pada administratif
pemerintahan di pulau Jawa dan Madura sekitar tahun 1829 bersamaan dengan mulai dikenalkan konsep birokrasi Eropa terutama dalam
sangkutan dengan komoditas ekspor. kebijakan cultuurstelsel berangsur-angsur berubah dengan demikian sektor
swasta mulai bermunculan antara lain perkebunan dan perindustrian dengan
kedatangan pekerja penduduk Eropa di bidang perkebunan, perdagangan komersial
dan industri bersamaan dengan itu budaya politik saat itu mulai ikut menumbuhkan
gerakan nasionalisme di Indonesia.
Pada tahun 1905 mulai terbentuk pemerintahan walaupun dengan kekuasaan terbatas dan tetap
di bawah pimpinan pemerintah daerah Eropa berlanjut pada tahun 1916 terbentuk pula pemerintahan kota-kota besar
dengan pemerintahan sendiri dengan walikota bukan merupakan bagian dari
pemerintah daerah Eropa, pada 1918 mulai terdapat dewan rakyat yang berbentuk badan perwakilan dari berbagai
kelompok yang diwakili dalam dewan ini. dilanjutkan pada tahun 1925 wilayah dibagi dalam beberapa tingkat
administratif baru, provinsi di pulau Jawa dan Madura dan pemerintah di luar
daerah (pulau-pulau di luar Jawa dan Madura). Di samping itu, di pulau utama
Jawa dan Madura ke pemerintah daerah asli lebih mandiri dengan pengalihan
fungsi tersebut.
2. Awal Kemerdekaan
Pada tanggal 30 Mei 1948 melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 11 Tahun 1948 pemerintah RI yang berkedudukan
di Jogjakarta baru mendirikan Kantor Urusan Pegawai (KUP) sedangkan pemerintahan RIS yang berkedudukan di Jakarta untuk masalah kepegawaian dibentuk melalui Keputusan Letnan Gubernur Jenderal di Hindia Belanda Nomor 10
tanggal 20 Februari 1946 dengan nama Kantor Urusan Umum
Pegawai (KUUP) yang berada di bawah departemen urusan sosial namun
dengan Keputusan Letnan Gubernur
Jenderal di Hindia Belanda Nomor 13 Tahun 1948 membatalkan keputusan
terdahulu dan membentuk Djawatan
Urusan Umum Pegawai (DUUP) yang langsung dibawah Gubernur Jenderal,
antara Kantor Urusan Pegawai
(KUP) dan Djawatan Urusan Umum Pegawai
(DUUP) masing-masing melaksanakan kegiatannya sendiri-sendiri hingga terdapat
dualisme dalam birokrasi di Indonesia, kemudian karena adanya pengakuan
kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950
dibentuklah Kantor Urusan Pegawai
(KUP) guna menyatukan Kantor Urusan
Pegawai (KUP) dan Djawatan
Urusan Umum Pegawai (DUUP) dan berada di bawah dan bertanggugjawab
kepada perdana menteri akan
tetapi karena suasana perpolitikan saat itu, Kantor Urusan Pegawai (KUP) yang akan menata birokrasi tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya disusul pada tanggal 17 Agustus 1950, terjadi pergantian konstitusi RIS berubah menjadi UUDS 1950 yang berakibat terjadinya perubahan bentuk negara kembali ke negara
kesatuan. Tahun 1953 T.R. Smith membantu
menyusun laporan untuk Biro Perancang
Negara berjudul Public
Administration Training, setahun kemudian dua orang profesor dari Cornell
University, School of Business and Public Administration Amerika yang diundang ke Indonesia yaitu Edward H. Lichtfeld dan Alan C. Rankin yang
berhasil menyusun laporan rekomendasi yang berjudul Training for Administration in Indonesia[5][6]. Pada masa kabinet Ali
Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 - 9 April 1957) melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1957 dibentuk Panitia
Negara untuk menyelidiki Organisasi Kementerian-kementerian atau Panitia Organisasi
Kementerian (PANOK) sebagai pengganti Kantor Urusan Pegawai (KUP) serta
ikut dibentuk Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang bertugas menyempurnakan administratur negara atau birokrasi
keduanya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada perdana menteri.
Pada tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkan dekrit presiden yang
menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 dan presiden melalui Peraturan
Presiden Nomor 2 Tahun 1959 melarang PNS golongan F menjadi anggota dari partai politik selanjutnya pada tahun 1961 dikeluarkannya Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok Kepegawaian dan dibentuk Badan Administrasi Kepegawaian Negara
(BAKN) diikuti dengan lembaga baru bernama Panitia
Retooling Aparatur Negara (PARAN)
yang menghasilkan Peraturan Presiden
Nomor 5 Tahun 1962 tentang pokok-pokok organisasi aparatur pemerintah
negara tingkat tertinggi, dua tahun kemudian dikeluarkan Keppres Nomor 98 Tahun 1964 dibentuk Komando
Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KONTRAR) merupakan kelanjutan dari Panitia
Retooling Aparatur Negara (PARAN), retooling atau
"pembersihan" dalam dua kepanitian terakhir ini lebih bernuansa
politis dengan penyingkiran birokrat yang tak sehaluan dengan partai yang
sedang memerintah (the ruling party) atau yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan republik.
3. Birokrasi Indonesia dalam Perkembangan
Dalam perkembangannya pengorganisasian birokrasi
mulai diwarnai dengan ketidakpastian akibat peranan partai-partai politik yang
saling bersaing dengan sangat dominan, partai-partai politik mulai melakukan building block kekuasaan melalui pos-pos kementerian strategis
di jajaran pemerintahan sebagai sumber daya kelangsungan partai politik yang
bersangkutan, program rekrutmen birokrasi ikut mengalami spoil system yang merajalela mulai
dari pengangkatan, penempatan, promosi dan instrumen kepegawaian lainnya tidak
didasarkan kriteria penilaian melainkan berdasarkan pertimbangan politik,
golongan serta unsur-unsur lainnya diluar tugas birokrasi.
Pada tahun 1966 awal pemerintahan Suharto bedasarkan Ketetapan MPRS Nomor
XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera ditunjuk selaku presiden dan ketua
presidium Kabinet Ampera melalui Keputusan
Presidium Kabinet Ampera Nomor 266 Tahun 1967 kembali membentuk panitia
pengorganisasian birokrasi sebagai pembantu presidium yang kemudian dikenal
dengan nama Tim Pembantu Presiden
untuk Penertiban Aparatur dan Administrasi Pemerintah atau disingkat
menjadi Tim PAAP yang
beranggotakan sebelas orang dengan Menteri Tenaga Kerja selaku ketua didampingi oleh direktur LANsebagai sebagai
sekretaris serta dibantu oleh lima orang penasehat ahli yang mengusulkan unit
kerja baru bernama Sekretariat
Jenderal, Direktorat
Jenderal dan Inspektorat tercermin
dalam Keputusan Presidium Kabinet
Nomor 75/U/KEP/11/1966 serta dalam pengorganisasian kembali birokrasi
pada kementerian negara melalui Keputusan
Presiden Nomor 44 dan 45 Tahun 1966 dilakukan pengubahan penggolongan PNS dari golongan A sampai dengan F menjadi golongan I sampai dengan IV.
Selanjutnya pada tahun 1968 kembali dibentuk Panitia
Koordinasi Efisiensi Aparatur Ekonomi Negara dan Aparatur Pemerintah
yang disebut pula sebagai Proyek 13
disusul dengan Keppres Nomor 16 Tahun
1968 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1968, Proyek 13 ini kemudian berganti nama menjadi Sektor Penyempurnaan dan Penertiban
Administrasi Negara yang lebih dikenal dengan nama Sektor P' dengan anggota terdiri dari
Lembaga Administrasi Negara (LAN),
Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN),
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sekretariat Negara,
Departemen Keuangan, Departemen Tenaga Kerja, serta Departemen Transmigrasi dan
Koperasi. yang diketuai oleh Awaloeddin
Djamin yang menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dengan tugas agar
dapat menyempurnakan administrasi pemerintahan.
Ketika Suharto pertama kali membentuk Kabinet Pembangunan I dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1968,
dibentuk kementerian nomenklatur baru yaitu Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara
bertugas antara lain melanjutkan pembersihan
birokrasi dari unsur-unsur apa yang disebut dengan berpolitik kepartaian lalu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971 pada tanggal 29 Nopember
1971 didirikan Korps Pegawai Republik
Indonesia (KORPRI) sebagai organisasi wadah tunggal bagi seluruh
pegawai pemerintahan Indonesia dan dalam perkembangan selanjutnya Tim
PAAP dan Proyek 13
akhirnya dilebur kedalam Kementerian
Negara Penyempurnaan dan Pembersihan.
Aparatur Negara sedangkan Sektor
Aparatur Pemerintah (Sektor P) tetap dan berfungsi meliputi penyusunan
kebijaksanaan, perencanaan, pembuatan program, koordinasi, pengendalian, dan
penelitian dalam rangka menyempurnakan dan membersihkan aparatur negara dan Kementerian Negara Penyempurnaan dan
Pembersihan Aparatur Negara yang dipimpin oleh seorangan menteri
merangkap menjadi anggota Sektor N (Penelitian dan Pengembangan) dan Sektor Q
(Keamanan dan Ketertiban) dan dengan Keppres
Nomor 45/M Tahun 1983 Kementerian
Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara diubah kembali
menjadi Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara yang secara langsung menteri pada kementerian tersebut
merangkap pula sebagai wakil Ketua Bappenas.
Tahun 1995 melalui Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 tanggal 27 September 1995
pemerintah mencanangkan dimulai diterapkan lima hari kerja yaitu hari kerja
mulai hari Senin sampai dengan hari Jumat yang berlaku secara efektif sejak
tanggal 1 Oktober 1995 sebagai akibat dari sistem pembinaan Karier PNS,
pertumbuhan nol pegawai negeri sipil (PNS) (Zero Growth) seta perampingan organisasi.
Setelah tahun 1998 yang dikenal sebagai gerakan reformasi maka melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999
mengenai keberadaan pegawai negeri sipil (PNS) sebagai anggota partai politik lalu diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999
yang membuat pegawai negeri sipil (PNS) kembali tertutup dari kemungkinan untuk ikut berkiprah sebagai
keanggotaan dalam partai politik apapun.
4. WAJAH KEKINIAN BIROKRASI INDONESIA: Birokrasi
dalam politik Indonesia
Birokrasi
diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk
piramida, dimana lebih banyak orang berada
ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang
sifatnya administratif maupun militer. Pada rantai komando ini setiap posisi
serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dengan jelas dalam organigram.
Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang
fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus
dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki
kekuasaan.
Ini semakin menjelaskan tentang perselingkuhan antara birokrasi dengan elit
politik yang semakin intens. Melalui institusi Presiden dan Wakil
Presiden dengan Wakil Rakyat, DPR. Kebijakan yang dirumuskan dianggap sah dan
demokratis, hanya karena adanya keberadaan symbol institusi dari demokrasi,
yakni DPR. Di sisi berhadapan birokrat begitu kuat menjaga motif nilai manajer
departemen. Pada konteks organisasi public, eksekutif melalui birokrasinya
terbawa tuntutan reformasi administrasi melalui paradigma pasar, sepert
terwujudnya good governance. Ini dilakukan untuk menghindari kegagalan
implementasi dan kritik keras terhadap birokrasi. Dilema yang muncul adalah
birokrasi harus professional dan responsive tapi, pada sisi lain otonominya
sebenarnya sedang ditekan oleh politisi melalui paradigma baru. Dugaan bahwa
dinamika komplek terpotret melalui bargaining dalam sector public yang
memungkunkan terjadi manipulasi dalam pengelolaan sector public. Reformasi
politik, telah dimanfaatkan oleh kepentingan politik ditengah arus
demokratisasi, karena reformasi administrasi sering direduksi pada tatanan
tehnis. Birokrasi sebenarnya tidak akan bisa netral.
Birokrasi kita
sekarang ini masih sangat mengecewakan
di dalam pelaksanaannya, bureaucratic goverment di Indonesia merupakan
birokrasi publik yang mengalami kebingungan arah dan ini terjadi di tengah
perubahan ke arah demokrasi. Dalam reformasi ini di manfaatkan oleh politisi
melalui cara yang tidak demokratis, karena birokrasi tidak siap untuk berubah.
Rezim kita sekarang ini telah gagal menentukan kualitas yang tinggi dalam
mengelola masalah publik. Padahal rezim seharusnya menentukan peraturan dasar
dan kualitas dari interaksi antara bermacam-macam lembaga melalui kebenaran
proses kebijakan dan gabungan nilai untuk mengelola masalah publik.
B. REFORMASI BIROKRASI
Pada masa Orde Baru sampai menjelang
masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di Indonesia mengalami sakit
bureaumania seperti kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, kolusi,
korupsi dan nepotisme. Birokrasi dijadikan alat status quo mengkooptasi
masyarakat guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan monolitik. Birokrasi
Orde Baru dijadikan secara struktural untuk mendukung pemenangan partai politik
pemerintah. Padahal birokrasi diperlukan sebagai aktor public services yang
netral dan adil, dalam beberapa kasus menjadi penghambat dan sumber masalah
berkembangnya keadilan dan demokrasi, terjadi diskriminasi dan penyalahgunaan
fasilitas, program dan dana negara. Reformasi merupakan langkah-langkah
perbaikan terhadap proses pembusukan politik, ,termasuk buruknya kinerja
birokrasi. Tujuan tulisan ini berupaya untuk mengelaborasi model, reformasi
birokrasi di Indonesia pasca Orde Baru.
Gerakan reformasi Indonesia yang
dipelopori oleh para mahasiswa pada tahun 1998 yang sekaligus mampu meruntuhkan
rezim Orde Baru (rezim Suharto) telah mengukir sejarah baru dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara hingga kini. Gerakkan ini pecah akibat mulai munculnya kesadaran tentang banyaknya hak-hak warga negara yang selama bertahun-tahun
diabaikan, dilanggar, bahkan diinjak oleh rezim yang berkuasa. Seiring dengan itu, kerinduan akan kehidupan yang demokrasi pun
timbul sebagai penolakan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang
sewenang-wenang, bertindak otoriter, tidak menghargai harkat dan martabat
manusia, menginjak-injak hak asasi manunsia dan pengambilan keputusan
berdasarkan keputusan kolektif sepihak. Gerakkan itu tidak dapat dipisahkan
juga dengan arus globalisasi yang mengusung nilai-nilai universal dan mendunia
serta berlangsung secara universal dan dalam waktu yang cukup singkat dan juga
telah membawa perubahan dalam system social, budaya, ekonomi, politik,
pemerintahan, dsb. Kondisi ini juga di satu sisi berpotensi membawa perubahan
yang positif bagi bangsa ini tapi di sisi lain keadaan ini telah membawa
kehancuran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana nilai-nilai social
dalam masyarakat menjadi kabur dan banyak pihak yang bertindak diluar kewajaran
dengan mengatasnamakan demokrasi. Keluar dari
pemerintahan yang otoriter dan memasuki era demokrasi menimbulkan
tuntutan yang sangat kuat pada perubahan struktur dan kultur. Di antara tuntutan
perubahan itu adalah desentralisasi pemerintahan yang lebih luas dan birokrat
yang berkompoten.
C. BEBERAPA “REKOMENDASI”
REFORMASI BIROKRASI
Pergerakkan menuju demokrasi tidak hanya
berlangsung dalam nilai-nilai social kemasyarakatan secara fundamental tetapi
sebagaimana yang telah saya singgung di atas bahwa kondisi ini pula
berimplikasi pada penyelenggaraan pemerintahan atau birokasi pemerintah. Hal
ini tercermin pola penyelenggaraan pemerintahan yang berlangsung secara politis
dan peranan birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang tidak hanya
menjadi pelaksana kebijakan (eksekutor) tetapi juga sebagai perumus kebijakan
public (policy maker). Pergeseran peran ini mengharuskan lembaga-lemabaga
birokrasi agar selalu responsive terhadap kebutuhan warga Negara.
Beberapa konsep
yang mendukung adanya reformasi birokrasi yang juga terlihat pada koreksi David
Osborne dan Ted Gaebler terhadap paradigma birokrasi Weber yang hirarkis,
disarankan untuk berubah menjadi birokrasi yang memperhatikan partisipasi,
kerja tim dan kontrol rekan kerja
(peer group), bukan lagi dominasi atau kontrol atasan. Hal itu
disarankan oleh Osborne dan Gaebler supaya menjadi birokrasi yang memiliki
paradigm baru yang antara lain adalah sebagai berikut:
1. Catalytic Government
Steering
rather than rowing. Pemerintah sebagai katalis, lebih baik
menyetir daripada mendayung. Pemerintah dan birokrasinya disarankan untuk
melepaskan bidang-bidang atau pekerjaan yang sekiranya sudah dapat dikerjakan
oleh masyarakat sendiri.
Dari sisi ini, birokrasi telah mempraktekan nilai
kebebasan atau demokrasi. Dimana pemerintah memberikan ruang kepada masyarakat
untuk mengatur bidang-bidang kehidupan yang berguna bagi kelangsungan hidup
mereka dan hal ini tidak terjadi pada pemerintahan yang otoriter.
2.
Community-Owned
Government
Empowering rather than serving.
Pemerintah adalah milik masyarakat: lebih baik memberdayakan daripada melayani.
Pemerintah dipilih oleh wakil masyarakat, karenanya menjadi milik masyarakat.
Pemerintah akan bertindak lebih utama jika memberikan pemberdayaan kepada
masyarakat untuk mengurus masalahnya secara mandiri, daripada menjadikan
masyarakat tergantung terhadap pemerintah.
Pada posisi ini
birokrasi pemerintah menekankan kepada aspek kemandirian masyarakat dan
birokrasi pemerintah merupakan kepunyaan masyarakat karena dipilih oleh
masyarakat. Artinya aparat birokrat merupakan hasil dari suatu pemilihan secara
bebas berdasarkan keinginan warga Negara yang notabenenya hal ini berlangsung
secara politis melalui kegiatan-kegiatan politik.
3. Competitive Government
Injecting
competition into service delivery. Pemerintahan
yang kompetitif adalah pemerintahan yang memasukan semangat kompetisi di dalam
birokrasinya. Pemerintah perlu birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam
memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang-barang kebutuhan
publik.
Dari konsep di atas, terkandung bahwa pemerintah
menjamin ketersediaan regulasi dan barang-barang public melalui
tindakan-tindakan yang kompetitif dari birokrasi public. Itu artinya birokrasi
telah menjunjung tinggi hak-hak masyarakat dalam hal ini pemenuhan terhadap
kebutuhan masyarakat.
Di samping itu,
isu lain yang hendak menjelaskan demokrasi birokrasi, juga terkandung dalam
prinsip-prinsip demokrasi yang telah diinternalisasikan ke dalam prinsip
penyelenggaraan birokrasi pemerintah, antara lain seperti berikut ini.
1.
Transparansi
Penyelenggaraan
birokrasi pemerintah harus dilakukan
secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat luas.
Transparansi
bertujuan memudahkan masyarakat untuk:
a) Memperoleh
informasi secara lengkap dan terus menerus.
b) Menumbuhkembangkan
kepedulian dan partisipasi masyarakat.
c) Meningkatkan
rasa saling percaya diantara para birokrat dan masyarakat umum.
2. Partisipasipasi
Adanya keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan
kegiatan mulai dari tahapan sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian, pemeliharaan dan pengembangan kegiatan. Salah satu wujud
keterlibatan masyarakat adalah masyarakat mampu dan berhasil membuat
perencanaan secara efektif melalui forum mekanisme perencanaan dari bawah (bottom-up planning).
3. Desentralisasi
Desentralisasi bermakna sebagai
pemberian kewenangan kepada masyarakat agar sejauh mana masyarakat memperolah
hak otonomi untuk mengelola ADD ini secara mandiri dan partisipatif.
4.Akuntabilitas
Dimaksudkan
bahwa semua program dan kegiatan dapat dipertanggungjawabkan secara
administrative dan teknis serta moral.
Bertolak dari gagasan
tersebut, dapat diyakini bahwa birokrasi publik dapat berperan positif dalam mengawal
proses demokratisasi sampai pada tujuan yang dicita-citakan, karena pada
dasarnya birokrasi publik berurusan dengan
persoalan bukan saja berususan dengan cara-cara yang efisien untuk melakukan
proses demokratisasi, melainkan juga mempunyai kemampuan dalam menentukan
tujuan proses demokratisasi itu sendiri, terutama dalam bentuk penyelenggaraan
pelayanan publik secara efektif sebagai wujud dari penjaminan hak-hak
konstitusional seluruh warga Negara. Birokrasi publik yang berkembang saat ini sangat mendukung
proses demokratisasi, karena sudah tidak terlalu hirarkis, tetapi lebih mirip
sebuah jaringan kerja yang rasional dan modern. Kecenderungan ini mempunyai
implikasi yang sangat penting dan positif terhadap perkembangan demokrasi,
termasuk tanggungjawab yang berubah terhadap kepentingan publik; terhadap
pemenuhan kebutuhan publik, dan terhadap
perluasan kebebasan-kebebasan
berpolitik, kewargaan, dan tingkat
kepercayaan publik. Karena itu birokrasi public dapat menjadi dasar penyelenggaraan
demokrasi dalam Negara yang demokrasi.
Model
Reformasi Birokrasi Indonesia
Oleh:
Syafuan Rozi Soebhan
Peneliti
PPW LIPI Jakarta; Email: [email protected]
Andy
Fefta Wijaya, Ph.D
Ketua Program MAP FIA UB
Oleh
Purnama Julia Utami
Disusun
akibat kesiangan UTS mata kuliah Analisis Kekuatan Politik Indonesia
Asas-Asas Umum Birokrasi
Pemerintahan (Kepemimpinan) Yang Baik
Asas umum kepemimpinan yang baik tidak berlaku secara universal di
setiap negara karena adanya perbedaan budaya, kebutuhan masyarakat yang selalu
berubah, dan masalah yang dihadapi di setiap negara berlain-lainan. Dalam
konteks negara Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia sepakat bahwa pada
pemerintahan Soekarno berhasil meletakkan dasar Nasionalisme bagi bangsa
Indonesia tetapi gagal dalam merumuskan program-program pembangunan yang
menyentuh rakyat banyak. Pada masa orde baru rakyat mengalami kemakmuran dengan
dilaksanakannya pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional. Tetapi dalam
kenyataannya bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi belum dirasakan merata oleh
masyarakat dan stabilitas telah memasung demokrasi/partisipasi rakyat, banyak
pelanggaran hak asasi manusia dan menutup akses keterbukaan.
Lepas dari hal tersebut di atas sesungguhnya masih dapat ditemukan
asas-asas pemerintahan yang baik antara lain adalah sebagai berikut.
1. Asas Kepastian Hukum, adalah asas
dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah
asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
Penyelenggara Negara.
3. Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang
mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif dan selektif.
4. Asas Keterbukaan, adalah asas
yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan
tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, dan rahasia negara.
5. Asas Proporsionalitas, adalah
asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara
Negara.
6. Asas Profesionalitas, adalah asas
yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan
bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Tantangan
Kepemimpinan Dalam Sistem Birokrasi
Secara mendasar, birokrasi Indonesia masih terkesan sulit untuk direformasi. Beberapa persoalan birokrasi antara lain,
Secara mendasar, birokrasi Indonesia masih terkesan sulit untuk direformasi. Beberapa persoalan birokrasi antara lain,
Pertama, gaya
kepemimpinan dan mentalitas mayoritas aparat birokrasi (baik pusat atau daerah)
belum berorientasi pada pelayanan publik. Kondisi ini disebabkan masih kuatnya mentalitas
aparat publik yang lama, sementara aparat publik yang baru belum mampu mengubah
budaya kerja di unit kerjanya.
Kedua,
pemerintah pusat terkesan belum ikhlas memberikan keleluasaan pada birokrat di
daerah dalam upaya memacu perkembangan daerahnya. Pada kasus ini, pemerintah
pusat selalu memonitor dan mensupervisi setiap perda-perda di tingkat daerah.
Ketiga,
birokrasi sering macet karena berhadapan dengan benang kusut politik. Birokrasi
tidak akan bisa bekerja dalam situasi politik yang kurang kondusif. Dalam
kondisi demikian, banyak produk politik yang terasa aneh dan menjadikan
birokrasi sebagai “kambing hitam” dalam penyelenggaraan urusan publik.
Keempat,
birokrasi kurang berfungsi karena pernyataan visi dan misi yang tidak
konsisten. Hal ini diperparah dengan daerah yang kurang mampu membuat prioritas
dalam mengeksplorasi potensi daerah. Akibatnya birokrasi kurang terfokus dalam
memberikan pelayanan publik.
Kelima,
kepemimpinan birokrat yang lemah. Birokrasi di era reformasi cenderung lentur
seiring dengan demokratisasi dalam masyarakat. Dengan demikian gaya
kepemimpinan tetap berperan di sini. Kepemimpinan para birokrat kita selama ini
masih menggunakan konsep lama, kurang fleksibel. Akibatnya, mesin birokrasi
juga kurang berfungsi dengan baik.
Keenam, birokrat di daerah masih berorientasi ke dalam (jago kandang) sehingga belum terbuka untuk bersaing dengan daerah lain melalui inovasi, sehingga memiliki nilai tambah. Problem birokrasi seperti ini akan menghambat kemajuan, baik di pusat atau di daerah. Persaingan dengan mengedepankan potensi yang dimiliki daerah menjadi pemicu dan pemacu bagi konstituen asing agar bersedia berinvestasi di daerahnya. Selama ini calon investor masih mengeluhkan regulasi dan birokrasi dalam hal perizinan yang dinilai amat merepotkan.
Keenam, birokrat di daerah masih berorientasi ke dalam (jago kandang) sehingga belum terbuka untuk bersaing dengan daerah lain melalui inovasi, sehingga memiliki nilai tambah. Problem birokrasi seperti ini akan menghambat kemajuan, baik di pusat atau di daerah. Persaingan dengan mengedepankan potensi yang dimiliki daerah menjadi pemicu dan pemacu bagi konstituen asing agar bersedia berinvestasi di daerahnya. Selama ini calon investor masih mengeluhkan regulasi dan birokrasi dalam hal perizinan yang dinilai amat merepotkan.
============
. PERANAN KEPEMIMPINAN DALAM BIROKRASI
Faktor penting dalam menentukan keberhasilan
reformasi birokrasi adalah peran kepemimpinan (leadership) bagi upaya
perubahan, demikian Lembaga Administrasi Nasional (LAN).
Kegagalan reformasi birokrasi dalam pelaksanaannya
lebih disebabkan oleh kurangnya komitmen, konsistensi dan kredibilitas para
pemimpinnya. Sejalan dengan reformasi birokrasi, saat ini pemerintah telah
banyak melakukan inisiatif untuk mereformasi birokrasi khususnya perbaikan
sistem dan budaya kerja, pengukuran kinerja, penerapan disiplin, optimalisasi
peningkatan pelayanan publik, upaya mengurangi korupsi dan peningkatan
produktifitas kerja dan renumerasi yang memadai.
Namun demikian upaya-upaya tersebut belum dapat
mencapai hasil yang maksimal dan memuaskan masyarakat.
Sudah saatnya reformasi birokrasi diarahkan untuk
mengubah pola lama praktek kepemimpinan yang dilayani ke arah kepemimpinan yang
melayani.
Ada tiga aspek tipe kepemimpinan yang melayani yakni
"hati yang melayani"
atau kepemimpinan dimulai dari dalam diri sendiri. Lalu "kepala yang melayani" atau seorang pemimpin sejati
tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter semata tapi juga harus memiliki serangkaian
metode kepemimpinan. Aspek ketiga adalah "tangan
yang melayani" yakni pemimpin sejati bukan sekedar memperlihatkan
karakter dan integritas, serta kemampuan dalam metoda kepemimpinan, tetapi dia
harus menunjukkan perilaku atau kebiasaan pemimpin sejati yang selain fokus
pada duniawi juga fokus pada hal spritual. Artinya seorang pemimpin harus
berempati terhadap apa yang dirasakan bawahan atau rakyat secara luas.
===============
PERAN BIROKRASI DALAM IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN
Menyoalkan tentang peranan birokrasi
dalam implementasi kebijakan, mengantarkan kita pada tiga pertanyaan besar,
yakni: apa yang harus dilakukan dalam implementasi
kebijakan? bagaimana realitasnya?
dan apa kendala dalam mengimlementasikan
suatu kebijakan?
Kita awali
dengan pertanyaan yang pertama:
1.
APA
YANG HARUS DILAKUKAN DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Lineberry menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam implementasi:
1)
Pembentukan Unit Organisasi Atau Staf Pelaksana
Sumber daya utama dalam implementasi
kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level bureaucrats). Kegagalan
yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh
staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam
bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup
menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah
kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan
kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan.
2)
Penjabaran Tujuan Dalam Berbagai Aturan Pelaksana
(Standard Operating Procedures/SOP)
Menurut Edwards III dalam Winarno
(2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni: ”Standard
Operational Procedure (SOP)’. Standard operational procedure (SOP)
merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya
serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas”.
(Winarno, 2005:150). Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan
untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta.
Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia
dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam
organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan
fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.
SOP sangat mungkin dapat menjadi
kendala bagi implementasi kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru
atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan
begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang
lazim dalam suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat
implementasi.
”Namun demikian, di samping
menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat.
Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur perencanaan yang luwes dan
kontrol yang besar atas program yang bersifat fleksibel mungkin lebih dapat
menyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birokrasi-birokrasi tanpa
mempunyai ciri-ciri seperti ini”.
3)
Koordinasi Berbagai Sumber Dan Pengeluaran Pada Kelompok
Sasaran Serta Pembagian Tugas Diantara Badan Pelaksana
`Pembagian tugas merupakan ciri utama birokrasi. Tugas-tugas
pejabat diorganisir berdasarkan aturan yang berkesinambungan. Tugas-tugas
tersebut dibagi menurut bidang dan dibedakan atas fungsi dan masing-masing
dilengkapi dengan persyaratan otoritas dan sanksi-sanksinya.
4)
Pengalokasian Sumber-Sumber Untuk Mencapai Tujuan
Sumber daya diposisikan sebagai input
dalam organisasi sebagai suatu sistem yang mempunyai implikasi yang bersifat
ekonomis dan teknologis. Secara ekonomis, sumber daya bertalian dengan biaya
atau pengorbanan langsung yang dikeluarkan oleh organisasi yang merefleksikan
nilai atau kegunaan potensial dalam transformasinya ke dalam output.
Sedang secara teknologis, sumberdaya bertalian dengan kemampuan transformasi
dari organisasi. (Tachjan, 2006:135)
Menurut Hogwood dan
Gunn, hal-hal
yang harus dilakukan dalam implementasi kebijakan adalah berikut ini yaitu:
1)
Menyedia waktu dan sumber-sumber
yang memadai;
2)
Memadukan
sumber daya yaitu manusia, dana dan
fasilitas-fasilitas pendukung lainnya;
3)
Kebijakan yang di implementasikan harus didasari hubungan kausalitas yang
erat;
4)
Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan;
5)
Tugas-tugas harus terperinci dan ditempatkan pada urutan yang tepat;
6)
Menyempurnakan
komunikasi dan
koordinasi
7)
Pihak-pihak yang memiliki wewenang dapat menuntut dan memperoleh kepatuhan
kewenangan.
2. BAGAIMANA
REALITASNYA
Richard Elmore (1979), Michael
Lipsky (1971), dan Benny H. Jern dan David O’Porter (1981), menyusun suatu
model yang dimulai dari mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat dalam
proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan
kontak-kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis
kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri
implementasi kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya
di tataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan
harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula
dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan model ini
biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung maupun melalui
lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).
Berbicara tentang realitas yang di
hadapi birokrasi ternyata tidak sebaik
yang dibicarakan dalam teori. Birokrasi sering mengalami persoalan dalam
hal sumber daya bahkan struktur yang tidak ideal dengan beban tugas yang diembani kepadanya.
Sumber daya misalnya. Alasan klasik
yang sering kita temukan adalah kurangnya sumber-sumber pembiayaan, sehingga
tidak cukup untuk membiayai tugas-tugasnya. Meski demikian, tetapi masih
terlihat korupsi yang merajalela di setiap tingkatan birokrasi pemerintah. Oleh
sebab itu, ini bukan persoalan kurangnya sumber pembiayaan tetapi persoalan
tindakan dari oknum yang tidak bermoral seperti itu.
Dari segi sumber daya manusia,
birokrasi sangat akan akan sumber daya itu jika dipandang dari sisi kuantitas,
namun persoalannya terletak pada kualitasnya. Kualitas personil birokrasi
pemerintah sangatlah rendah ketimbang personil
yang dimiliki oleh organisasi swasta. Produktivitas dan jiwa inovasinya
sangat rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh para personil masih berorientasi
pada komando dalam setiap pelaksanaan tugas. Kesalan lain adalah rekruitmen
pegawai yang tidak transparan. Kadang kala rekruitmen itu atas dasar
criteria-kriteria pribadi yang tidak sejalan dengan tujuan organisasi.
Permasalahan yang paling urgen juga
adalah masalah stuktur organisasi yang tidak ideal dengan tugas yang diemban
kepada birokrasi. PP No. 41 Tahun 2007 mengisyaratkan bahwa stuktur organisasi
birokrasi harus dibuat seramping mungkin agar tidak menimbulkan pemborosan pada
dana dan daya. Artinya menciptakan organisasi yang miskin struktur dan kaya
fungsi. Namun yang terjadi tidaklah demikian. Fakta berbicara yang terjadi
justru sebaliknya. struktur tidak ideal. Artinya, organisasi yang ditemukan di
lapangan lebih kaya akan sturktur dan miskin fungsi. Dengan demikian, maka
sulit bagi birokrasi dapat melaksanakan kebijakan public dengan baik.
3. APA
KENDALA DALAM MENGIMLEMENTASIKAN SUATU KEBIJAKAN
Bertolak dari pendapat beberapa para
ahli kebijakan public tentang Model atau
pendekatan Implemetasi kebijakan, kendala yang sering dihadapi dalam
pelaksanaan kebijakan public antara laian adalah sebagai berikut:
- Kendala dalam hal Sumber Daya yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan
Sumberdaya yang dimaksud, meliputi:
1.1.Staf. Sumber daya utama dalam
implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level bureaucrats).
Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah-satunya
disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak
kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja
tidak cukup menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan
sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten
dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan.
1.2.Informasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua
bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan
kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana
terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.
1.3.Wewenang. Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah
dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau
legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan
secara politik. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di
mata publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan implementasi
kebijakan publik. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal
tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan.
Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam implementasi kebijakan;
tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan
oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau kelompoknya.
1.4.Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan
kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
- Kendala yang berkaitan dengan Disposisi
Faktor-faktor yang menjadi perhatian
menurut Edward III dalam Agustinus (2006:159-160) mengenai disposisi dalam
implementasi kebijakan terdiri dari:
2.1.Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan
menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila
personel yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh
pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan
personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada
kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga
masyarakat.
2.2.Inisiatif. Inisiatif merupakan salah-satu
teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan
dengan memanipulasi insentif. Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan
kepentingan dirinya sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat
kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah
keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang
membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan
sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.
- Kendala dalam hal Komunikasi yang berkaitan dengan isi dan tujuan yang akan dicapai oleh suatu kebijakan
Komunikasi merupakan salah-satu
variabel penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi
sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan
publik”. Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan
mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Informasi yang diketahui
para pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui komunikasi yang baik.
Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengkur keberhasilan
variabel komunikasi. Edward III dalam Agustino (2006:157-158) mengemukakan tiga
variabel tersebut yaitu:
3.1.Transmisi. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan
suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran
komunikasi yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi) yang disebabkan
banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam proses komunikasi,
sehingga apa yang diharapkan terdirtorsi di tengah jalan.
Terdapat beberapa hambatan umum yang
biasa terjadi dalam transmisi komunikasi yaitu:
Pertama, terdapat pertentangan antara
pelaksana kebijakan dengan perintah yang dikeluarkan oleh pembuat kebijakan.
Pertentangan seperti ini akan mengakibatkan distorsi dan hambatan yang langsung
dalam komunikasi kebijakan. Kedua,
informasi yang disampaikan melalui berlapis-lapis hierarki birokrasi. Distorsi
komunikasi dapat terjadi karena panjangnya rantai informasi yang dapat
mengakibatkan bias informasi. Ketiga,
masalah penangkapan informasi juga diakibatkan oleh persepsi dan ketidakmampuan
para pelaksana dalam memahami persyaratan-persyaratan suatu kebijakan
3.2.Kejelasan. Komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan (street-level-bureaucrats)
harus jelas dan tidak membingungkan atau tidak ambigu/mendua.
3.3.Konsistensi. Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi
harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau dijalankan. Jika perintah yang
diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi
pelaksana di lapangan.
- Sikap penolakan dari agen kelompok sasaran atau bahkan pelak agen pelaksana kebijakan
Sikap penerimaan atau penolakan dari
agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan
yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul
permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik
biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan
tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan
yang harus diselesaikan.